Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Mishbah (3/6)

Tafsir al-Mishbāḥ
(Jilid ke-15, Juz ‘Amma)
Oleh: M. Quraish Shihab

Penerbit: Penerbit Lentera Hati

Rangkaian Pos: Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Mishbah

KELOMPOK 2

AYAT 13-37.

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّوْرِ نَفْخَةٌ وَاحِدَةٌ. وَ حُمِلَتِ الْأَرْضُ وَ الْجِبَالُ فَدُكَّتَا دَكَّةً وَاحِدَةً. فَيَوْمَئِذٍ وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ. وَ انْشَقَّتِ السَّمَاءُ فَهِيَ يَوْمَئِذٍ وَاهِيَةٌ. وَ الْمَلَكُ عَلَى أَرْجَائِهَا وَ يَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ. يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُوْنَ لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ. فَأَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِيْنِهِ فَيَقُوْلُ هَاؤُمُ اقْرَؤُوْا كِتَابِيَهْ. إِنِّيْ ظَنَنْتُ أَنِّيْ مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ. فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍ. فِيْ جَنَّةٍ عَالِيَةٍ. قُطُوْفُهَا دَانِيَةٌ. كُلُوْا وَ اشْرَبُوْا هَنِيْئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ. وَ أَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُوْلُ يَا لَيْتَنِيْ لَمْ أُوْتَ كِتَابِيَهْ. وَ لَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ. يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ. مَا أَغْنَى عَنِّيْ مَالِيَهْ. هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطَانِيَهْ. خُذُوْهُ فَغُلُّوْهُ. ثُمَّ الْجَحِيْمَ صَلُّوْهُ. ثُمَّ فِيْ سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوْهُ. إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ. وَ لَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ. فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَاهُنَا حَمِيْمٌ. وَ لَا طَعَامٌ إِلَّا مِنْ غِسْلِيْنٍ. لَا يَأْكُلُهُ إِلَّا الْخَاطِؤُوْنَ.

AYAT 13-17

Maka, apabila ditiup sangkakala sekali tiupan dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu keduanya dibenturkan sekali benturan, maka saat itu terjadilah peristiwa itu dan terbelahlah langit, maka pada hari itu langit menjadi lemah. Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjurunya. Dan pada hari itu delapan malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas mereka.”

Awal surah ini menggambarkan kedahsyatan Hari Kiamat, lalu disusul dengan uraian tentang penolakan sekian banyak kaum menyangkut keniscayaannya yang disusul dengan uraian jatuhnya sanksi Ilahi di dunia ini atas mereka. Kini, ayat-ayat di atas kembali menguraikan kedahsyatan Kiamat itu dengan menyatakan bahwa: Maka, apabila ditiup sangkakala oleh malaikat Isrāfīl dengan sangat mudah sekali tiupan dan diangkatlah dengan mudah pula bumi dan gunung-gunung dari tempatnya, lalu keduanya dibenturkan sekali benturan, maka dengan segera saat itu juga terjadilah peristiwa itu ya‘ni al-Ḥāqqah/Hari Kiamat, yang Allah ancamkan itu. Ketika itu, gunung-gunung menjadi bagaikan debu yang beterbangan dan bumi menjadi rata dan terbelahlah langit, karena dahsyatnya situasi maka pada hari itu – berbeda dengan keadaannya sekarang – langit menjadi lemah. Dan ketika itu juga atas perintah Allah malaikat-malaikat berada di penjuru-penjurunya langit yang telah lemah itu. Dan pada hari itu juga delapan orang atau barisan malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas kepala mereka.

Kata (يَوْمَئِذٍ) yauma’idzin terambil dari kata (يَوْم) yaum yang oleh al-Qur’ān digunakan dalam arti saat penyelesaian suatu kejadian – baik singkat maupun lama. Ia tidak selalu berarti sehari atau sehari semalam.

Kehancuran bumi dan kelemahan langit ketika itu boleh jadi dilakukan Allah dengan tidak memfungsikan lagi daya tarik yang selama ini mengatur keseimbangan perjalanan bumi dan planet-planet sehingga mengakibatkan tabrakan dan kehancuran bumi serta semua planet-planet yang ada di alam raya ini.

Kata (دُكَّتَا) dukkatā terambil dari kata (دَكَّ) dakka, ya‘ni menjadi sangat rata dan halus akibat hancurnya bagian-bagiannya. Ia serupa dengan kata (دَقَّ) daqqa, hanya saja yang kedua ini dipahami oleh sementara ‘ulamā’ dalam arti kehancuran dan bercampurnya bagian-bagian itu satu sama lain setelah kehancurannya. Gamdum yang terdiri dari bagian-bagian yang sangat kecil dinamai (دَقِيْق) daqīq.

Kata (الْمَلَكُ) al-malak adalah bentuk tunggal dari kata (الْمَلَائِكَةُ) malā’ikah. (Demikian dalam bahasa ‘Arab walaupun dalam bahasa Indonesia sering kali kata malā’ikah dianggap tunggal). Huruf al yang menghiasi awal kata al-malak berfungsi menunjuk kepada jenis, dan karena itu kata al-malak dipahami dalam arti jenis malaikat dan, dengan demikian, yang dimaksud adalah malaikat-malaikat.

Keberadaan malaikat-malaikat di penjuru-penjuru langit ada yang memahaminya sebagai simbol kehancuran sehingga mereka bagaikan mengungsi ke tempat-tempat yang masih dapat didiami. Al-Biqā‘ī memahaminya sebagai simbol dari kuasa Allah yang ketika itu bagaikan menampakkan kuasa-Nya denggan memamerkan tentara-tentaranya serta singgasana-Nya yang dipikul oleh delapan malaikat.

Tidak jelas mengapa (ثَمَانِيَةٌ) tsamāniyah/delapan yang memikul ‘Arsy. Ada riwayat menyatakan bahwa kini yang memikul ‘Arsy ada empat. Tetapi, untuk menggambarkan kehebatan dan kedahsyatan Kiamat, ketika itu yang memikulnya menjadi delapan.

Al-Biqā‘ī menulis bahwa angka tujuh digunakan sebagai angka yang melambangkan ma‘na banyak. Dengan demikian, delapan dipahami sebagai lebih banyak daripada yang banyak itu. Ini karena setiap anda ingin memperbanyak sesuatu, anda menambahnya dengan angka yang sesudahnya. Dengan demikian, ini adalah penambahan yang tidak berakhir – sepanjang anda bermaksud menambah. Angka tujuh, menurutnya, menggambarkan seluruh jenis angka. Itu sebabnya ia menjadi lambang banyak. Angka tujuh mengandung angka ganjil dan genap, tunggal dan ganda, ya‘ni pada angka tujuh ada angka satu – tiga, dan lima yang merupakan angka ganjil. Ia juga mengandung yang ganda, ya‘ni baik ganda dari yang satu, yaitu dua, maupun ganda dari yang ganda, ya‘ni empat. Dengan demikian, semua jenis angka dicakupnya dan karena itu ia menjadi simbol dari ma‘na banyak.

Asy-Syahrastānī dalam bukunya al-Milalu wan-Nihal berpendapat bahwa pada umumnya pakar yang berkecimpung dalam studi angka-angka menyatakan bahwa “satu” tidak termasuk bilangan. Sumber awal bilangan adalah dua. Lalu, bilangan ada yang ganjil dan ada juga yang genap. Angka ganjil yang pertama adalah tiga dan angka genap yang pertama adalah empat. Sehingga, apa yang lebih dari empat merupakan pengulangan. Angka lima terdiri dari tunggal dan ganda. Enam terdiri dari dua bilangan ganjil, sedang angka tujuh terdiri dari angka ganjil dan genap. Ini dinamai al-‘Adad-ul-Kāmil/bilangan sempurna.

Thabāthabā’ī mengomentari ayat di atas antara lain dengan menyatakan bahwa boleh jadi tujuan penyebutan pecah, terbelahnya langit, keberadaan malaikat-malaikat di penjuru-penjurunya dan bahwa yang memikul ‘Arsy ketika itu ada delapan (yang boleh jadi malaikat atau bukan), tujuan penyebutan itu adalah untuk menjelaskan bahwa ketika itu malaikat, langit, dan ‘Arsy tampak bagi manusia sebagaimana firman-Nya:

وَ تَرَى الْمَلَائِكَةَ حَافِّيْنَ مِنْ حَوْلِ الْعَرْشِ يُسَبِّحُوْنَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ.

Dan engkau akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling ‘Arsy bertasbih sambil memuji Tuhan mereka.” (QS. az-Zumar [39]: 75).

Sayyid Quthub mengomentari ayat ini antara lain bahwa kita tidak mengetahui siapa yang delapan itu dan apakah ia, sebagaimana kita tidak mengetahui apa itu ‘Arsy dan bagaimana ia dipikul. Allah juga tidak membebani kita untuk mengetahui kecuali sebatas apa yang disampaikan kepada kita. Kita beralih dari kosakata hal-hal yang ghaib itu menuju ke naungan yang sungguh agung yang dilahirkan oleh situasi ketika itu, dan yang diminta agar jiwa kita merasakannya, karena tujuan dari pemaparan informasi di atas adalah agar jiwa manusia merasakan keagungan dan kebesaran lalu tunduk dan khusyu‘ pada hari yang agung dan situasi yang dahsyat tersebut.

Rujuklah ke ayat kelima surah ath-Thalāq untuk memahami pendapat sementara ‘ulamā’ tentang penggunaan huruf wāw pada kata (وَ يَحْمِلُ) wa yaḥmilu. (321)

 

AYAT 18-24.

Pada hari itu kamu dihadapkan, tiada sesuatu pun dari keadaan kamu yang tersembunyi. Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku!” Sesungguhnya aku menduga bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisabku. Maka, dia berada dalam kehidupan yang diridhai dalam surga yang tinggi. Buah-buahannya dekat: “Makan dan minumlah dengan sedap sebagai imbalan yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.”

Ayat-ayat yang lalu mengungkap sekelumit dari apa yang akan terjadi terhadap alam raya pada Hari Kiamat. Ayat-ayat di atas menjelaskan pula sekelumit dari apa yang akan dialami manusia ketika itu. Allah berfirman: Pada hari itu kamu dihadapkan kepada Tuhan kamu untuk diperiksa dan dimintai pertanggungjawaban atas segala amal perbuatan kamu, tiada sesuatu pun dari keadaan kamu yang tersembunyi bagi Allah betapapun ia kamu rahasiakan. Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitab – ‘amal-nya dari sebelah kanannya, maka dia berkata (kepada siapa yang di sekelilingnya dari hamba-hamba Allah yang taat guna mengungkapkan kebahagiaannya dan menampakkan rasa syukurnya bahwa: “Ambillah kitab ‘amalanku untuk kamu lihat dan, bacalah kitab ‘amalan-ku ini!” Lihalah betapa indah nilai-nilainya! Sesungguhnya aku menduga atau yakin ketika dahulu aku hidup di dunia bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diri-ku. Itu sebabnya aku telah mempersiapkan ‘amal-‘amal untuk menghadapinya.” Maka, dia yang berkata demikian itu dan yang diberi kitabnya dari arah kanannya, berada dalam kehidupan yang menyenangkan dan diridhai olehnya sehingga dia benar-benar merasa puas dengan ganjaran yang dianugerahkan Allah serta tidak jemu dengan kehidupan itu, yaitu dalam surga yang tinggi tempat dan martabatnya. Buah-buahannya dekat sehingga sangat mudah dipetik oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun. Kepada mereka dikatakan oleh para pelayan surgawi: “Silakan makan dan minumlah dengan sedap apa saja yang kamu inginkan sebagai imbalan dari Allah atas ‘amal-‘amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu ketika kamu hidup di dunia.”

Kata (تُعْرَضُوْنَ) tu‘radhūn (terambil dari kata (عرَض) ‘aradha yang pada mulanya berarti memaparkan barang jualan untuk dilihat oleh pembeli sehingga dia tertarik membelinya. Yang dimaksud dengan kata tersebut di sini adalah pemaparan ‘amal-‘amal manusia guna dilakukan pemeriksaan dan perhitungan atasnya. Ia dapat cepat dan mudah serta dapat juga lambat dan sulit. Ini serupa dengan keadaan seseorang yang diperiksa. Bisa lulus jika tidak membawa banyak pelanggaran dan bisa juga dikenai sanksi setelah pemeriksaan itu. Sementara ‘ulama’ menyatakan bahwa ada tiga situasi yang dialami oleh yang dihadapkan itu. Yang pertama yang bersangkutan memohon maaf, yang kedua menerima kecaman, dan yang ketiga penyerahan kitab ‘amalan. Ketika yang lulus menerimanya dengan tangan kanan dan dari arah kanan. Sebaliknya yang durhaka.

Ayat di atas menegaskan bahwa pada saat pemaparan itu tidak ada lagi rahasia, semua terbuka. Sebenarnya bagi Allah bukan hanya pada waktu itu, tetapi selalu sejak wujudnya makhluq hingga hari Akhir. Hanya saja, dahulu dan sekarang banyak yang tidak menyadarinya, tetapi di sana nanti semua menyadari karena terlihat dengan jelas. Di sisi lain, semua yang berkaitan dengan manusia terbuka. Bukan hanya jasadnya yang tanpa busana, tetapi juga segala rahasianya yang sangat ditutup-tutupinya sekalipun akan tampak dengan jelas. Jangankan manusia, bumi pun rata sehingga tampak segalanya; apa yang terpendam di perut bumi, terbongkar; langit dan penghuni-penghuninya pun tampak, termasuk para malaikat.

Arah kanan dan arah kiri yang dimaksud ayat ini dapat dipahami dalam arti hakiki – dan dapat juga secara majāzi. Kanan adalah lambang kebaikan dan kebahagiaan dan kiri merupakan lambang kesengsaraan. Apa pun ma‘nanya – hakiki atau majāzi – yang jelas ada dua kelompok manusia yang berbahagia dan yang sengsara.

Kata (كِتَابِيَهْ) kitābiyah asalnya adalah (كِتَابِي) kitābī, tetapi di sini disisipkan huruf hā’ agar dibaca dengan berhenti sejenak dan karena itu ia dibaca kitābiyah. Demikian juga dengan kata (حِسَابِيَهْ) ḥisābiyah pada ayat di atas dan ayat berikut. Al-Biqā‘ī memperoleh kesan bahwa ketika itu situasi sangat mencekam dan menakutkan. Yang bergembira pun tidak dapat berbicara secara lancar dan terpaksa berhenti untuk mengambil napas. Di sisi lain, itu juga menunjukkan bahwa saat itu persoalan terselesaikan dengan sangat tegas lagi tidak mengalami perubahan.

Kata (ظَنَنْتُ) zhanantu terambil dari kata (ظَنَّ) zhanna yang dari segi bahasa berarti menduga atau dengan kata lain pengetahuan yang belum sampai pada tingkat keyakinan. Sementara ‘ulamā’ menyatakan bahwa kata tersebut, jika diikuti oleh kata (أَنّ) anna, ia berarti yakin. Sementara pakar tafsir berpendapat bahwa al-Qur’ān menggunakan kata zhanantu yang berarti menduga dalam hal kepercayaan tentang hari Kebangkitan untuk mengisyaratkan manusia tidak mungkin luput dari tanda tanya-tanda tanya yang dapat terlintas dalam benak tentang keniscayaan Hari Kiamat dan hal tersebut dapat ditoleransi dengan adanya kata menduga itu (bacalah QS. al-Baqarah [2]: 260). Di sisi lain, itu juga mengandung kecaman kepada orang-orang kafir yang mengingkari keniscayaan Kiamat yang sifatnya demikian jelas dan yang semestinya diyakini bahwa mereka itu menduga pun tidak, apalagi meyakininya.

Firman-Nya (إِنِّيْ ظَنَنْتُ أَنِّيْ مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ.) innī zhanantu annī mulāqin ḥisābiyah/sesungguhnya aku menduga bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisabku dipahami oleh al-Biqā‘ī dalam arti “Sesungguhnya pada Hari Kiamat dewasa ini aku telah menduga – karena begitu takut aku akan ‘amal-‘amalku yang buruk yang sangat kuketahui – bahwa pasti akan menemukan secara pasti di hadapan Allah perhitungan terhadap diriku karena memang sejak di dunia aku selalu menggabung antara rasa takut dan harapan sebagaimana yang diperintahkan. Kini, aku takut jangan sampai ‘amal-‘amal baikku tidak berarti untuk mengundang kehadiran ni‘mat Allah sehingga aku dapat disiksa-Nya, tetapi kini aku mengetahui bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosaku sehingga hisab/perhitungan yang dilakukan atas diriku hanyalah perhitungan yang singkat dan gampang.

Catatan:

  1. 32). Baca kembali halaman 141-142.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *