Firman Allah s.w.t.
إِنِّيْ ظَنَنْتُ أَنِّيْ مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ.
“Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.”
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 20).
Zhann adalah perantara antara keraguan dengan pengetahuan, yang terkadang memiliki ma‘na “mengetahui” apabila didukung oleh indikasi-indikasi yang menguatkan.
Penjelasan Syaikh r.h. mengenai hal ini telah berlalu pada pembahasan firman Allah: (وَ رَأَى الْمُجْرِمُوْنَ النَّارَ فَظَنُّوْا أَنَّهُمْ مُوَاقِعُوْهَا.) “Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka meyakini, bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya.” (Qs. al-Kahfi [18]: 53).
Maksudnya, mereka mengetahui dengan beberapa indikasi petunjuk (qarinah).
(وَ لَمْ يَجِدُوْا عَنْهَا مَصْرِفًا.) “Dan mereka tidak menemukan tempat berpaling daripadanya.” (Qs. al-Kahfi [18]: 53).
Ia di sini berma‘na “mengetahui” karena yang berkaitan dengan ‘aqidah tidak layak menggunakan persangkaan, melainkan harus terdapat pengetahuan dan kepastian.
Al-Qur’ān sendiri telah menunjukkan bahwa zhaan terkadang berarti “mengetahui”, dari konteks firman Allah: (إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ) “Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (Qs. al-Ḥujurāt [49]: 12) yang konteksnya di sini adalah, sebagiannya bukan merupakan dosa, maka benar adanya.
Juga firman Allah: (الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ أَنَّهُمْ مُلَاقُوْا رَبِّهِمْ.) “(Yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya.” (Qs. al-Baqarah [2]:46).
مَا أَغْنَى عَنِّيْ مَالِيَهْ.
“Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku.”
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 28).
Ada pendapat yang mengatakan bahwa partikel (مَا) di sini adalah istifhām (pertanyaan), yang artinya, hartaku yang manakah yang dapat bermanfaat bagiku? Jawabannya adalah, tidak ada sama sekali.
Pendapat ini mengatakan bahwa (مَا) adalah nafiah, ya‘ni, tidak ada sama sekali dari hartaku yang berguna pada hari ini. Ini didukung oleh firman Allah: (يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَ لَا بَنُوْنَ.) “(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna.” (Qs. asy-Syu‘arā’ [26]: 88).
(مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَ مَا كَسَبَ.) “Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.” (Qs. al-Lahab [111]: 2).
Syaikh r.h. telah menjelaskan mengenai hal ini pada bahasan firman Allah: (وَ لَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّيْ.) “Dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku.” (Qs. al-Kahfi [18]: 36).
(وَ لَوْ لَا أَنْ يَكُوْنَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً لَجَعَلْنَا) “Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan.” (Qs. az-Zukhruf [43]: 33).
هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطَانِيَهْ.
“Telah hilang kekuasaanku dariku.”
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 29).
Maksudnya, tidak ada kekuatan, kewibawaan, dan kekuasaan pada seseorang pada hari itu, sebagaimana dijelaskan dalam firman-firman Allah: (وَ عُرِضُوْا عَلَى رَبِّكَ صَفًّا لَقَدْ جِئْتُمُوْنَا كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ.) “Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakan kamu pada kali yang pertama.” (Qs. al-Kahfi [18]: 48).
Maksudnya, tidak beralas kaki dan dalam keadaan telanjang.
(وَ لَقَدْ جِئْتُمُوْنَا فُرَادَى كَمَا خَلَقْكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَ تَرَكْتُمْ مَا خَوَّلْنَاكُمْ وَرَاءَ ظُهُوْرِكُمْ.) “Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia).” (Qs. al-An‘ām [6]: 94).
إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ. وَ لَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ.
“Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.”
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 33-34).
Di sini terdapat ‘athaf pada tidak adanya dorongan untuk memberi makan orang miskin terhadap tidak adanya keimanan kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa orang kafir di‘adzab lantaran meninggalkan cabang kewajibab-kewajiban.
Penjelasan Syaikh r.h. mengenai hal ini ada pada pembahasan firman-Nya: (وَ وَيْلٌ لِلْمُشْرِكِيْنَ. الَّذِيْنَ لَا يُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ.) “Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat.” (Qs. Fushshilat [41]: 6-7).
Aku mendengar dari Syaikh r.h. pernyataannya: Sebagaimana iman dapat bertambah dengan keimanan, seorang yang beriman diberi ganjaran atas keimanannya dan ketaatannya, juga kekufuran bertambah dengan kemaksiatan, dan ia dibalas karena kekufuran dan maksiat yang ia lakukan, sebagaimana firman-Nya: (الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَ صَدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللهِ زِدْنَاهُمْ عَذَابًا فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوْا يُفْسِدُوْنَ.) “Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan.” (Qs. an-Naḥl [16]: 88).
Jadi, ‘adzab ditimpakan lantaran kekufuran, sedangkan ‘adzab lantaran pengerusakan. Hal ini menunjukkan bertambahnya kekufuran.
Allah ta‘ālā berfirman: (إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بَعْدَ إِيْمَانِهِمْ ثُمَّ ازْدَادُوْا كَفَرُوْا لَنْ تُقْبَلَ تَوْبَتُهُمْ.) “Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima tobatnya.” (Qs Āli ‘Imrān [3]: 90).
Mengenai masalah bertambahnya ‘adzab ini, telah dijelaskan oleh Syaikh r.h. pada bahasan surah an-Naḥl.
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ.
“Sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasūl yang mulia.”
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 40).
Lafazh (القول) “wahyu” disandarkan kepada Rasūl yang mulia untuk tujuan penyampaian, sebagaimana ayat berikutnya: (تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعَالَمِيْنَ.) “Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.” (Qs. al-Ḥāqqah [69]: 43).
Rasūl di sini bisa saja Nabi atau Jibrīl.
Mengenai Jibrīl, Allah berfirman: (إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ. ذِيْ قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِيْنٍ. مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِيْنٍ.) “Sesungguhnya Al-Qur’ān itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibrīl), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arasy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya” (Qs. at-Takwīr [81]: 19-21).
Di sini yang dimaksud adalah Rasūl s.a.w. dengan qarīnah firman Allah: (وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ) “Dan al-Qur’ān itu bukanlah perkataan seorang penyair.” (Qs. al-Ḥāqqah [69]: 41) dan apa yang ‘athaf-kan padanya, karena orang yang dituduh demikian adalah Nabi Muḥammad s.a.w., maka Allah menafikan tuduhan itu dari beliau, sehingga konsekuensinya adalah penetapan sifat yang mulia dengan dinisbatkannya al-Qur’ān dari Muḥammad, dari Jibrīl, dari Allah. Hal ini telah diisyaratkan pada ayat pertama firman Allah: (مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِيْنٍ وَ مَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُوْنٍ.) “Yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekal-kali orang yang gila.” (Qs. at-Takwīr [81]: 21-22).
Dengan demikian, ditetapkan bahwa para utusan Allah telah menyampaikan Kalāmullāh secara benar dan adil, dan ini merupakan bantahan atas kaum Quraisy yang menuduh Rasūlullāh s.a.w. dengan sesuatu yang tidak benar.
Di sini juga tekandung bantahan terhadap kalangan Rāfidhah yang mengklaim adanya perubahan dan kekurangan dalam al-Qur’ān. (Ini pernyataan yang kurang tepat, lihat Tafsīr-ul-Faidh-il-Kasyānī dan Fatwa-fatwa ‘ulamā’ Syī‘ah yang terkenal di setiap zaman mereka (Lihat: Menolak Isu Perubahan al-Qur’an oleh Syaikh Rasul Ja‘fariyan) – SH.)
وَ لَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيْلِ.
“Seandainya dia (Muḥammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami.”
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 44).
Syaikh r.h. telah menjelaskan sebelumnya mengenai hal ini, bahwa ma‘na ini berdasarkan zhahir lafazh pada pembahasan firman Allah: (أَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرَاهُ قُلْ إِنِ افْتَرَيْتُهُ، فَلَا تَمْلِكُوْنَ لِيْ مِنَ اللهِ شَيْئًا.) “Bahkan mereka mengatakan: “Dia (Muḥammad) telah mengada-adakan (al-Qur’ān)”. Katakanlah: “Jika aku mengada-adakannya, maka kamu tiada mempunyai kuasa sedikit pun mempertahankan aku dari (‘adzab) Allah itu.” (Qs. al-Aḥqāf [46]: 8).
Ini menggunakan pola “pengandaian” untuk Nabi s.a.w.
Abū Ḥayyān membantah bahwa dhamīr pada lafazh (تَقَوَّلَ) kembali kepada Nabi s.a.w., karena hal itu mustahil terjadi dari beliau s.a.w.
Ia berkata: Lafazh (تَقَوَّلَ) dibaca dengan pola mabnī lil-majhūl dan rafa‘ (harakat dhammah) pada lafazh (بَعْض).
Ia juga berkata: Berdasarkan qirā’at jumhur, maka fā‘il dari (تَقَوَّلَ) disembunyikan, dan asumsinya adalah (وَ لَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا مُتَقَوِّلٌ) “dan seandainya seorang pengada-ada mengada-adakan kepada kami.”
Cara baca itu telah disebutkan oleh al-Qurthubī dan pengarang al-Kasysyāf, tetapi tidak disebutkan oleh Ibnu Katsīr, ath-Thabarī, dan an-Naisābūrī dari kalangan ‘ulamā’ yang concern dengan permasalahan qirā’at. Hal ini yang menjadikan ke-shaḥīḥ-annya perlu ditinjau ulang. Seandainya benar, tentu dikedepankan. Akan tetapi bantahan dari Abū Ḥayyān dan terlarang untuk kedudukan Nabi s.a.w. – pada hakikatnya – adalah shaḥīḥ, hanya saja dengan menggunakan pola pengandaian tidak terlarang.
Di dalam al-Qur’ān ada pengadaian yang lebih besar dari itu, antara lain: (قُلْ إِنْ كَانَ لِلرَّحْمنِ وَلَدٌ فَأَنَا أَوَّلُ الْعَابِدِيْنَ.) “Katakanlah: “Jika benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muḥammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu)”.” (Qs. az-Zukhruf [43]: 81).
(لَوْ كَانَ فِيْهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللهُ لَفَسَدَتَا) “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (Qs. al-Anbiyā’ [21]: 22).
Juga pernyataan tegas dalam tema ini, yang disampaikan Syaikh r.h. ketika membahas firman Allah: (قُلْ إِنِ افْتَرَيْتُهُ، فَلَا تَمْلِكُوْنَ لِيْ مِنَ اللهِ شَيْئًا.) “Katakanlah: “Jika aku mengada-adakannya, maka kamu tiada mempunyai kuasa sedikit pun mempertahankan aku dari (‘adzab) Allah itu.” (Qs. al-Aḥqāf [46]: 8).
وَ إِنَّهُ لَحَقُّ الْيَقِيْنِ. فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ.
“Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar kebenaran yang diyakini. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang Maha Besar.”
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 51-52).
Di sini terkandung penafian terhadap kebatilan, berupa syair, perdukunan, dan lainnya. Semuanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Syaikh r.h. telah menjelaskan sebelumnya mengenai penambahan kebenaran terhadap keyakinan, ma‘na “tasbih dengan menyebut nama Tuhanmu” pada akhir surah al-Wāqi‘ah, dan kebenaran yang diyakini (ḥaqq-ul-yaqīn) merupakan puncak pengetahuan, karena keyakinan memiliki tiga tahapan:
Pertama, ‘ilm-ul-yaqīn.
Kedua, ‘ain-ul-yaqīn.
Ketiga, ḥaqq-ul-yaqīn, sebagaimana tercantum dalam firman-Nya: (كَلَّا لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ. لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ. ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ.) “Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jaḥīm, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ain-ul-yaqīn” (Qs. at-Takātsur [102): 5-7).
Itulah dua tahapan keyakinan, dan yang ketiga yaitu jika telah memasukinya, maka menjadi ḥaqq-ul-yaqīn. Contohnya di dunia adalah mengetahui keberadaan Ka‘bah dan menghadap kepadanya ketika shalat. Kemudian dengan melihatnya secara langsung adalah ‘ain-ul-yaqīn, dan dengan memasuki di dalamnya menjadi ḥaqq-ul-yaqīn. Sebagaimana kita bertasbih kepada Allah, dan itu merupakan penyucian-Nya, kita juga menyucikan kalam-Nya karena itu merupakan salah satu sifat-Nya.