Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir asy-Syanqithi (1/2)

Dari Buku:
Tafsir Adhwa’-ul-Bayan
(Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Jilid 11, Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh asy-Syanqithi

Penerjemah: Ahmad Affandi, Zubaidah Abdurrauf, Kholid Hidayatulullah, Muhammad Yusuf.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir asy-Syanqithi

سُوْرَةُ الْحَاقَّةِ

AL-ḤĀQQAH (Hari Kiamat)

Surah ke 69: 52 ayat.

 

Firman Allah s.w.t.:

الْحَاقَّةُ. مَا الْحَاقَّةُ.

Hari kiamat, apakah hari kiamat itu?.”

(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 1-2).

Kata al-Ḥāqqah termasuk salah satu nama kiamat.

Ayat berikutnya adalah: (كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ وَ عَادٌ بِالْقَارِعَةِ.) “Kaum Tsamūd dan ‘Ād telah mendustakan hari kiamat” (Qs. al-Ḥāqqah [69]: 4).

وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ. يَوْمَ يَكُوْنُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوْثِ.

Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu? Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran” (Qs. al-Qāri‘ah [101]: 3-4).

Kiamat dinamakan “ḥāqqah” karena pada hari itu janji Allah untuk kebangkitan dan pembalasan ditegakkan.

Kiamat dinamakan “qāri‘ah” karena hati akan berdebar-bebar dengan dahsyatnya huru-hara pada hari itu: (وَ تَرَى النَّاسَ سُكَارى وَ مَا هُمْ بِسُكَارى) “Dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk.” (Qs. al-Ḥajj [22]: 2).

Kiamat juga dinamakan “Wāqi‘ah” (لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ) “Terjadinya Kiamat itu tidak dapat didustakan (disangkal).” (Wāqi‘ah [56]: 2).

Firman Allah s.w.t.:

كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ وَ عَادٌ بِالْقَارِعَةِ. فَأَمَّا ثَمُوْدُ فَأُهْلِكُوْا بِالطَّاغِيَةِ.

Kaum Tsamūd dan ‘Ād telah mendustakan hari kiamat. Adapun kaum Tsamūd maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa

(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 4-5).

Lafazh thāghiyah adalah fā‘il dari thughyān, yaitu melampaui batas secara mutlak, seperti firman Allah: (إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ) “Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung)” (Qs. al-Ḥāqqah [69]: 11).

(كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى) “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas.” (Qs. al-‘Alaq [96]: 6).

Terdapat perbedaan pendapat mengenai ma‘na thughyān di sini:

Sebagian menyatakan bahwa thāghiyah adalah penyembelih unta, sebagaimana terdapat dalam firman Allah: (كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ بِطَغْوَاهَا. إِذِ انْبَعَثَ أَشْقَاهَا.) “(Kaum) Tsamūd telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas, ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka” (Qs. asy-Syams [91]: 11-12).

Dengan demikian, huruf bā’ pada lafazh itu menjadi sababiyyah, disebabkan pelampauan batas itu.

Ada yang mengatakan bahwa thāghiyah adalah teriakan keras yang membinasakan mereka, berdasarkan firman Allah: (إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ صَيْحَةً وَاحِدَةً فَكَانُوْا كَهَشِيْمِ الْمُحْتَظِرِ) “Sesungguhnya Kami menimpakan atas mereka satu suara yang keras mengguntur, maka jadilah mereka seperti rumput-rumput kering (yang dikumpulkan oleh) yang punya kandang binatang.” (Qs. al-Qamar [54]: 31).

Dengan demikian, huruf bā’ tersebut sebagai ‘āliyah, seperti ungkapan, (كَتَبْتُ بِالْقَلَمِ) dan (قَطَعْتُ بِالسِّكِّيْنِ) “aku menulis dengan pena” dan “aku memotong dengan pisau”.

Adapun yang diperkuat oleh al-Qur’ān adalah ma‘na kedua: (وَ فِيْ ثَمُوْدَ إِذْ قِيْلَ لَهُمْ تَمَتَّعُوْا حَتَّى حِيْنٍ. فَعَتَوْا عَنْ أَمْرِ رَبِّهِمْ فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ وَ هُمْ يَنْظُرُوْنَ) “Dan pada (kisah) kaum Tsamūd ketika dikatakan kepada mereka: “Bersenang-senanglah kamu sampai suatu waktu”. Maka mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya, lalu mereka disambar petir sedang mereka melihatnya.” (Qs. adz-Dzāriyāt [51]: 43-44).

Jika dikatakan: Tidak ada larangan untuk dimaksudkan pada kedua ma‘na tersebut, maka itu karena keduanya saling berkaitan, sebagaimana keterkaitan sebab dan yang disebabkan, sebab yang pertama menjadi sebab untuk yang kedua, sekalipun berjauhan, dan diisyaratkan oleh firman Allah: (فَعَتَوْا عَنْ أَمْرِ رَبِّهِمْ فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ) “Maka mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya, lalu mereka disambar petir.” (Qs. adz-Dzāriyāt [51]: 43-44).

Lafazh ‘utuww (angkuh) pada dasarnya adalah thughyān (melampaui batas), dan shā‘iqah (petir) adalah suara yang sangat keras. Kedua lafazh ini dikaitkan dengan huruf fā’.

Firman Allah s.w.t.

وَ أَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ. سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُوْمًا

Adapun kaum ‘Ād maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus

(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 6-7).

Penjelasan Syaikh r.h. mengenai hal ini telah berlalu saat menerangkan tafsir firman Allah: (فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيْحًا صَرْصَرًا فِيْ أَيَّامٍ نَّحِسَاتٍ) “Maka Kami meniupkan angin yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial” (Qs. Fushshilat [41]: 16) dan penjelasan secara terperinci mengenai cara pembinasaan kaum ‘Ād dan Tsamūd dalam ayat ini menjadi penjelasan terhadap keglobalan yang terdapat dalam firman Allah: (فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ) “Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti ‘adzab.” (Qs. al-Fajr [89]: 13).

Firman Allah s.w.t.

وَ جَاءَ فِرْعَوْنُ وَ مَنْ قَبْلَهُ وَ الْمُؤْتَفِكَاتُ بِالْخَاطِئَةِ.

Dan telah datang Fir‘aun dan orang-orang yang sebelumnya dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkirbalikkan karena kesalahan yang besar.

(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 9).

Lafazh al-mu’tafikāt ya‘ni al-munqalibāt (dibolakbalikkan), yaitu negeri-negeri kaum Lūth.

Penjelasan terperinci dari Syaikh r.h. mengenai hal ini telah berlalu pada bahasan tafsir firman Allah: (فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا.) “Maka tatkala datang ‘adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Lūth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan).” (Qs. Hūd [11]: 82).

(وَ الْمُؤْتَفِكَةَ أَهْوَى) “Dan negeri-negeri kaum Lūth yang telah dihancurkan Allah.” (Qs. an-Najm [53]: 53).

Peringatan

Allah di sini mencatat bahwa Fir‘aun dan kaum sebelumnya, serta negeri-negeri yang dijungkirbalikkan, telah melakukan kesalahan besar: (فَعَصَوْا رَسُوْلَ رَبِّهِمْ) “Maka (masing-masing) mereka mendurhakai rasūl Tuhan mereka” (Qs. al-Ḥāqqah [69]: 10).

Demikian pula kaum ‘Ād dan Tsamūd yang mendustakan Hari Kiamat. Semuanya sama dalam melakukan kesalahan yang besar, yaitu durhaka kepada rasūl: (فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُوْلَ) “Maka Fir‘aun mendurhakai rasūl itu.” (Qs. al-Muzzammil [73]: 16 akan tetapi ia telah dihukum dengan hukuman yang keras.

Jenis hukuman yang diberlakukan kepada mereka semua adalah ditenggelamkannya Fir‘aun dan kaumnya serta kaun Nūḥ, kaum Tsamūd dengan teriakan yang sangat keras., ‘Ād dengan angin yang sangat kencang dan dingin, kaum Lūth dengan dibalikkannya negeri mereka, sebagaimana bala tentara Abrahah dengan burung ababil (yang berbondong-bondong).

Apakah pada semua itu terdapat kesesuaian antara masing-masing umat dengan hukuman atas mereka, atau itu hanya merupakan hukuman yang beragam supaya menunjukkan kekuasaan Allah ta‘ālā dan balasan bagi para pendurhaka rasūl-rasūlNya?

Pada hakikatnya, jelas hukuman apa pun merupakan tanda kekuasaan dan balasan bagi yang merasakannya, akan tetapi pengkhususan masing-masing umat dengan kejadian yang menimpa mereka menimbulkan sebuah pertanyaan. Barang kali isyarat yang ditunjukkan al-Qur’ān secara lembut adalah sebagai berikut:

Mengenai Fir‘aun, Allah berfirman: (أَلَيْسَ لِيْ مُلْكُ مِصْرَ وَ هذِهِ الْأَنْهَارُ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِيْ.) “Bukankah kejadian Mesir ini kepunyaanku dn (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku.” (Qs. az-Zukhruf [43]: 51).

Tatkala mereka melampaui batas, Allah membinasakan mereka padanya, atau yang sejenisnya.

Kaum Nūḥ, tatkala beliau telah berputus asa dari mereka, karena setelah seribu tahun kurang lima puluh umatnya tetap tidak beriman dan melahirkan orang-orang yang durhaka daan kafir, maka sudah selazimnya bumi dibersihkan dari mereka, dan hal itu tidak dapat terlaksana melainkan dengan didatangkannya air bah.

Kaum Tsamūd dihantam dengan suara yang sangat keras, karena mereka menyeru teman mereka untuk menyembelih unta tersebut, dan tatkala seruan mereka kepada teman mereka menjadi sebab penyembelihan unta itu, kebinasaan mereka adalah dengan seruan atau teriakan yang sangat keras.

Mengenai kaum ‘Ād, Allah berfirman: (أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ، إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ، الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ.) “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ād? (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain.” (Qs. al-Fajar [89]: 6-8) baik mengenai tiang-tiang rumah mereka maupun istana-istana mereka. Semua itu adalah kiasan dari tingginya tubuh postur mereka, kekuatan mereka, dan berlimpahnya harta mereka, maka mereka dibinasakan dengan angin, yang membuat mereka tidak menyangka bahwa itu akan membahayakan mereka.

Demikian pula dengan bala tentara Abrahah yang sangat kuat dan berjumlah banyak, mereka membawa pasukan gajah yang merupakan binatang paling kuat, namun Allah membinasakan mereka dengan binatang yang lemah dan burung-burung: (وَ أَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيْلَ، تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيْلٍ.) “Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar.” (Qs. al-Fīl [105]: 3-4).

Kaum Lūth telah membalik keadaan dengan menyetubuhi kaum laki-laki dan bukan perempuan, maka balasan yang didapat serupa dengan perbuatan yang mereka lakukan, yaitu membalik negeri mereka di atas mereka.

Semua menjadi berita yang menakutkan bagi kaum Quraisy.

Firman Allah s.w.t.

وَ حُمِلَتِ الْأَرْضُ وَ الْجِبَالُ فَدُكَّتَا دَكَّةً وَاحِدَةً.

Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur.

(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 14).

Penjelasan Syaikh r.h. mengenai hal ini telah berlalu pada bahasan firman Allah: (وَ يَوْمَ تُسَيِّرُ الْجِبَالَ.) “Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung.” (Qs. al-Kahfi [18]: 47).

Firman Allah s.w.t.

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُوْنَ لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ.

Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).

(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 18).

Penjelasan Syaikh r.h. mengenai hal ini telah berlalu pada pembahasan firman Allah: (وَ وَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًا.) “Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis).” (Qs. al-Kahfi [18]: 49).

Firman Allah s.w.t.

فَأَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِيْنِهِ

Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya.

(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 19).

Penjelasan Syaikh r.h. mengenai perkara mengambil kitab dan hakikatnya telah berlalu pada bahasan firman Allah: (وَ وُضِعَ الْكِتَابُ) “Dan diletakkan kitab.” (Qs. al-Kahfi [18]: 49).

Syaikh telah membahasnya pula dalam Daf‘u Ihām-il-Idhthirābi ‘an Āyāt-il-Kitāb, dan penjelasan mengenai bagian ketiga dari sebelah belakang mereka.

Juga terdapat rincian mengenai kitab, kitābah (tulisan), dan rekaman perbuatan-perbuatan yang akan diperlihatkan kembali, melalui nash-nash yang jelas dan tegas, seperti:

(وَ وُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِيْنَ مُشْفِقِيْنَ مِمَّا فِيْهِ.) “Dan diletakkan kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya.” (Qs. al-Kahfi [18]: 49).

(يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَ لَا كَبِيْرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا.) “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.” (Qs. al-Kahfi [18]: 49).

(وَ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ.) “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qs. Qāf [50]: 18).

(اقْرَأْ كَتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيْبًا.) “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.”. (Qs. al-Isrā’ [17]: 14).

Itu adalah kitab yang terdapat catatan di dalamnya dan akan dibagikan pada Hari Kiamat kelak, sehingga semua orang membacanya. Hal ini menjadi bantahan terhadap pernyataan yang mengatakan bahwa pengambilan kitab dengan tangan kanan atau kiri merupakan kināyah dari keberuntungan dan kesialan. Sebenarnya ini merupakan pena‘wilan yang buruk dan rusak, tanpa dalil. Sesuatu yang biasa dinamakan oleh kalangan ahli ushul dengan “mainan”.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *