Dalam surat al-Ḥāqqah ini terdapat sejumlah keindahan bahasa (bayān dan badī‘) sebagai berikut ini:
Pertama, ithnāb dengan mengulang-ulang isim untuk menciptakan perasaan menakuti dan menggambarkan hebatnya hari kiamat.
الْحاقَّةُ. مَا الْحَاقَّةُ.
“hari kiamat, Apakah hari kiamat itu?”
Kedua, merinci persoalan setelah sebelumnya dijelaskan secara global agar lebih jelas persoalannya.
كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ وَ عَادٌ بِالْقَارِعَةِ.
“Tsamūd dan ‘Ād telah mendustakan hari kiamat (al-Qāri‘ah)”,
Lalu Allah merincinya dengan firman:
فَأَمَّا ثَمُوْدُ فَأُهْلِكُوْا بِالطَّاغِيَةِ.
“Adapun Tsamūd maka mereka telah dibinasakan dengan yang luar biasa.”.
Ketiga, tasybīh mursal mujmal (menyerupakan)
كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ.
“bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk)”
Kata yang digunakan untuk menyerupakan (seperti) disebutkan dan segi penyerupaannya tidak disebutkan (kerapuhan).
Keempat, isti‘ārah (penyerupaan dengan meminta kata yang lazim digunakan untuk yang diserupakan) yang lembut dan berma‘na tinggi.
إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ
“tatkala air telah melampaui batas (naik).”
Kelima, jins isytiqāq (penyebutan kata yang sejenis dari satu akar kata):
وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ، لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ.
Keenam, perbandingan yang indah:
فَأَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِيْنِهِ فَيَقُوْلُ هَاؤُمُ اقْرَؤُوْا كِتَابِيَهْ…..
“Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini)”. Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai.”
Allah membandinginya dengan firman:
وَ أَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ….
“Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini)”…..
Ketujuh, thibāq salab (perbandingan):
فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُوْنَ. وَ مَا لَا تُبْصِرُوْنَ.
Kedelapan, kināyah (sindiran):
لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِ.
Kesembilan, kesesuaian akhir-akhir ayat, misalnya:
فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍ. فِيْ جَنَّةٍ عَالِيَةٍ. قُطُوْفُهَا دَانِيَةٌ. خُذُوْهُ فَغُلُّوْهُ. ثُمَّ الْجَحِيْمَ صَلُّوْهُ. ثُمَّ فِيْ سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوْهُ.
Dalam ilmu badī‘, ini disebut saja‘ murasha‘.
Ḥāfizh Ibnu Katsīr meriwayatkan, ‘Umar bin Khaththāb berkata: Sebelum kami masuk Islam, kami keluar untuk menghadang Nabi s.a.w., ternyata dia sudah masuk masjid. Kami berdiri di belakangnya, lalu dia mulai membaca surah al-Ḥāqqah dan kami kagum akan susunan al-Qur’ān. Dalam hati kami berkata: “Demi Allah, orang ini adalah penyair sebagaimana dikatakan kafir Quraisy. Dia membaca ayat: “Sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasūl yang mulia, dan al-Qur’ān itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.” Kami berkata dalam hati: “Muḥammad adalah dukun.” Lalu dia membaca ayat: “Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya….” sampai akhir surat. Maka Islam mulai merasuk ke dalam hatiku, sampai Allah memberi petunjuk kepadaku.