Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir as-Sa’di (2/2)

TAFSĪR AL-QUR’ĀN
(Judul Asli: TAISĪR-UL-KARĪM-IR-RAḤMĀNI FĪ TAFSĪRI KALĀM-IL-MANNĀN)

Penyusun: Syaikh ‘Abd-ur-Raḥmān bin Nāshir as-Sa‘dī

(Jilid ke 7 dari Surah adz-Dzāriyāt s.d. an-Nās)

Penerjemah: Muhammad Iqbal, Lc.
Izzudin Karimi, Lc.
Muhammad Ashim, Lc.
Mustofa Aini, Lc.
Zuhdi Amin, Lc.

Penerbit: DARUL HAQ

Rangkaian Pos: Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir as-Sa'di

فَأَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِيْنِهِ فَيَقُوْلُ هَاؤُمُ اقْرَؤُوْا كِتَابِيَهْ. إِنِّيْ ظَنَنْتُ أَنِّيْ مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ. فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍ. فِيْ جَنَّةٍ عَالِيَةٍ. قُطُوْفُهَا دَانِيَةٌ. كُلُوْا وَ اشْرَبُوْا هَنِيْئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ. وَ أَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُوْلُ يَا لَيْتَنِيْ لَمْ أُوْتَ كِتَابِيَهْ. وَ لَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ. يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ. مَا أَغْنَى عَنِّيْ مَالِيَهْ. هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطَانِيَهْ. خُذُوْهُ فَغُلُّوْهُ. ثُمَّ الْجَحِيْمَ صَلُّوْهُ. ثُمَّ فِيْ سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوْهُ. إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ. وَ لَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ. فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَاهُنَا حَمِيْمٌ. وَ لَا طَعَامٌ إِلَّا مِنْ غِسْلِيْنٍ. لَا يَأْكُلُهُ إِلَّا الْخَاطِؤُوْنَ.

69: 25. Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Aduhai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini),
69: 26. dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku,
69: 27. Aduhai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu.
69: 28. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku.
69: 29. Telah hilang kekuasaanku dariku”.
69: 30. (Allah berfirman): “Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya.”
69: 31. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.
69: 32. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.
69: 33. Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Agung.
69: 34. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.
69: 35. Maka tiada seorang teman pun baginya pada hari ini di sini.
69: 36. Dan tiada (pula) makanan sedikit pun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.
69: 37. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.

Tafsir Ayat:

(25-29) Mereka adalah orang-orang yang celaka. Catatan ‘amal mereka yang mencakup amalan-amalan buruk diterima dengan tangan kiri sebagai tanda yang membedakan mereka dengan yang lain dan sebagai tanda kehinaan, aib, dan dipermalukan. Salah satu dari mereka berkata dengan bersedih dan berduka. (يَا لَيْتَنِيْ لَمْ أُوْتَ كِتَابِيَهْ.) “Aduhai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini),” karena ia diberi kabar gembira akan masuk neraka dan kerugian abadi, (وَ لَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ.) “dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku,” alangkah baiknya aku terlupakan dan tidak dibangkitkan serta ‘amalku tidak diperhitungkan. Karena itu ia berkata: (يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ.) “Aduhai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu,” maksudnya, alangkah baiknya (jika) kematianku itu adalah kematian yang tidak lagi dibangkitkan.

Kemudian ia menengok harta dan kekuasaannya, Itulah yang mengundang bencana baginya dan sama sekali tidak membawa guna untuk hari akhirnya andai dijadikan tebusan dari siksaan. Ia berkata: (مَا أَغْنَى عَنِّيْ مَالِيَهْ.) “Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku.” Maksudnya, tidak berguna bagiku, tidak di dunia karena tidak aku gunakan untuk ‘amal baik sama sekali dan tidak pula di akhirat. Waktu memanfaatkan harta telah habis. (هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطَانِيَهْ.) “Telah hilang kekuasaanku dariku,” ya‘ni lenyap dan sirna. Bala tentara tidak lagi berguna, tidak pula banyaknya segala sesuatu, tidak jumlah maupun persiapan dan tidak pula wibawa. Semua itu lenyap bagai diterbangkan angin. Karenanya, pedagang kehilangan laba. Yang datang adalah penggantinya berupa kesedihan dan duka.

(30-37) Pada saat itu ia diperintahkan untuk disiksa, dikatakan kepada Zabaniyah malaikat yang bengis dan kejam, (خُذُوْهُ فَغُلُّوْهُ.) “Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya.” Maksudnya, kenakan belenggu di lehernya hingga tercekik, (ثُمَّ الْجَحِيْمَ صَلُّوْهُ.) “Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.” Maksudnya, bolak-balikkan dia di atas bara dan kobarannya, (ثُمَّ فِيْ سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا) “Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta,” yang berasal dari belenggu Neraka Jahannam yang amat panas membara. Belitlah dia dengan dimasukkan dari anusnya hingga menusuk keluar dari mulutnya kemudian digantung dan terus disiksa. Duhai meruginya dia dengan penghinaan dan celaan. Penyebabnya sampai di tempat itu adalah: (إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ.) “Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Agung.” Ia kufur terhadap Rabbnya, membangkang para rasūl-Nya, dan menolak kebenaran yang dibawa oleh para rasūl, (وَ لَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ.) “Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.” Maksudnya, di hatinya tidak ada belas kasih terhadap para fakir miskin. Ia tidak pernah memberi mereka makan dari hartanya dan tidak mendorong orang lain untuk memberi mereka makan, karena tidak adanya nilai Agama dalam dirinya.

Oleh karena itu, pusat dan unsur kebahagiaan itu ada dua; ikhlas karena Allah s.w.t. semata yang akarnya ada pada keimanan terhadap Allah s.w.t. dan berbuat baik terhadap sesama. Karena itulah mereka berhak mendapatkan apa yang mereka peroleh (فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَاهُنَا حَمِيْمٌ.) “Maka tiada seorang teman pun baginya pada hari ini di sini.” Pada Hari Kiamat tidak ada seorang (حَمِيْمٌ) “teman” dan sahabat pun yang bisa menolongnya agar bisa selamat dari ‘adzab Allah s.w.t. dan bisa membuatnya mendapatkan pahala Allah s.w.t.

وَ لَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ.

Dan tiadalah berguna syafa‘at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diidzinkan-Nya memperoleh syafa‘at itu.” (Ghāfir: 18).

مَا لِلظَّالِمِيْنَ مِنْ حَمِيْمٍ وَ لَا شَفِيْعٍ يُطَاعُ.

Orang-orang yang zhalim tidak mempunyai teman setia seorang pun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa‘at yang diterima syafa‘atnya.” (al-Mu’min: 18).

Ia tidak mendapat (طَعَامٌ إِلَّا مِنْ غِسْلِيْنٍ.) “makanan sedikit pun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.” Yaitu darah bercampur nanah penduduk neraka yang amat panas, pahit, busuk dan tidak enak. Tidak ada yang memakan makanan seperti ini (إِلَّا الْخَاطِؤُوْنَ.) “kecuali orang-orang yang berdosa.” Yaitu orang-orang yang tersesat dari jalan yang lurus dan menempuh jalan lain yang mengantarkan mereka menuju Neraka Jaḥīm. Karena itu mereka berhak mendapatkan siksaan yang pedih.

 

فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُوْنَ. وَ مَا لَا تُبْصِرُوْنَ. إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ. وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيْلًا مَا تُؤْمِنُوْنَ. وَ لَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيْلًا مَا تَذَكَّرُوْنَ. تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَ لَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيْلِ. لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِ. ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِيْنَ. فَمَا مِنْكُمْ مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِيْنَ. وَ إِنَّهُ لَتَذْكِرَةٌ لِّلْمُتَّقِيْنَ. وَ إِنَّا لَنَعْلَمُ أَنَّ مِنْكُمْ مُّكَذِّبِيْنَ. وَ إِنَّهُ لَحَسْرَةٌ عَلَى الْكَافِرِيْنَ. وَ إِنَّهُ لَحَقُّ الْيَقِيْنِ. فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ.

69: 38. Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat.
69: 39. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat.
69: 40. Sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasūl yang mulia.
69: 41. Dan al-Qur’ān itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.
69: 42. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya.
69: 43. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Rabb semesta alam.
69: 44. Seandainya dia (Muḥammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami,
69: 45. niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya.
69: 46. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.
69: 47. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.
69: 48. Dan sesungguhnya al-Qur‘ān itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.
69: 49. Dan sesungguhnya Kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan (nya).
69: 50. Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat).
69: 51. Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar kebenaran yang diyakini.
69: 52. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) Nama Rabb-mu Yang Maha Besar.

Tafsir Ayat:

(30-43) Allah s.w.t. bersumpah dengan apa saja yang dapat dilihat oleh makhluq dan yang tidak dapat dilihat, hal itu mencakup seluruh makhluq, bahkan juga mencakup Dzāt-Nya Yang Maha Suci. (Allah s.w.t. bersumpah) atas kebenaran al-Qur’ān yang dibawa oleh Rasūlullāh s.a.w.. Rasūlullāh s.a.w. menyampaikan al-Qur’ān dari sisi Allah s.w.t. Allah s.w.t. menyucikan Rasūlullāh s.a.w. dari berbagai tuduhan yang dialamatkan para musuhnya yang dinyatakan sebagai penyair atau penyihir. Yang membuat mereka melakukan hal itu adalah karena mereka tidak memiliki iman dan tidak mau berpikir. Sekiranya mereka mau beriman dan memikirkan apa yang bermanfaat bagi mereka dan apa yang buruk bagi mereka, di antaranya dengan melihat keadaan Nabi Muḥammad s.a.w. dan memperhatikan sifat-sifat serta akhlaq beliau s.a.w., niscaya mereka akan melihat perkaranya (jelas) seperti matahari, yang akan menunjukkan kepada mereka bahwasanya beliau s.a.w. adalah benar-benar utusan Allah, dan bahwasanya apa yang beliau bahwa (تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعَالَمِيْنَ.) “adalah wahyu yang diturunkan dari Rabb semesta alam,” tidak pantas sebagai ucapan manusia. Akan tetapi ia adalah perkataan yang menunjukkan keagungan Dzāt Yang Mengucapkannya, kebesaran sifat-sifatNya, kesempurnaan pemeliharaan-Nya kepada makhluq dan ketinggian-Nya di atas para hamba. Dan bahwasanya hal ini adalah persangkaan dari mereka dengan apa-apa yang tidak pantas bagi Allah s.w.t. dan bagi hikmah (kebijaksanaan-Nya).

(44-47) Sesungguhnya (وَ لَوْ تَقَوَّلَ) “Seandainya dia (Muḥammad) mengadakan perkataan” atas nama Allah dan mengadakan kebohongan pada (بَعْضَ الْأَقَاوِيْلِ.) “sebagian perkataan” yang dusta, (لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِ. ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِيْنَ.) “niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” Yaitu urat yang bersambung dengan hati, apabila ia terputus, niscaya manusia akan binasa disebabkannya. Seandainya ditaqdirkan bahwa Rasūlullāh – dan hal ini tidak mungkin – mengadakan perkataan dusta atas nama Allah, niscaya Dia akan menyegerakan ‘adzab untuk beliau, dan menghukum beliau sebagaimana hukuman Dzāt Yang Maha Perkasa lagi Mampu, karena Dia Maha Bijaksana dan Mampu melakukan segala sesuatu.

Hikmah-Nya menuntut agar tidak memberi waktu tangguh kepada orang yang berdusta atas nama-Nya yang mengklaim bahwa Allah membolehkan untuknya darah dan harta dari orang-orang yang menyelisihi mereka, dan (mengklaim) bahwa dia dan pengikutnya mendapatkan keselamatan sedangkan yang menyelisihinya mendapatkan kebinasaan. Maka apabila Allah telah mengukuhkan Rasūl-Nya dengan bukti-bukti yang nyata berupa mu‘jizat-mu‘jizat dan menolong beliau dalam menghadapi para musuh serta memberikan kemampuan kepada beliau menundukkan mereka, maka itu merupakan kesaksian terbesar dari Allah atas risālah-nya.

Dan Firman-Nya: (فَمَا مِنْكُمْ مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِيْنَ.) “Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” Maksudnya, kalau Allah hendak membinasakan beliau, niscaya dia sendiri tidak akan mampu mencegahnya dan tidak ada seorang pun yang kuasa mencegahnya dari ‘adzab Allah.

(48) (وَ إِنَّهُ) “Dan sesungguhnya ia” ya‘ni al-Qur’ān al-Karīm, (لَتَذْكِرَةٌ لِّلْمُتَّقِيْنَ.) “benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” Mereka mengambil pelajaran melalui al-Qur’ān tentang kemaslahatan agama dan dunia mereka, sehingga mereka mengetahui dan mengamalkannya. Al-Qur’ān mengingatkan mereka berkaitan dengan ‘aqīdah-‘aqīdah Agama, dan akhlaq-akhlaq yang diridhai, serta hukum-hukum syar‘i, sehingga mereka menjadi ‘ulamā’ rabbani, hamba yang ‘ārif, dan imām yang mendapat petunjuk.

(49) (وَ إِنَّا لَنَعْلَمُ أَنَّ مِنْكُمْ مُّكَذِّبِيْنَ.) “Dan sesungguhnya Kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan (nya).” Ya‘ni al-Qur’ān. Demikianlah, di dalamnya terdapat hardikan dan ancaman bagi orang-orang yang mendustakan, dan bahwa Allah akan meng‘adzab mereka atas pendustaan mereka dengan hukuman yang sangat keras.

(50) (وَ إِنَّهُ لَحَسْرَةٌ عَلَى الْكَافِرِيْنَ.) “Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat).” Sesungguhnya mereka, ketika mengingkari al-Qur’ān dan melihat ‘adzab yang Dia ancamkan kepada mereka, maka mereka menyesal karena tidak mengambilnya sebagai petunjuk dan tidak tunduk kepada perintah-Nya, sehingga mereka melewatkan pahala itu dan mendapatkan ‘adzab yang paling keras, sedangkan segala sebab (pertolongan) telah terputus.

(51) (وَ إِنَّهُ لَحَقُّ الْيَقِيْنِ.) “Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar kebenaran yang diyakini.” Maksudnya, al-Qur’ān merupakan urutan ilmu yang paling tinggi, karena urutan ilmu yang paling tinggi adalah al-Yaqīn, yaitu ilmu yang tetap yang tidak goyah dan tidak pula sirna. Al-Yaqīn itu memiliki tiga derajat. Masing-masing lebih tinggi daripada yang sebelumnya: Yang pertama, ‘ilm-ul-Yaqīn, yaitu ilmu yang diambil dari kabar. Kemudian yang kedua, ‘ain-ul-Yaqīn, yaitu ilmu yang dijangkau dari penginderaan mata. Kemudian ketiga, ḥaqq-ul-Yaqīn, yaitu ilmu yang didapatkan dari rasa an interaksi langsung. Al-Qur’ān ini termasuk ke dalam kriteria yang ketiga ini. Sesungguhnya segala sesuatu yang di dalamnya termasuk ilmu-ilmu yang dikuatkan dengan bukti yang pasti (qath‘ī) dan segala fakta di dalamnya serta pengetahuan yang bersifat imāniyyah, bisa didapatkan oleh orang yang telah meraih ḥaqq-ul-Yaqīn.

(52) (فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ.) “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) Nama Rabb-mu Yang Maha Besar.” Maksudnya, sucikanlah Allah dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kebesaran-Nya, dan sucikanlah Dia dengan menyebutkan sifat-sifat kebesaran, keindahan, serta kesempurnaan-Nya.

Sempurnalah tafsir Surat-ul-Ḥāqqah. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *