AYAT 9-10.
“Dan telah datang Fir‘aun dan orang-orang yang sebelumnya serta negeri-negeri yang dijungkirbalikkan dengan kesalahan yang besar. Lalu, mereka mendurhakai rasūl Tuhan mereka, maka Allah menyiksa mereka dengan sekali siksa yang sangat keras.”
Bukan hanya kaum ‘Ād dan Tsamūd, selain mereka pun yang durhaka disiksa Allah. Ayat di atas menyatakan: Dan, di samping kaum ‘Ād dan Tsamūd, telah datang juga Fir‘aun, Penguasa Mesir masa lalu, yang kepadanya Nabi Mūsā a.s. diutus, yaitu Maniftaḥ, dan orang-orang yang sebelumnya, seperti kaum Nabi Nūḥ a.s. dan Ibrāhīm a.s., serta penduduk negeri-negeri yang dijungkirbalikkan seperti negeri-negeri yang dihuni oleh kaum Nabi Lūth dengan membawa kesalahan yang besar. Lalu, masing-masing mereka dengan kedurhakaan itu akhirnya mendurhakai rasūl yang diutus oleh Tuhan Pembimbing dan Pemelihara mereka, maka akibatnya Allah menyiksa mereka dengan mudah sekali siksa yang sangat keras sehingga memusnahkan mereka.
Kata (أَخْذَةً) akhdzatan terambil dari kata (أَخَذَ) akhadza yang pada mulanya berarti mengambil. Kata ini digunakan juga dalam arti membinasakan dengan mudah.
Kata (رَّابِيَةً) rābiyah terambil dari kata (رَبَا – يَرْبُوْ) rabā-yarbū yang berarti menambah. Dari ma‘na itu lahir kata (رِبَا) ribā, ya‘ni penambahan yang tidak adil dari jumlah utang yang harus dibayar. Juga (رَبْوَة) rabwah ya‘ni tanah yang melebihi tingginya dari tanah yang di sekitarnya.
AYAT 11-12.
“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah melampaui batas, Kami angkut kamu ke dalam (bahtera) yang berlayar agar Kami menjadikannya – bagi kamu – peringatan dan diperhatikan oleh telinga yang mau sadar.”
Tidak semua umat para nabi yang lalu dibinasakan Allah. Yang taat diselamat-Nya. Ayat di atas menegaskan hal itu dengan menyatakan: Sesungguhnya Kami, tatkala air pada masa Nabi Nuh a.s. telah melampaui batas sehingga naik membumbung sampai ke puncak gunung. Kami angkut dengan memerintahkan kepada Nabi Nuh a.s. agar mengangkut nenek moyang kamu yang membawa benih-benih wujud kamu ke dalam bahtera yang berlayar agar Kami menjadikannya, ya‘ni peristiwa itu, bagi kamu – wahai manusia – secara khusus sebagai peringatan dan diperhatikan oleh telinga yang mau sadar.
Kata (تَعِيَهَا) ta‘iyahā dan (وَاعِيَةٌ) wā‘iyah terambil dari akar kata yang sama dengan (وِعَاء.) wi‘ā’, ya‘ni wadah. Kata ta‘iyahā berarti menempatkannya pada wadah. Seseorang yang mendengar suatu ucapan boleh jadi tidak menghiraukannya sehingga ucapan itu tercecer ke mana-mana. Sedang, bila ia memerhatikannya, ia bagaikan menyimpannya dalam wadah yang utuh, ya‘ni benaknya.
Thabāthabā’ī menjadikan ayat di atas sebagai isyarat tentang Hidāyah Rubūbiyyah dalam kedua pengertiannya, yaitu hidāyah yang berarti menunjuki jalan dan hidāyah yang berarti mengantar hingga tiba di tujuan (baca kembali kedua macam hidayah ini pada penjelasan firman-Nya di surah al-Fātiḥah: Ihdinā-sh-Shirāth-al-Mustaqīm). (311) Menurut ‘ulamā’ ini, telah menjadi sunnatullāh dalam konteks Rubūbiyyah, ya‘ni pemeliharaan dan bimbingan-Nya terhadap alam raya ini adalah bahwa Yang Maha Kuasa itu memberi petunjuk kepada setiap jenis makhluk-Nya menuju kesempurnaan yang sesuai dengan tujuan kehadirannya di pentas alam raya ini. Hal itu dilakukan-Nya dengan melengkapi setiap makhluq dengan potensi yang dapat mengantarnya menuju kesempurnaan itu. Ini sesuai dengan firman-Nya dalam QS. Thāhā [20]: 50:
رَبُّنَا الَّذِيْ أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى.
“Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” serta firman-Nya dalam QS. al-A‘lā [87]: 2-3).
الَّذِيْ خَلَقَ فَسَوَّى. وَ الَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى.
“Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.”
Manusia serupa dengan semua wujud material memiliki kesempurnaan penciptaan dan kegiatan riil menuju kesempurnaan wujudnya melalui Hidāyah Rubūbiyyah Tuhan yang dapat mengantarnya menuju tujuan yang direncanakan untuknya. Manusia memiliki kekhususan tersendiri, antara lain penyempurnaan dari segi tuntunan syariat, karena untuk jiwa manusia pun ada penyempurnaannya yang dapat dilakukan melalui aneka kegiatan mereka yang bersifat ikhtiari (pilihannya sendiri bukan kegiatan refleks atau yang dilakukan secara terpaksa). Kegiatan-kegiatan itu dapat hidup dengan kehidupan bahagia yang abadi. Inilah yang menjadi sebab dari adanya pengutusan para rasul dan kehadiran kitab suci serta ajakan untuk menerima petunjuk-Nya “agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya para rasul itu. (QS. an-Nisā’ [4]: 165).” Inilah hidāyah yang berarti menunjuki jalan. Semua manusia telah diberi hidāyah itu.
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيْلَ إِمَّا شَاكِرًا وَ إِمَّا كَفُوْرًا.
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. al-Insān [76]: 3). Siapa yang mengikutinya maka ia akan hidup bahagia dan yang mengabaikannya akan celaka selama-lamanya. Hidayah menunjuki jalan inilah yang disyaratkan oleh ayat 12 di atas: (لِنَجْعَلَهَا لَكُمْ تَذْكِرَةً) linaj‘alahā lakum tadzkirah agar Kami menjadikannya – bagi kamu – peringatan. Adapun hidāyah-Nya dalam arti mengantar hingga tiba di tujuan, ini diisyaratkan oleh lanjutan ayat itu, yakni (وَ تَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ.) wa ta‘iyahā udzunun wā‘iyah yang penulis terjemahkan dengan dan diperhatikan oleh telinga yang mau sadar. Kesadaran dimaksud termasuk dalam pengertian Hidāyah Rubūbiyyah. Memang, Allah tidak menisbahkan kesadaran itu kepada diri-Nya sebagaimana Dia menisbahkan peringatan kepada diri-Nya karena tujuan peringatan adalah untuk penyempurnaan hujjah (ya‘ni agar pada hari Kemudian tidak ada manusia yang berdalih bahwa dia belum diperingatkan). Adapun kesadaran, walaupun ia dapat dinisbahkan kepada Allah sebagaimana dinisbahkan kepada manusia, karena ayat di atas dalam konteks ajakan serta penjelasan tentang ganjaran – sedang ganjaran berkaitan dengan kesadaran manusia, kesadaran itu dinisbahkan kepada manusia bukan kepada Allah. Demikian lebih kurang Thabāthabā’ī.