(شَتَّى): bercerai dan kocar-kacir.
(خَاشِعًا): hina dan tunduk.
(مُّتَصَدِّعًا): retak.
(الْقُدُّوْسُ): Yang suci dari segala kekurangan dan ‘aib.
(الْمُؤْمِنُ): Yang membenarkan rasul-rasulNya dengan mu‘jizat.
(الْمُهَيْمِنُ): Yang mengawasi segala sesuatu.
(الْعَزِيْزُ): Yang kuat dan menang.
(الْجَبَّارُ): Yang agung dan Perkasa.
(الْمُتَكَبِّرُ): Yang sangat besar dan agung.
(الْبَارِئُ): Pencipta.
(الْمُصَوِّرُ): Yang membentuk rupa.
“Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang munāfiq”; perintah Allah kepada Nabi s.a.w. untuk heran kepada sifat orang munāfiq. Tidakkah kamu heran hai Muḥammad terhadap sifat orang-orang munāfiq itu yang menampakkan apa yang berbeda dengan apa yang mereka sembunyikan? “yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli Kitāb”; mereka berkata kepada Yahudi Bani Nadhir dan Quraidhah yang kafir terhadap risālah Muḥammad: “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kamu”; jika kalian diusir dari Madīnah, maka kami pasti keluar bersama kalian dari Madīnah. Dalam at-Tashīl disebutkan, sasaran turunnya ayat ini adalah ‘Abdullāh bin Ubay bin Salūl dan sekelompok orang munāfiq. Mereka mengirimkan utusan kepada Bani Nadhir untuk berkata: “Tetaplah kalian di benteng kalian, sebab kami tetap bersama kalian bagaimanapun perubahan keadaan kalian.” (4761) Allah menganggap orang munāfiq sebagai saudara mereka, sebab orang munāfiq itu kafir sebagaimana mereka. “dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kamu”; kami tidak akan menaati perintah Muḥammad untuk menyerang kalian dan kami tidak akan mendengar siapapun jika kami diperintah untuk menghinakan kalian. “dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu”; sungguh jika seseorang menyerang kalian, kami akan membantu kalian untuk mengalahkan musuh kalian dan kami di sisi kalian. “Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.”; Allah bersaksi, orang-orang munāfiq pendusta dalam apa yang mereka katakan dan mereka janjikan kepada Yahudi.
Kemudian Allah menjelaskan sifat orang-orang munāfiq secara rinci. “Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munāfiq itu tiada akan keluar bersama mereka”; jika kaum Yahudi diusir, orang-orang munāfiq tidak keluar bersama dengan mereka. “dan sesungguhnya jika mereka diperangi; niscaya mereka tiada akan menolongnya”; jika kaum Yahudi diserang, maka orang-orang munāfiq tidak menolong mereka dan tidak berperang bersama mereka. Al-Qurthubī berkata: “Hal tersebut termasuk bukti kenabian Muḥammad dari segi memberitakan hal yang ghaib, sebab Yahudi diusir dan munāfiq tidak keluar bersama mereka. Dan kaum Yahudi diserang lalu munāfiq tidak menolong mereka sebagaimana diberitakan al-Qur’ān.” (4772). “sesungguhnya jika mereka menolongnya niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tiada akan mendapat pertolongan”; jika orang munāfiq datang untuk menolong Yahudi dan berperang bersama mereka (ini hanya pengandaian saja), maka Yahudi kalah perang dan pertolongan orang munāfiq tidak ada gunanya. Imām at-Rāzī berkata: “Allah memberitakan, bahwa jika kaum Yahudi diusir, maka orang-orang munāfiq tidak keluar bersama mereka. Kenyataannya memang demikian, sebab ketika Bani Nadhir diusir, maka orang munāfiq tidak keluar bersama mereka. Bani Nadhir diserang, maka orang munāfiq tidak menolong mereka. Adapun ayat “sesungguhnya jika mereka menolongnya” itu hanya teori. Ya‘ni jika orang munāfiq ingin menolong, maka mereka tidak jadi menolong dan mereka kalah.” (4783).
“Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah”; hai kaum Muslimīn, kalian lebih menakutkan di hati orang munāfiq daripada Allah, mereka lebih takut kepada kalian daripada kepada Allah. “Yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tiada mengerti”; takut kepada kalian itu disebabkan mereka tidak tahu kebesaran Allah, sehingga mereka tidak takut kepada-Nya sebagaimana mestinya. Al-Qurthubī berkata: “Ya‘ni mereka tidak mengerti kebesaran dan kekuasaan Allah.” (4794).
Kemudian Allah menjelaskan bahwa Yahudi dan kaum munāfiq itu sangat penakut dan bahwa mereka tidak mampu berperang dengan Muslimīn, kecuali jika mereka berada di dalam benteng. Allah berfirman: “Mereka tiada akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng”; mereka tidak kuasa untuk memerangi kalian dengan parit dan pagar. “atau di balik tembok”; atau mereka berada di balik tembok yang mereka jadikan perisai, sebab mereka terlalu penakut. “Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat”; permusuhan antara mereka sendiri sangat hebat. “Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah”; kamu mengira mereka bersatu dalam pendapat dan saling kasih-sayang. Padahal sebenarnya mereka sangat terpecah-belah karena mereka berbeda pendapat dan hati mereka tercerai-berai. Qatādah berkata: “Pengikut kebathilan pendapatnya berbeda-beda, kesenangan berbeda-beda dan kesaksian mereka berbeda-beda. Namun mereka sepakat melawan pengikut kebenaran.” (4805) “Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti”; perpecahan dan perbedaan itu karena mereka tidak mempunyai akal lurus untuk mengerti perintah Allah. dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth disebutkan: “Penyebab perpecahan mereka adalah mereka tidak berfikir. Mereka seperti hewan yang tidak pernah bersatu.” (4816). “(Mereka adalah) seperti orang-orang Yahudi yang belum lama sebelum mereka”; sifat Bani Nadhir yang terusir dan terhina seperti kaum kafir Makkah dalam perang Badar yang kalah perang dan ditawan. Al-Baidhawī berkata: “Maksud ayat ini; sifat Yahudi sama dengan sifat kaum kafir pengikut perang Badar satu sifat orang-orang yang dibinasakan di antara umat-umat dahulu dalam waktu yang belum lama.” (4827) “telah merasai akibat buruk dari perbuatan mereka”; mereka telah merasakan buruknya akibat kejahatan mereka di dunia. “dan bagi mereka ‘adzāb yang pedih”; bagi mereka siksa yang menyakitkan di akhirat kelak.
“(Bujukan orang-orang munāfiq itu adalah) seperti (bujukan) syaithān ketika dia berkata kepada manusia: “Kafirlah kamu””; sifat orang-orang munāfiq ketika mendorong kaum Yahudi untuk berperang adalah seperti sifat syaithān yang mendorong manusia untuk kafir, lalu dia menghinakannya dan membiarkannya. “maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu”; ketika manusia itu kafir, maka syaithān berlepas diri darinya dan berkata: “sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam”; aku takut siksa dan hukuman Allah jika aku kafir kepada-Nya. Dalam at-Tahsīl disebutkan, ini permisalan. Allah membuat perumpamaan bagi orang munāfiq yang menghasung Bani Nadhir, lalu menghinakan mereka setelah itu seperti syaithān yang membuat kafir manusia. Lalu syaithān berlepas diri darinya. Yang dimaksud manusia dan syaithān di sini adalah bangsa manusia dan bangsa syaithān.” (4838) Ucapan syaithān “aku takut kepada Allah” sebagai tindakan bohong dan riya’. Sebab, seandainya ia takut Allah, tentu ia menuanikan perintah-Nya dan tidak durhaka.” (4849). “Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya”; kesudahan munāfiq dan Yahudi adalah seperti kesudahan manusia dan syaithān, yaitu kembali ke neraka yang kekal abadi. “Demikianlah balasan orang-orang yang zhālim”; itulah hukuman bagi setiap orang yang zhālim yang durhaka dan melanggar hal-hal yang diharamkan Allah.
Setelah menyebutkan sifat Yahudi munāfiq dan membuat gambaran untuk mereka, maka Allah menasihati orang mu’min dengan nasihat yang baik. Ini memperingatkan agar mereka tidak seperti orang-orang yang baru saja disebutkan. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwālah kepada Allah” takutlah kalian kepada Allah dan takutlah akan siksa-Nya dengan menunaikan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. “dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)”; hendaknya setiap orang memikirkan, apa ‘amal shāliḥ yang ia lakukan untuk hari kiamat. Ibnu Katsīr berkata: “Renungkanlah, apa simpanan kalian dari ‘amal shāliḥ untuk hari akhirat dan saat kalian dihadapkan kepada Tuhan kalian? (48510) Hari kiamat disebut hari esok karena hampir tiba. “Tidak adalah kejadian kiamat itu, melainkan seperti sekejap mata.” (an-Naḥl: 77). Kata (غد) “esok” diredaksikan dengan nakirah (umum) untuk mengagungkan dan menciptakan rasa ketakutan.” (48611) “dan bertaqwālah kepada Allah”; Allah mengulangi ayat ini untuk menguatkan dan untuk menjelaskan kedudukan taqwā yang merupakan perintah Allah kepada orang-orang dahulu maupun orang-orang kemudian. “Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertaqwālah kepada Allah.”; (an-Naḥl: 131). “sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”; Allah melihat ‘amal perbuatan kalian, lalu membalas kalian berdasarkan ‘amal-‘amal itu. “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri”; hai orang-orang mu’min, jangan kalian seperti orang-orang yang tidak ingat Allah, tidak merasa diawasilah oleh-Nya, tidak taat kepada-Nya. Allah membuat mereka lupa akan hak-hak dirinya sendiri dan lupa memikirkan sesuatu yang menjadi kemaslahatannya. Abū Ḥayyān berkata: “Ini termasuk membalas dosa dengan keburukan. Mereka tidak menyembah Allah dan menunaikan perintah-Nya, sehingga mereka dihukum dengan hukuman lupa akan bagian diri mereka sendiri.” (48712). “Mereka itulah orang-orang yang fāsiq”; merekalah orang-orang yang durhaka dan keluar dari taat kepada Allah.
“Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga”; pada hari kiamat, tidak sama antara orang-orang yang celaka dan orang-orang yang beruntung, antara ahli surga dan ahli neraka, dalam hal anugerah dan kedudukan. “penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung”; ahli surga adalah orang-orang yang meraih kebahagiaan abadi di negeri keni‘matan dan itulah keberuntungan yang agung.
Kemudian Allah menyebutkan kehebatan al-Qur’ān dan pengaruhnya pada gunung-gunung tinggi yang tuli. Allah berfirman: “Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur’ān ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah”; seandainya Kami ciptakan akal pikiran pada gunung sebagaimana Kami ciptakan akal untuk manusia dan Kami turunkan kepadanya al-Qur’ān ini dengan janji dan ancamannya, tentu gunung yang tenang akan tunduk dan pecah karena takut kepada Allah. Ini menggambarkan keagungan al-Qur’ān dan kuatnya pengaruhnya. Seandainya gunung yang demikian kuat dan keras, kemudian al-Qur’ān diturunkan kepadanya tentu kamu melihatnya tunduk dan retak karena takut kepada Allah. Tujuan ayat ini ingin mengritik manusia karena ia tidak menjadi tunduk ketika membaca al-Qur’ān. Bahkan ia berpaling dari isi al-Qur’ān yang berupa hal-hal yang ajaib dan agung. Dengan demikian, maka ayat ini menjelaskan keagungan al-Qur’ān dan kehinaan manusia. (48813). Dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth disebutkan, tujuan ayat ini ingin mengritik manusia atas hatinya yang keras dan tidak terpengaruh oleh al-Qur’ān ini. Padahal seandainya diturunkan kepada gunung, maka tunduk dan meletus. Jika gunung yang demikian besar dan keras saja berubah menjadi tunduk dan retak, maka manusia lebih layak terhadap hal itu. Namun karena hina dan lemah, manusia tidak demikian. (48914) “Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir”; permisalan itu Kami rinci dan jelaskan kepada umat manusia agar mereka merenungi bukti-bukti kekuasaan Allah dan keesaan-Nya, lalu mereka mau beriman.
Setelah mensifati al-Qur’ān dengan kemuliaan dan keagungan, Allah meneruskannya dengan menjelaskan keagungan-Nya. Allah berfirman: “Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia”; Allah-lah Tuhan yang disembah dengan kebenaran, tidak ada tuhan maupun sesemabahan selain Dia. “Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata”; Allah mengetahui yang rahasia dan yang tampak. Allah mengetahui apa yang tidak diketahui oleh hamba di antara yang tidak tampak oleh matanya serta apa yang mereka lihat dan mereka ketahui. “Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”; Allah-lah Pemilik kemurahan yang luas di dunia dan akhirat.
“Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia,”; ayat ini diulangi untuk menunjukkan pentingnya tauhid. Ya‘ni tidak ada sesembahan maupun tuhan selain Dia, “Raja” Pemilik seluruh makhlūq, yang bertindak pada makhlūq-Nya dengan perintah, larangan, yang mewujudkan dan meniadakan. “Yang Maha Suci”; Yang suci dari keburukan dan sifat makhlūq. Dalam at-Tashīl disebutkan, al-Quddūs dibentuk dari taqdīs yang artinya suci dari sifat makhlūq dan dari segala ‘aib serta cacat. (49015) Ada riwayat, bahwa malaikat berkata dalam tasbīḥnya:
سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَ الرُّوْحِ.
(Maha Suci, Maha Suci, Tuhan para malaikat dan Jibrīl). “Yang Maha Sejahtera”; yang makhlūq selamat dari hukuman-Nya dan aman dari kezhāliman-Nya. “Dan Allah Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun” (al-Kahfi: 49). Al-Baidhawī berkata: “As-Salām asalnya isim mashdar namun digunakan untuk sifat.” (49116) “Yang Mengaruniakan keamanan”; ma‘na lainnya; Yang membenarkan para rasūl-Nya dengan menampakkan mu‘jizat di tangan mereka. “Yang Maha Memelihara”; Yang mengawasi dan menjaga segala sesuatu. Ibnu ‘Abbās berkata: “Ya‘ni Yang melihat hamba-hambaNya dengan ‘amal perbuatan mereka dan tidak ada yang lepas dari-Nya.” (49217) “Yang Maha Perkasa”; Yang kuasa dan menang, tidak terkalahkan dan tidak terjangkau oleh kehinaan. “Yang Maha Kuasa”; Yang tinggi dan selain Dia hina di bawah-Nya. Ibnu ‘Abbās berkata: ‘Ma‘nanya, Yang Agung dan jika berkehendak sesuatu Dia melakukannya.” (49318) “Yang Memiliki segala Keagungan”; Yang Sombong dengan ma‘na sesungguhnya, tidak ada layak sombong kecuali Dia. Dalam hadits Qudsi disebutkan: “Keagungan adalah pakaian-Ku dan kesombongan selendang-Ku. Barang siapa merebut keduanya dari-Ku, maka Aku hancurkan dia dan Aku tidak peduli.” (49419) Imām ar-Rāzī berkata: “Ketahuilah, bahwa takabbur atau sombong amat buruk bagi manusia. Takabbur termasuk akhlāq yang tercela, sebab manusia tidak mempunyai kebesaran dan dia hanya mempunyai kehinaan. Jika dia menampakkan kebesaran, maka dia berdusta. Namun Allah memiliki kebesaran dan keagungan. Jika menampakkan kebesaran-Nya, maka Allah memberi petunjuk para hamba agar mengenal keagungan-Nya. Dengan demikian, maka penampakan kebesaran adalah sangat memuji Dzāt Allah sendiri.” (49520) Itulah sebabnya Allah berfirman pada akhir ayat, “Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”; Allah Maha Suci dalam keagungan-Nya dari apa yang mereka persekutukan dengan Dia.
“Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan”; Allah adalah Tuhan yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan menuju ada serta mengadakannya. “Yang Membentuk Rupa”; Yang membuat bentuk sesuai kehendak-Nya.” (49621) “Yang Mempunyai Nama-nama Yang Paling Baik”; bagi Allah nama-nama yang agung dan ma‘nanya yang indah dan bagus. “Bertasbīḥ kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi”; segala sesuatu yang ada di alam ini mensucikan Allah dari sifat-sifat kelemahan dan kekurangan, baik dengan ucapan atau keadaan. Ash-Shāwī berkata: “Allah menutup surat ini dengan tasbih sebagaimana membukanya dengan tasbih. Ini mengisyaratkan, bahwa tasbih adalah tujuan paling utama sehingga ditempat di permulaan dan penutup. Dan bahwa puncak ma‘rifat kepada Allah adalah mensucikan keagungan-Nya dari apa yang terbayang oleh akal pikiran.” (49722). “Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”; Allah-lah Yang Perkasa pada kerajaan-Nya dan Bijaksana dalam makhlūq serta perbuatan-Nya.
Pertama, thibāq salab (kesesuaian rangkaian ma‘na kalimat dari dua lafazh):
مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوْا وَ ظَنُّوْا أَنَّهُمْ مَّانِعَتُهُمْ حُصُوْنُهُمْ مِّنَ اللهِ
“Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah”
Kedua, perbandingan yang lembut antara:
وَ مَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
“Apa yang diberikan Rasūl kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”
Ketiga, meletakkan dhamīr “hum” antara mubtada’ “ulā’ika” dan khabar “ash-shādiqūn” untuk membatasi maksud:
أُولئِكَ هُمُ الصَّادِقُوْنَ
“mereka itulah orang-orang yang benar.” Maksudnya, hanya merekalah orang yang benar.
Keempat, isti‘ārah lembut:
تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَ الْإِيْمَانَ
“dan orang-orang yang telah menempati kota Madīnah dan telah beriman (Anshār) sebelum (kedatangan) mereka (Muhājirīn).”
Allah menyerupakan iman yang tertanam dalam jiwa mereka dengan rumah yang ditempati manusia. Dia menempatinya dan berdiam di sana sehingga rumah itu menjadi tempat tinggal baginya. Ini termasuk isti‘ārah (peminjaman istilah) yang lembut.
Kelima, kata tanya dengan arti penolakan dan menyuruh heran:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ نَافَقُوْا
“Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang munāfiq?”
Keenam, thibāq (kesesuaian rangkaian ma‘na kalimat dari dua lafazh) dalam ayat:
تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَ قُلُوْبُهُمْ شَتَّى
“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.”
Yaitu kata (جَمِيْعًا) dan (شَتَّى).
Ketujuh, tasybīh tamtsīl:
كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنْسَانِ اكْفُرْ
“(Bujukan orang-orang munāfiq itu adalah) seperti (bujukan) syaithān ketika dia berkata kepada manusia: “Kafirlah kamu””
Sisi tasybīh (persamaan) diambil dari beberapa hal.
Kedelapan, kināyah yang lembut:
وَ لْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
“…..hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)”
Kiamat dikatakan sebagai hari esok karena sudah dekat.
Kesembilan, thibāq (kesesuaian rangkaian ma‘na kalimat dari dua lafazh) antara (الْغَيْبِ) “alam ghaib” dan (الشَّهَادَةِ) “alam nyata”, antara (الْجَنَّةِ) “surga” dan (النَّارِ) “neraka”.
Bukhārī dan Muslim meriwayatkan dari Abū Hurairah r.a., bahwa seorang lelaki menghadapnya, lalu berkata: “Ya Rasūlullāh, saya melarat (sangat lapar dan miskin).” Nabi mengutus seseorang untuk menemui para istrinya dan bertanya: “Apakah kamu mempunyai sesuatu?” Para istri menjawab: “Demi Dzāt yang mengutus engkau wahai Rasūlullāh dengan kebenaran, saya tidak mempunya kecuali air.” Kemudian Nabi mengutus kepada istrinya yang lain. Lalu, istri tersebut menjawab sama dan semuanya menjawab demikian. Maka Nabi s.a.w. bersabda: “Siapa yang menjamunya malam ini, maka Allah merahmatinya.” Seorang dari Anshār bernama Abū Thalḥah berdiri dan berkata: “Saya, ya Rasūlullāh.” Abū Thalḥah lalu berjalan ke rumahnya, lalu bertanya kepada istrinya: “Ini tamu Rasūlullāh, jangan sembunyikan apapun darinya dan muliakanlah dia.” Istrinya menjawab: “Yang ada padaku hanya makanan anak-anak.” Abū Thalḥah berkata: “Lakukanlah sesuatu agar anak-anak tidur. Jika tamu kita masuk, perlihatkan kepada dia bahwa kita makan, lalu berdirilah menuju lampu untuk membenahinya dan padamkan lampu.” Istrinya melakukan hal tersebut. Lalu mereka duduk dan si tamu makan. Sementara kedua tuan rumah semalaman lapar. Ketika pagi tiba, Abū Thalḥah menghadap Nabi s.a.w. Ketika melihatnya, beliau tersenyum, lalu bersabda: “Allah sungguh kagum akan perbuatan kalian malam ini terhadap teman kalian.” Maka Allah menurunkan ayat: “dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhājirīn), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)”.