Hati Senang

Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Mishbah (1/6)

Tafsir al-Mishbāḥ
(Jilid ke-15, Juz ‘Amma)
Oleh: M. Quraish Shihab


Penerbit: Penerbit Lentera Hati

Surah al-Ḥāqqah

Surah ini terdiri dari 52 ayat.
Surah ini dinamakan AL-ḤĀQQAH,
yang berarti “Hari Kiamat”,
yang diambil dari ayat pertama.

Surah al-Ḥāqqah

Surah yang populer dengan nama “Surah al-Wā‘iyah” ini disepakati oleh ‘ulamā’ sebagai surah Makkiyyah. Imām Aḥmad meriwayatkan bahwa Sayyidinā ‘Umar r.a. berkata: “Suatu ketika di Makkah aku keluar untuk menghadang Rasūlullāh – sebelum aku memeluk Islam. Aku mendapati beliau telah mendahuluiku ke Masjid al-Ḥarām maka aku berdiri di belakangnya, lalu kudengar beliau membuka shalatnya (dengan membaca) surah al-Ḥāqqah. Aku merasa ta‘jub dengan susunan al-Qur’ān. Maka, aku berkata (dalam hatiku): “Ini – demi Allah – adalah penyair, lalu kudengar beliau membaca: “Dan bukanlah ia (al-Qur’ān) perkataan seorang penyair.” (ayat 41). Lalu, aku berkata (dalam hatiku): “Tukang tenung.” Lalu, beliau membaca: “Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya.” (ayat 42) sampai akhir surah. Ketika itu, Islam menyentuh hatiku pada setiap relungnya.” Ini juga berarti bahwa surah al-Ḥāqqah turun sebelum tahun kelima Hijrah karena ‘Umar ibn-ul-Khaththāb r.a. memeluk Islam setelah berhijrahnya kaum muslimin ke Ḥabasyah (Ethiopia) yang terjadi pada tahun kelima sebelum Hijrah Nabi ke Madīnah.

Namanya al-Ḥāqqah terambil dari kata pertama pada surah ini. Ada juga yang menamainya surah as-Silsilah karena kata tersebut ditemukan pada ayatnya yang ke-32. Nama lainnya adalah al-Wā‘iyah yang terambil dari kata yang ditemukan pada ayat ke-12.

Tema utama surah ini adalah gambaran tentang kedahsyatan Hari Kiamat serta ancaman kepada mereka yang meragukan keniscayaannya. Al-Biqā‘ī secara singkat menyatakan bahwa tujuan utama surah ini adalah penyucian Allah melalui pembangkitan makhluq untuk menetapkan kebenaran dan membinasakan kebatilan dengan jalan membuktikan betapa luas ilmu Allah, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang besar maupun yang kecil dan detail, serta betapa sempurna kuasa-Nya atas segala wujud sambil menunjukkan keadilan-Nya terhadap seluruh makhluk – baik yang muslim yang berserah diri kepada-Nya maupun yang durhaka. Demikian al-Biqā‘ī yang kemudian menjadikan namanya “al-Ḥāqqah” sebagai bukti tujuan utama itu. Memang, kata al-Ḥāqqah dapat berarti kepastian terjadinya Hari Kiamat tanpa sedikit keraguan pun atau tampaknya secara jelas hakikat segala sesuatu.

Sayyid Quthub menulis bahwa surah ini adalah surah yang sungguh dahsyat lagi menakutkan. Jarang sekali ia menyentuh perasaan tanpa mengguncangkan dengan keguncangan yang mendalam. Sejak awal hingga akhirnya, ia menggedor (mengetuk (memukul) pintu keras-keras) perasaan dan menampakkan kepadanya kengerian yang luar biasa serta keseriusan yang pasti. Itu ditemukan dari satu episode ke episode yang lain. Surah ini secara keseluruhan mencampakkan dengan keras dalam perasaan satu hal pokok, yaitu bahwa persoalan agama dan ‘aqidah adalah persoalan yang sangat serius – semuanya kesungguhan – tiada tempat bagi senda-gurau. Keseriusan di dunia, di akhirat, keseriusan ketika dilakukan penimbangan ‘amal dalam rangka hisab/perhitungan Ilahi. Tiada tempat menoleh di sini atau di sana, banyak atau sedikit. Siapa pun yang menoleh – membelakanginya – maka ia telah mengundang murka Allah yang pasti, walaupun yang menoleh itu adalah Rasūl s.a.w., karena persoalan ini lebih besar dari Rasul, lebih besar dari seluruh manusia. Dia adalah al-Ḥaqq. Ḥaqq-ul-Yaqīn yang bersumber dari Rabb-ul-‘Ālamīn. Demikian lebih kurang Sayyid Quthub,

Surah ini dinilai oleh sementara ‘ulamā’ sebagai surah yang ke-77 dari segi perurutan turunnya. Ia turun sesudah surah Tabārak dan sebelum surah al-Ma‘ārij. Ayat-ayatnya berjumlah 52 ayat.

 

KELOMPOK 1

AYAT 1-12.

الْحاقَّةُ. مَا الْحَاقَّةُ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ. كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ وَ عَادٌ بِالْقَارِعَةِ. فَأَمَّا ثَمُوْدُ فَأُهْلِكُوْا بِالطَّاغِيَةِ. وَ أَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ. سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ. فَهَلْ تَرَى لَهُمْ مِّنْ بَاقِيَةٍ. وَ جَاءَ فِرْعَوْنُ وَ مَنْ قَبْلَهُ وَ الْمُؤْتَفِكَاتُ بِالْخَاطِئَةِ. فَعَصَوْا رَسُوْلَ رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَّابِيَةً. إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ. لِنَجْعَلَهَا لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ.

AYAT 1-3.

69: 1. Al-Ḥāqqah,
69: 2. apakah al-Ḥāqqah itu?
69: 3. Dan apakah yang telah menjadikanmu tahu tentang al-Ḥāqqah itu?

Surah yang lalu antara lain membantah kaum musyrikin yang mempersamakan orang yang taat kepada Allah dan yang durhaka. Di sana, dijelaskan pula tentang hari disingkapnya betis, ya‘ni kedahsyatan situasi pada Hari Kiamat. Disebutkan juga dalam surah yang lalu itu keagungan al-Qur’ān dan fungsinya sebagai peringatan untuk seluruh alam. Al-Qur’ān antara lain mengingatkan tentang adanya Kiamat di mana akan tampak ketika itu dampak segala ‘amal – yang baik dan yang buruk. Jika demikian, sangat wajar jika awal surah ini menekankan tentang keniscayaan dan kepastian Kiamat itu serta kedahsyatannya yang tidak tergambar dalam benak. Ayat di atas menyatakan: Al-Ḥāqqah, ya‘ni yang pasti kehadirannya yaitu Hari Kiamat, apakah al-Ḥāqqah itu yang sungguh dahsyat itu? Engkau – siapa pun engkau – tidak mengetahui perincian hakikatnya? Dan apakah yang telah menjadikanmu tahu tentang hakikat al-Ḥāqqah dan kedahsyatannya itu?

Kata (الْحاقَّةُ.) al-Ḥāqqah terambil dari kata (حقّ) ḥaqqa yang berarti pasti terjadinya. Kata yang digunakan ayat ini dapat dipahami sebagai adjektif dari sesuatu yang tidak disebutkan, ya‘ni peristiwa atau situasi. Dengan demikian, ia dapat dipahami dalam arti “satu peristiwa atau situasi yang pasti.” Tidak ada satu peristiwa dan situasi yang lebih pasti daripada kehadiran Hari Kiamat. Atas dasar itu al-Ḥāqqah dipahami dalam arti Hari Kiamat.

Bisa juga kata al-Ḥāqqah terambil dari kata (أَحُقُّهُ) aḥuqquhu yang berarti saya mengetahui hakikatnya. Dengan demikian, kata al-Ḥāqqah berarti “Yang mengetahui semua persoalan sesuai hakikatnya.” Tentu saja, yang mengetahui itu bukan peristiwa atau situasi itu, tetapi siapa yang melihat peristiwa atau berada dalam situasi itu. Yang berada dan melihatnya adalah seluruh makhluq. Jika demikian, pada saat terjadinya peristiwa itu, semua pihak mengetahui hakikat segala sesuatu. Tiada lagi yang tersembunyi atau dapat disembunyikan. Ini pun menunjuk kepada Hari Kiamat.

Pakar bahasa, al-Azharī, berkata bahwa bila anda berkata (حَاقَقْتُهُ فَحَقَّقْتُهُ) Ḥāqaqtuhu faḥaqqaqtuhu maka itu berarti Aku melawan (menuntutnya) sehingga aku berhasil mengalahkannya. Di sini, peristiwa atau situasi yang dimaksud ayat ini adalah peristiwa dikalahkannya segala penentang kebenaran. Hari Kiamat memang demikian itu halnya terhadap para pendurhaka.

Kalimat (وَ مَا أَدْرَاكَ) wa mā adrāka digunakan al-Qur’ān untuk menggambarkan sesuatu yang sangat agung dan yang amat sulit bahkan mustahil dijangkau hakikatnya oleh manusia – tanpa bantuan Allah – karena pada umumnya redaksi tersebut dikaitkan dengan alam metafisika, seperti surga, neraka dalam berbagai namanya, dan hal-hal yang amat luar biasa, seperti Lailat-ul-Qadr dan al-‘Aqabah (Jalan mendaki menuju kejayaan). Pada ayat ini, kalimat tersebut dikaitkan dengan Hari Kiamat yang memang hakikat dan waktunya tidak diketahui kecuali oleh Allah s.w.t.

Ada yang menyatakan bahwa ayat-ayat yang menggunakan istilah mā adrāka pada akhirnya disampaikan juga oleh Allah persoalannya kepada Nabi Muḥammad s.a.w., berbeda dengan istilah serupa tetapi menggunakan bentuk mudhāri‘ (kata kerja masa kini dan datang), ya‘ni wa mā yudrīka. Istilah ini digungkan al-Qur’ān menyangkut waktu kedatangan Kiamat. Ini sama sekali tidak dijelaskan Allah kepada beliau bahkan siapa pun. Pendapat ini dinisbahkan dalam beberapa riwayat kepada sahabat Nabi s.a.w., Ibnu ‘Abbās r.a.

 

AYAT 4-8.

Tsamūd dan ‘Ād telah mendustakan al-Qāri‘ah. Adapun Tsamūd maka mereka telah dibinasakan dengan yang luar biasa. Adapun ‘Ād maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Dia menimpakannya atas mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus; maka engkau melihat kaum itu padanya mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah lapuk bagian dalamnya. Maka, apakah engkau melihat dari mereka seorang pun yang tersisa?

Sekian banyak generasi masa lalu yang mengingkari keniscayaan Kiamat. Allah tidak membiarkan mereka berlarut dalam kedurhakaan sehingga Allah menjatuhkan siksa antara mereka. Ayat di atas dan ayat-ayat berikut mengungkap sekelumit dari sanksi yang mereka alami itu. Ayat di atas menyatakan: Kaum Tsamūd umat Nabi Shāliḥ a.s. dan ‘Ād umat Nabi Hūd a.s. telah mendustakan al-Qāri‘ah, ya‘ni Hari Kiamat. Adapun kaum Tsamūd maka mereka telah dibinasakan secara amat mudah dengan suara teriakan yang luar biasa menggelegar, ya‘ni suara guntur yang bercampur kilat. Adapun kaum ‘Ād, maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang yang Dia, ya‘ni Allah, menimpakannya sebagai siksa atas mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus tanpa henti-hentinya berembus dengan kencang; maka engkau, wahai siapa pun yang dapat melihat – seandainya ketika itu engkau berada di sana tentu engkau – melihat kaum ‘Ād yang cukup kuat itu padanya, ya‘ni pada waktu itu, mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah lapuk bagian dalamnya. Maka, apakah engkau – wahai yang dapat melihat – melihat dari mereka – secara khusus ada – seorang pun yang tersisa? Ya‘ni tidak satu di antara mereka yang selamat.

Kaum (ثَمُوْدُ) Tsamūd merupakan salah satu suku bangsa ‘Arab terbesar yang telah punah. Mereka adalah keturunan Tsamūd ibn Jatsar Ibn Iram Ibn Sām Ibn Nūḥ. Dengan demikian, silsilah keturunan mereka bertemu dengan ‘Ād pada kakek yang sama yaitu Iram. Mereka bermuqim di satu wilayah bernama al-Ḥijr, yaitu satu daerah di Ḥijāz (Saudi ‘Arabia sekarang). Ia juga dinamai Madā’in Shāliḥ karena Nabi Shāliḥ a.s. adalah Nabi yang diutus kepada mereka. Di sana, hingga kini terdapat banyak peninggalan, antara lain berupa reruntuhan bangunan kota lama, yang merupakan sisa-sisa dari kaum Tsamūd itu. Ditemukan juga pahatan-pahatan indah serta kuburan-kuburan dan aneka tulisan dengan berbagai aksara ‘Arab, Aramiya, Yunani, dan Romawi.

Kaum (عَادٌ) ‘Ād adalah sekelompok masyarakat ‘Arab yang terdiri dari sepuluh atau tiga belas suku, kesemuanya telah punah. Moyang mereka yang bernama ‘Ād merupakan generasi kedua dari putra Nabi Nūḥ a.s. yang bernama Sam. Mayoritas sejarahwan menyatakan bahwa ‘Ād adalah putra Iram, putra Sam, putra Nūḥ a.s. Suku ‘Ād bermuqim di satu daerah yang bernama asy-Syihr, tepatnya di Ḥadhramaut, Yaman. Nabi yang diutus kepada mereka adalah Nabi Hūd a.s. Kuburan beliau terdapat di sana dan hingga kini masih merupakan tempat yang diziarahi. Nabi Hūd a.s. adalah salah seorang keturunan dari suku ‘Ād. Rujuklah antara lain ke QS. al-A‘rāf [7]: 65 dan seterusnya untuk mengetahui kisah kedua kaum di atas. (291)

Kata (الْقَارِعَةِ) al-qāri‘ah terambil dari kata (قَرعَ) qara‘a, ya‘ni menggedor dengan keras. Kiamat diibaratkan sesuatu yang menggedor hati dan pendengaran manusia. Langit, bumi, dan seluruh planet pada saat Kiamat bertabrakan dan berjatuhan runtuh, suara reruntuhan sedemikian keras bagaikan gedoran yang memecahkan anak telinga dan menggentarkan seluruh jiwa raga.

Kata (صَرْصَر) sharshar terambil dari kata (صَر) shar yang berarti sangat dingin. Pengulangannya mengisyaratkan bahwa dinginnya luar biasa hingga bagaikan membakar dan suaranya berdesir sampai memekakkan telinga. Lihat lebih jauh QS. Fushshilat [41]: 16. (302).

Kata (حُسُوْمًا) ḥusūman dapat berarti berturut-turut dan berulang-ulang tanpa henti dan dapat juga berarti menebas, memutus, dan menghabisi sampai akar-akarnya. Ibn ‘Āsyūr menulis bahwa ada sementara orang yang menduga bahwa itu terjadi pada akhir Februari dan awal Maret yang biasanya dikenal di daerah sana dengan puncak kencangnya angin (dingin). Tetapi, lanjutnya: “Ini adalah salah satu waham yang tidak dapat diakui kebenarannya”. Penulis tambahkan bahwa dalam Tafsīr al-Jalālain dan sekian banyak tafsir lain disebutkan bahwa angin itu bermula pada hari Rabu pagi pada sisa delapan dari berakhirnya bulan Syawwāl. Pendapat ini pun tidak dapat dinilai shahih. Siapakah gerangan yang mencatat sampai mengetahui hari dan bulannya?

Catatan:

  1. 29). Baca kisahnya pada volume 4 mulai halaman 163.
  2. 30). Lihat volume 12 halaman 32.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.