“Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasūl-Nya (dari harta benda) mereka”; apa yang dikembalikan Allah kepada Nabi, yaitu harta rampasan dari Bani Nadhir, “maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun”; untuk meraihnya tidak menjalankan kuda kalian maupun unta kalian serta tidak lelah memperolehnya. Al-Qurthubī berkata: “Ya‘ni, kalian tidak menemui kesulitan dan tidak perlu berperang untuk memperolehnya. Bani Nadhir dengan jalan damai dan beliau mengusir mereka dari Madīnah serta merampas harta-benda mereka. Allah hanya memberikan harta Bani Nadhir kepada Nabi s.a.w. dan beliau meletakkannya di mana beliau inginkan.” (4621) “tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasūl-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”; namun termasuk sunnah Allah adalah menolong para rasul dengan menimpakan ketakutan pada hati musuh-musuhNya tanpa letih berperang. “Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”; Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, tidak terkalahkan dan tidak ada yang melemahkan-Nya.
Kemudian Allah menerangkan hukum harta fai’ secara umum, yaitu harta yang dijarah oleh kaum Muslimin tanpa peperangan. Allah berfirman: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasūl-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota”; apa yang dijadikan oleh Allah sebagai harta rampasan bagi Rasul-Nya tanpa perang di antara harta orang-orang kafir. Ibnu ‘Abbas berkata: “Harta rampasan itu adalah dari Quraidhah, Nadhir, Fadak dan Khaibar.” (4632). “maka adalah untuk Allah, Rasūl”; maka hukumnya ia milik Allah dan milik Rasul. Allah meletakkannya di mana Dia berkehendaki. Sementara, beliau menggunakannya untuk diri beliau sendiri dan untuk kemaslahatan kaum Muslimīn. “kerabat Rasūl, anak-anak yatim, orang-orang miskin”; fai’ juga untuk kerabat Nabi s.a.w. yaitu Bani Hāsyim dan Bani Muththalib, anak-anak yatim yang ayahnya telah meninggal dan fakir-miskin yang memerlukan. “dan orang-orang yang dalam perjalanan”; dan orang asing yang terputus perjalanannya. Dalam at-Tashīl disebutkan, tidak ada pertentangan antara ayat ini dengan ayat al-Anfāl (harta rampasan perang). Sebab ayat di surat al-Anfāl itu arahnya harta rampasan yang diperoleh dengan perang dan mengarahkan kuda maupun unta. Harta itu diambil seperlima dan sisanya dibagikan kepada para pengikut perang. Sedangkan ayat ini arahnya hanya fai’ yaitu harta yang diperoleh dari orang-orang kafir tanpa peperangan. Maka tidak ada pertentangan antara kedua ayat dan tidak terjadi nasakh. ‘Ulamā’ fikih menegaskan perbedaan antara anfāl dan fai’ dan bahwa hukum keduanya berbeda. Anfāl diperoleh dengan perang dan fai’ diperoleh dengan jalan damai. Perhatikan redaksi ayat ini: “apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasūl-Nya”; dan redaksi di ayat al-Anfāl: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang.” (al-Anfāl: 41). (4643) “supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”; agar harta itu tidak dimonopoli oleh orang-orang kaya saja, padahal orang-orang miskin sangat memerlukan harta. Al-Qurthubī berkata: “Ya‘ni Kami berbuat demikian agar fai’ tidak dibagi-bagi oleh kalangan pemimpin dan orang kaya tanpa diberikan kepada orang miskin dan orang lemah. Sebab pada masa Jāhiliyyah, pemimpin mengambil seperempat bagian untuk dirinya sendiri. Lalu, dia memilih apa yang dia inginkan.” (4654) ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Nabi s.a.w. membagikan harta-benda Bani Nadhir kepada Muhājirīn, sebab saat itu mereka miskin. Sementara kepada kaum Anshār, beliau tidak memberi apapun karena mereka kaya. Sebagian kaum Anshār berkata: “Kita mempunyai dua bagian dari harta fai’ ini. Maka Allah menurunkan ayat ini: “Apa yang diberikan Rasūl kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”; ma‘nanya, apapun yang diperintahkan Rasul kepada kalian, lakukanlah, dan apapun yang beliau larang bagi kalian, tinggalkanlah. Sebab, dia hanya memerintahkan kebaikan dan kemaslahatan dan melarang segala keburukan dan kerusakan. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Meskipun turunnya ayat ini berkenaan dengan harta fai’, namun ayat ini bersifat umum pada segala hal yang diperintah atau dilarang oleh Nabi s.a.w., baik wajib, sunnat atau haram. Maka fai’ dan lainnya termasuk dalam ayat ini, dalam lingkup ketaatan kepada Rasūlullāh.” (4665) Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas‘ūd r.a. berkata: “Allah melaknat wanita-wanita yang membuat tahi lalat, wanita-wanita yang minta dibuatkan tahi lalat, wanita-wanita yang mencabut rambutnya dan wanita-wanita yang membentuk giginya supaya indah, dan yang mengubah ciptaan Allah.” Hal itu sampai kepada seorang wanita bernama Ummi Ya‘qūb yang ahli al-Qur’ān. Dia menghadap Ibnu Mas‘ūd dan berkata: “Jika anda membacanya, tentu anda mendapatkannya. Tidakkah anda pernah membaca ayat: “Apa yang diberikan Rasūl kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”, (4676) “dan bertaqwālah kepada Allah”; takutlah kalian kepada Tuhan kalian dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. “Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”; sebab hukuman Allah berat dan siksa-Nya hebat bagi orang yang durhaka dan menentang perintah-Nya.
“(Juga) bagi para fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhāan (Nya)”; ini berkaitan dengan hukum fai’ sebelumnya. Seolah Allah berfirman: “Harta fai’ dan rampasan perang adalah untuk Muhājirīn yang miskin yang dipaksa kafir-kafir Makkah untuk meninggalkan tanah tumpah darah mereka. Mereka meninggalkan rumah dan harta-benda demi mencari ridhā Allah. “dan mereka menolong Allah dan Rasūl-Nya”; dengan hijrah itu, mereka bertujuan meninggikan kalimat Allah dan menolong agama-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang benar”; orang-orang yang memiliki sifat-sifat terpuji tersebut adalah orang-orang yang benar imannya. Qatādah berkata: “Mereka adalah Muhājirīn yang meninggalkan rumah dan harta-benda, keluarga serta negeri dan rumah mereka karena cinta kepada Allah dan Nabi s.a.w. Bahkan ada seorang dari kalangan Muhājirīn yang mengganjal perutnya dengan batu agar badannya kuat karena lapar.” (4687).
Kemudian Allah menyanjung sahabat Anshār dan menjelaskan kelebihan mereka. “Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madīnah dan telah beriman (Anshār) sebelum (kedatangan) mereka (Muhājirīn)”; orang-orang yang menjadikan Madīnah sebagai tempat tinggal dan rumah dan beriman sebelum kedatangan kaum Muhājirīn, ya‘ni sahabat Anshār. Al-Qurthubī berkata: “Maksudnya mereka menempati Madīnah sebelum Muhājirīn dan mereka beriman dengan ikhlas. Bukan yang dimaksudkan bahwa Anshār beriman sebelum Muhājirīn, namun yang dimaksudkan adalah mereka beriman sebelum Nabi s.a.w. berhijrah kepada mereka.” (4698). “mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka”; kaum Anshār mencintai saudara mereka yaitu kaum Muhājirīn dan berbagi harta-benda dengan mereka. Al-Khāzin berkata: “Kaum Anshār memempatkan Muhājirīn di rumahnya dan menjadikannya sekutu dalam harta-benda.” (4709). “Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhājirīn)”; Anshār tidak merasa iri karena rampasan perang yang diberikan kepada Muhājirīn dan mereka tidak diberi. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Nabi s.a.w. membagikan harta-benda Bani Nadhir di antara sahabat Muhājirīn dan tidak memberikan apapun kepada Anshār, kecuali tiga orang. Namun hati Anshār rela atas pembagian itu. “dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhājirīn), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)”; mereka lebih mengutamakan orang lain dalam hal harta-benda, meskipun mereka sendiri sangat memerlukannya. Sikap mengutamakan orang lain ini tidak dilakukan saat mereka kaya, namun saat mereka sendiri memerlukan. Ini pengorbanan yang tertinggi. “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”; barang siapa dijaga Allah dan selamat dari kikir, maka dia beruntung dan sukses. Ibnu ‘Umar berkata: “Kikir bukanlah seseorang tidak memberikan hartanya, namun kikir adalah matanya menginginkan sesuatu yang bukan miliknya.” (47110) Dalam hadits disebutkan: “Takutlah kalian kepada kikir, karena sesungguhnya ia merusak orang yang ada sebelum kalian. Kikir mendorong mereka untuk mengalirkan darah mereka dan menghalalkan hal-hal yang haram.” (47211).
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhājirīn dan Anshār)”; inilah kelompok ketiga dari mu’min yang berhak terhadap kelebihan, yaitu para Tābi‘īn yang mengikuti sahabat dalam kebaikan sampai hari kiamat. “mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami”; mereka mendoakan sahabat Nabi s.a.w. dengan berkata: “Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara mu’min kami yang mendahului kami dalam beriman. Abū Su‘ūd berkata: “Mereka menyifati sahabat dengan terlebih dahulu dalam beriman sebagai pengakuan kelebihan sahabat. Sebab, persaudaraan dalam agama menurut mereka lebih mulia daripada persaudaraan nasab.” (47312). “dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman”; dan janganlah Engkau jadikan hati kami dengki maupun hasud kepada siapapun di antara orang-orang mu’min. “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”; Engkau Maha Penyayang, karena itu kabulkanlah doa kami. Ibnu Katsīr berkata: “Betapa indah istinbath (pengambilan kesimpulan hukum) yang dilakukan Imām Mālik dari ayat ini, bahwa kaum Rāfidhah yang mencela sahabat tidak berhak terhadap apapun dari harta rampasan perang, sebab mereka tidak memiliki sifat-sifat orang mu’min ini.” (47413). Syaikh Zādah berkata: “Allah menjelaskan bahwa termasuk sifat orang yang datang setelah Muhājirīn dan Anshār adalah menyebutkan orang-orang dahulu dengan rahmat dan doa. Barang siapa tidak demikian, atau bahkan menyebut mereka dengan hal-hal buruk, maka dia keluar dari kelompok orang mu’min berdasarkan ayat di atas. Diriwayatkan bahwa asy-Sya‘bī berkata: “Kaum Yahudi dan Nashrani melebihi Rāfidhah dengan satu sifat. Yahudi ditanya: “Siapa pemeluk agama kalian paling baik?” Mereka menjawab: “Para sahabat Mūsā.” Nashrani ditanya: “Siapa pemeluk agama kalian paling baik?” Mereka menjawab: “Sahabat ‘Īsā.” Ketika Rāfidhah ditanya: “Siapa pemuluk agama kalian paling buruk?” Mereka menjawab: “Sahabat Muḥammad s.a.w.” Rāfidhah diperintah untuk beristighfar untuk para sahabat Muḥammad, namun mereka malah mencaci makinya. Maka pedang terhunus atas Rāfidhah sampai hari kiamat. (47514).
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ نَافَقُوْا يَقُوْلُوْنَ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَ لَا نُطِيْعُ فِيْكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَ إِنْ قُوْتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَ اللهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُوْنَ. لَئِنْ أُخْرِجُوْا لَا يَخْرُجُوْنَ مَعَهُمْ وَ لَئِنْ قُوْتِلُوْا لَا يَنْصُرُوْنَهُمْ وَ لَئِنْ نَّصَرُوْهُمْ لَيُوَلُّنَّ الْأَدْبَارَ ثُمَّ لَا يُنْصَرُوْنَ. لَأَنْتُمْ أَشَدُّ رَهْبَةً فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِّنَ اللهِ ذلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ. لَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ جَمِيْعًا إِلَّا فِيْ قُرًى مُّحَصَّنَةٍ أَوْ مِنْ وَرَاءِ جُدُرٍ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيْدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَ قُلُوْبُهُمْ شَتَّى ذلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُوْنَ. كَمَثَلِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ قَرِيْبًا ذَاقُوْا وَ بَالَ أَمْرِهِمْ وَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ. كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّيْ بَرِيْءٌ مِّنْكَ إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. فَكَانَ عَاقِبَتَهُمَا أَنَّهُمَا فِي النَّارِ خَالِدَيْنِ فِيْهَا وَ ذلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِيْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ لْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَ اتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ. وَ لَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُوْلئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ. لَا يَسْتَوِيْ أَصْحَابُ النَّارِ وَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُوْنَ. لَوْ أَنْزَلْنَا هذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللهِ وَ تِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ. هُوَ اللهُ الَّذِيْ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَ الشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمنُ الرَّحِيْمُ. هُوَ اللهُ الَّذِيْ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ. هُوَ اللهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ.
59: 11. Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang munāfiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli Kitāb: “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu”. Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.
59: 12. Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munāfiq itu tiada akan keluar bersama mereka, dan sesungguhnya jika mereka diperangi; niscaya mereka tiada akan menolongnya; sesungguhnya jika mereka menolongnya niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tiada akan mendapat pertolongan.
59: 13. Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah. Yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tiada mengerti.
59: 14. Mereka tiada akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.
59: 15. (Mereka adalah) seperti orang-orang Yahudi yang belum lama sebelum mereka telah merasai akibat buruk dari perbuatan mereka dan bagi mereka ‘adzāb yang pedih.
59: 16. (Bujukan orang-orang munāfiq itu adalah) seperti (bujukan) syaithān ketika dia berkata kepada manusia: “Kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam”.
59: 17. Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zhālim.
59: 18. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwālah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwālah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
59: 19. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fāsiq.
59: 20. Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.
59: 21. Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur’ān ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.
59: 22. Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
59: 23. Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan.
59: 24. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbīḥ kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Setelah menuturkan sifat-sifat mu’min yang sejati, maka Allah menuturkan sifat-sifat munāfiq yang suka menipu, tidak mau menolong orang mu’min. Bahkan mereka bersahabat dengan Yahudi dan bersumpah setia dengan mereka untuk memerangi orang mu’min. Kemudian Allah menuturkan perbedaan yang jelas antara ahli surga dan ahli neraka dan bahwa mereka tidak sama keadaan dan kesudahannya. Akhirnya surat ini ditutup dengan menyebutkan sebagian Asmā’-ul-Ḥusnā Allah dan sifat-sifatNya.