Hati Senang

Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Mishbah (5/6)

Tafsir al-Mishbāḥ
(Jilid ke-15, Juz ‘Amma)
Oleh: M. Quraish Shihab


Penerbit: Penerbit Lentera Hati

KELOMPOK 3

AYAT 38-52.

فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُوْنَ. وَ مَا لَا تُبْصِرُوْنَ. إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ. وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيْلًا مَا تُؤْمِنُوْنَ. وَ لَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيْلًا مَا تَذَكَّرُوْنَ. تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَ لَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيْلِ. لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِ. ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِيْنَ. فَمَا مِنْكُمْ مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِيْنَ. وَ إِنَّهُ لَتَذْكِرَةٌ لِّلْمُتَّقِيْنَ. وَ إِنَّا لَنَعْلَمُ أَنَّ مِنْكُمْ مُّكَذِّبِيْنَ. وَ إِنَّهُ لَحَسْرَةٌ عَلَى الْكَافِرِيْنَ. وَ إِنَّهُ لَحَقُّ الْيَقِيْنِ. فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ.

AYAT 38-43.

Maka Aku tidak bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya, ia benar-benar penyampaian Rasūl yang mulia dan bukanlah ia perkataan seorang penyair; sedikit sekali kamu beriman dan bukan pula ia perkataan tukang tenung; sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (Ia adalah wahyu) yang diturunkan dari Tuhan semesat alam.”

Apa yang diuraikan pada ayat-ayat yang lalu berkaitan dengan banyak hal yang belum tampak di alam nyata. Di sisi lain, uraian tersebut tercantum berkali-kali dalam al-Qur’ān. Karena itu, ayat di atas menegaskan tentang kebenaran al-Qur’ān dengan bersumpah menyebut wujud yang terlihat dan terjangkau oleh manusia maupun yang tidak terlihat oleh mereka. Ayat di atas bagaikan menyatakan bahwa: Kaum musyrikin menolak keniscayaan Kiamat dan kebenaran al-Qur’ān, maka Aku tidak bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan dengan apa yang tidak kamu lihat dari ciptaan-ciptaanKu. Sesungguhnya, ia ya‘ni al-Qur’ān itu, benar-benar penyampaian wahyu Allah oleh Rasūl, ya‘ni Nabi Muḥammad s.a.w. atau malaikat Jibrīl s.a., yang sifatnya mulia, ya‘ni sempurna kepribadiannya dalam segala aspek, dan bukanlah ia ya‘ni al-Qur’ān yang disampaikannya itu, perkataan seorang penyair yang menimbang kata-kata untuk memperindahnya tanpa banyak menghiraukan kandungannya – benar atau salah. Sedikit sekali kamu beriman, ya‘ni percaya kepadanya dengan kepercayaan yang sedikit kadar atau waktunya. Dan bukan pula ia ya‘ni al-Qur’ān itu perkataan tukang tenung yang sering kali mengelabui masyarakat dan berucap kalimat-kalimat yang tidak jelas. Sedikit sekali kamu merenung untuk memahami perbedaan antara keduanya dan mengambil pelajaran darinya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan Pemelihara semesat alam. Allah menurunkannya dalam rangka pemelihara-Nya terhadap alam raya.

Kata (لَا) pada firman-Nya: (فَلَا أُقْسِمُ) falā uqsimu ada yang memahaminya sebagai berma‘na tidak, ya‘ni Allah tidak bersumpah dengan semua wujud karena persoalan yang akan disampaikan terlalu jelas tidak perlu menegaskannya dengan bersumpah. Ada juga yang memahami kata la itu berfungsi sebagai sisipan untuk menguatkan sumpah. Jadi, seakan-akan awal ayat di atas menyatakan Sungguh saya bersumpah.

Firman-Nya: (بِمَا تُبْصِرُوْنَ. وَ مَا لَا تُبْصِرُوْنَ.) bimā tubshirūn wa mā lā tubshirūn/dengan apa yang kamu lihat dan dengan apa yang tidak kamu lihat merupakan salah satu ayat yang berbicara tentang adanya wujud yang tidak tampak atu terjangkau oleh manusia. Karena itu pula objek pengetahuan dalam pandangan al-Qur’ān mencakup alam materi dan non-materi. Sementara ilmuwan muslim, khususnya yang memiliki kecenderungan tashawwuf, memperkenalkan apa yang mereka namai al-Ḥadharāt-ul-Ilāhiyyah, ya‘ni lima kehadiran Ilahi guna menggambarkan hierarki wujud. Kelima hal itu adalah 1). Alam Nāsūt (alam materi), 2). Alam Malakūt (alam malaikat), 3). Alam Jabarūt (alam ruh), 4). Alam Lāhūt (sifat-sifat Ilahiyyah), dan 5). Alam Hāhūt (wujud dzāt Ilahi).

Yang memahami kata (رَسُوْل) rasūl dalam arti malaikat Jibrīl berpegang pada firman Allah dalam QS. at-Takwīr [81]: 19-20. Pendapat ini tidak didukung oleh lanjutan ayat yang mengesankan ancaman kepada Nabi Muḥammad seandainya tuduhan kaum musyrikin bahwa beliau mengada-ada atas nama Tuhan benar adannya. Malaikat Jibrīl a.s. tidak dituduh oleh siapa pun bahwa ia mengada-ada.

Kata (قَوْل) qaul yang dikaitkan dengan (رَسُوْل) rasūl tidak dapat dipahami dalam arti al-Qur’ān adalah ucapan Nabi Muḥammad s.a.w. Ini bukan saja karena adanya ancaman pada ayat berikut seandainya beliau mengada-ada, tetapi juga adanya sekian ayat lain yang menegaskan ketidakmampuan Nabi mengganti ayat-ayat itu dengan yang lain, sebagaimana diusulkan kaum musyrikin. (baca QS. Yūnus [10]: 15). Di sisi lain, kata qaul/perkataan digunakan juga oleh bahasa dalam arti penyampaian. Jika si A berkata kepada si B “Saya tidak datang besok” lalu si B menyamapaikan ucapannya kepada C, dan setelah si C menyampaikannya kepada D, jika anda bertanya pada D: “Siapa yang mengatakan bahwa A tidak datang besok,” maka tidaklah keliru bila D menjawab: Itu adala ucapan C, atau B, karena keduanya yang menyampaikan ucapan itu, bukan berarti bahwa ucapan itu lahir atau sumber aslinya adalah B dan C. Dalam konteks al-Qur’ān, malaikat Jibrīl a.s. menyampaikan wahyu Allah kepada Nabi Muḥammad s.a.w. dan Nabi Muḥammad s.a.w. menyampaikan kepada umat manusia.

Kata (كَرِيْم) karīm, yang penulis terjemahkan mulia, digunakan untuk menggambarkan segala yang terpuji buat objek yang disifatinya. Manusia yang karīm adalah yang menyandang sifat-sifat terpuji bagi manusia. Ayat di atas hanya menafikan dua tuduhan terhadap Nabi Muḥammad s.a.w. dan al-Qur’ān, ya‘ni syair dan ucapan tukang tenung, karena keduanya dinilai oleh kaum musyrikin sebagai profesi/sifat yang baik. Ayat di atas tidak menafikan tuduhan gila atau mengada-ada karena keduanya secara tidak langsung telah dinafikan oleh karīm. Manusia yang karīm pastilah tidak gila dan tidak pula berbohong – apalagi terhadap Allah.

Huruf (مَا) sesudah kata (قَلِيْلًا) qalīlan/sedikit berfungsi menyedikitkan yang sedikit itu. Maksudnya, informasi dan tuntunan al-Qur’ān sedikit sekali yang dipercayai oleh kaum musyrikin. Katakanlah yang mereka percayai itu, misalnya, keberadan makhluq yang bernama jinn atau tuntunan untuk melakukan silaturahim dan menghormati tamu.

Al-Biqā‘ī menulis bahwa keimanan mereka dinilai sedikit, ya‘ni kadar dan waktunya sedikit karena Allah telah menyampaikan kepada mereka bahwa al-Qur’ān bukan syair, sekian banyak penyair mereka pun menyadari bahwa al-Qur’ān sangat berbeda dengan syair-syair, namun mereka tidak beriman sebagaimana yang dituntut al-Qur’ān. Keimanan mereka hanya terbatas pada pengakuan bahwa al-Qur’ān bukan syair dan keikhlasan mereka mengakui keesaan Allah hanya saat keterpaksaan, dan itu bukan keimanan yang dituntut agama. Itu hanyalah keimanan dalam pengertian kebahasaan. Ada juga yang memahami kata sedikit sekali dalam arti tidak ada sama sekali keimanan mereka karena, walaupun mereka mempercayai sekian hal yang juga diajarkan oleh al-Qur’ān, kepercayaan itu dianggap tidak ada karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan Islam.

Ayat di atas menyatakan kesedikitan iman mereka dalam konteks penafian al-Qur’ān sebagai ucapan penyair dan kesedikitan perolehan pengajaran dalam konteks penafiannya sebagai perkataan tukang tenung. Ini, menurut Al-Biqā‘ī, karena perbedaan al-Qur’ān dengan syair merupakan sesuatu yang sulit dijangkau kecuali oleh para penyair, berbeda halnya dengan ucapan tukang tenung. Tukang tenung biasanya didatangi yang butuh dan berbicara tentang yang ghaib saja. Di samping itu, dia menerima upah atas pelayanannya dan sesekali benar dan sering kali salah. Nabi Muḥammad s.a.w. sama sekali tidak meminta upah, tidak juga menyatakan bahwa beliau mempunyai hubungan dengan jinn. Beliau menegaskan ketidaktahuannya kepada yang ghaib. Di sisi lain, beliau tidak dikunjungi orang untuk bertanya, tetapi justru mendatangi semua orang tanpa kecuali. Ini semua memerlukan pemikiran dan ingatan. Karena itu, yang ditekankan dalam konteks ini adalah tadzakkarūn/berpikir dan mengambil pelajaran.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.