Surat al-Ghāsyiyah bermakna hari pembalasan. Diturunkan di Makkah sesudah surat adz-Dzāriyāt, terdiri dari 26 ayat.
Surat ini memperbincangkan masalah hari kiamat. Di samping itu menerangkan bahwa pada hari kiamat, manusia terbagi dalam dua golongan besar, satu golongan masuk surga dan satu golongan masuk neraka. Sesudah itu, surat ini berusaha menarik perhatian kita untuk memperhatikan beberapa bagian alam dan menyuruh Nabi memberikan peringatan kepada manusia agar mereka seluruhnya kembali kepada Allah.
Dalam surat yang telah lalu dijelaskan tentang orang-orang mu’min dan orang-orang kafir, serta masalah surga dan neraka dengan isyarat. Dalam surat ini, hal tersebut kembali diperjelas. (11)
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya.
هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ الْغَاشِيَةِ.
Hal atāka ḥadītsul ghāsyiyah.
“Sungguh telah datang kepadamu cerita-cerita hari kiamat.” (22) (al-Ghāsyiyah [88]: 1)
Apakah telah sampai kepadamu tentang berita hari kiamat, dan apakah kamu telah mengetahui kisahnya? Kami (Allah) akan memberi tahu kamu, bagaimana keadaan hari kiamat itu.
وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ.
Wujūhuy yauma’idzin khāsyi‘ah.
“Ada beberapa muka yang pada hari itu tunduk menekur”. (33) (al-Ghāsyiyah [88]: 2)
Pada hari itu tampaklah orang-orang yang menundukkan mukanya, karena kehinaan dan ketakutan.
عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ.
‘Āmilatun nāshibah.
“Bekerja keras dan letih.” (al-Ghāsyiyah [88]: 3)
Orang-orang kafir itu sewaktu hidup di dunia bekerja dengan segala kesungguhan. Tetapi Allah tidak menerima amalan-amalannya, karena mereka tidak beriman kepada-Nya dan Rasūl-Nya. Bahkan di dunia mereka dengan gigih sangat menentang Allah dan Rasūl-Nya.
تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً.
Tashlā nāran ḥāmiyah.
“Mereka memasuki neraka yang sangat panas.” (al-Ghāsyiyah [88]: 4)
Muka-muka orang yang tunduk hina itu akan merasakan panasnya api neraka, karena kejahatan (kemaksiatan) yang mereka lakukan di dunia.
تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ.
Tusqā min ‘ainin āniyah.
“Mereka diberi minuman dari mata-air yang amat panas.” (al-Ghāsyiyah [88]: 5)
Apabila mereka merasa haus dan meminta air, maka dibawalah kepadanya air yang diambil dari suatu mata-air yang sangat panas, yang tidak dapat diminum untuk menghapuskan rasa dahaga dan juga tidak memberi manfaat apa pun.
لَّيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِنْ ضَرِيْعٍ.
Laisa lahum tha‘āmun illā min dharī‘.
Mereka tidak memperoleh makanan selain dari kayu berduri”. (44) (al-Ghāsyiyah [88]: 6)
Apabila mereka merasa lapar dan meminta makanan, maka dibawalah kepadanya tumbuhan-tumbuhan yang berduri dan sangat pahit. Makanan-makanan yang sangat buruk, dan binatang pun tidak dapat memakannya.
لَا يُسْمِنُ وَ لَا يُغْنِيْ مِنْ جُوْعٍ.
Lā yusminu wa lā yughnī min jū‘.
“Yang sangat pahitnya. Yang tidak menyuburkan badan dan tidak pula menghilangkan lapar.” (al-Ghāsyiyah [88]: 7)
Makanan yang disuguhkan hanyalah bermaksud untuk lebih menjelaskan bahwa neraka dan ‘adzab berada di luar jangkauan akal manusia. Sudah barang tentu, makanan dan minuman di akhirat sesuai dengan kejadian alam akhirat.
وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاعِمَةٌ.
Wujūhuy yauma’idzin nā‘imah.
“Pada hari itu, beberapa muka berseri-seri,” (al-Ghāsyiyah [88]: 8)
Pada hari itu terdapat juga orang-orang yang mukanya berseri-seri dan riang gembira, karena mereka mengenyam (mengecap (makan dan sebagainya)) nikmat sebagai pembalasan atas usahanya di dunia.
لِسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ.
Lisa‘yihā rādhiyah.
“Merasa senang atas usaha-usahanya”. (al-Ghāsyiyah [88]: 9)
Sewaktu masih hidup di dunia, mereka selalu berusaha (berbuat) untuk Allah. Mereka meridhai dan ikhlas atas apa yang dilakukannya di dunia dulu.
فِيْ جَنَّةٍ عَالِيَةٍ.
Fī jannati ‘āliyah.
“Duduk di dalam surga yang tinggi.” (al-Ghāsyiyah [88]: 10)
Mereka ditempatkan di dalam surga yang tinggi. Surga itu bertingkat-tingkat, sebagian lebih tinggi dari yang lain. Demikian pula neraka, sebagian ada yang lebih tinggi dari sebagian yang lain.
لَا تَسْمَعُ فِيْهَا لَاغِيَةً.
Lā tasma‘ fīhā lāghiyah.
“Di dalamnya, mereka tidak mendengar ucapan yang sia-sia.” (al-Ghāsyiyah [88]: 11)
Dalam surga yang tinggi tidak terdengar pembicaraan-pembicaraannya yang tidak berguna. Apalagi pembicaraan yang mendatangkan dosa. Sebab, tempat itu merupakan tempat yang dikasihi oleh Allah.
فِيْهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ.
Fīhā ‘ainun jāriyah.
“Di dalam surga terdapat mata-air yang mengalir.” (al-Ghāsyiyah [88]: 12)
Dalam surga yang tinggi itu ada beberapa mata-air yang tidak pernah kering.
فِيْهَا سُرُرٌ مَّرْفُوْعَةٌ.
Fīhā sururun marfū‘ah.
“Di dalamnya ada sofa-sofa yang panjang dan ditinggikan.” (al-Ghāsyiyah [88]: 13)
Dalam surga itu diperoleh dipan-dipan yang tinggi yang memungkinkan orang duduk di atasnya untuk melihat semua isi surga dan memandang semua nikmat Allah yang ada di dalamnya.
وَ أَكْوَابٌ مَّوْضُوْعَةٌ.
Wa akwābum maudhū‘ah.
“Dan gelas-gelas yang diletakkan.” (al-Ghāsyiyah [88]: 14)
Di dalam surga diletakkan gelas-gelas yang siap dipergunakan untuk minum.
وَ نَمَارِقُ مَصْفُوْفَةٌ.
Wa namāriqu mashfūfah.
“Dan bantal-bantal sandaran yang tersusun.” (al-Ghāsyiyah [88]: 15)
Di dalam surga terdapat bantal-bantal sandaran yang bersusun yang dapat dipakai untuk diduduki dan dijadikan sandaran.
وَ زَرَابِيُّ مَبْثُوْثَةٌ.
Wa zarābiyyu mabtsūtsah.
“Dan permadani yang terhampar.” (al-Ghāsyiyah [88]: 16)
Terdapat pula permadani-permadani yang terhampar di setiap majelis (ruang) yang indah buatannya dan nikmat dipandang mata.
أَفَلَا يَنْظُرُوْنَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ.
Afalā yanzhurūna ilal ibili kaifa khuliqat.
“Maka, mengapa mereka tidak melihat unta, bagaimana unta itu diciptakan?” (al-Ghāsyiyah [88]: 17)
Mengapakah orang-orang musyrik itu mengingkari hari bangkit, kebahagiaan dan kecelakaan (kehinaan) di akhirat? Apakah mereka tidak memperhatikan unta yang berada di depan matanya dan setiap waktu mereka mempergunakannya? Kalau mereka memperhatikan kejadian unta, tentu mereka mendapati bahwa unta tidak sama dengan binatang-binatang lain. Unta memiliki tubuh yang besar, tenaga yang kuat dan tahan menderita lapar atau haus serta dapat menahan kesukaran-kesukaran dalam menempuh perjalanan jarak jauh sehingga unta diberi gelar “bahtera padang pasir”.
وَ إِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ.
Wa ilas samā’i kaifa rufi‘at.
“Dan kepada langit, bagaimana langit ditinggikan?” (al-Ghāsyiyah [88]: 18)
Mengapakah mereka tidak memperhatikan langit? Bagaimana langit itu digantung di angkasa, dan planet-planet itu berputar dengan cepatnya serta satu dengan lainnya saling menarik?
وَ إِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ.
Wa ilal jibāli kaifa nushibat.
“Dan kepada gunung-gunung, bagaimana ditegakkan?” (al-Ghāsyiyah [88]: 19)
Mengapa mereka tidak melihat gunung-gunung, bagaimana gunung itu diletakkan, sehingga tidak menimbulkan keguncangan dan dapat didaki setiap waktu. Bahkan, gunung-gunung itu menjadi tanda bagi orang-orang yang berjalan di padang tandus.
وَ إِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ.
Wa ilal ardhi kaifa suthiḥat.
“Dan bumi, bagaimana dikembangkan?” (al-Ghāsyiyah [88]: 20)
Mengapakah mereka tidak melihat bumi, bagaimana bumi dihamparkan sehingga bisa didiami oleh manusia dan dapat diambil manfaatnya dari apa yang terdapat di permukaannya dan dari apa yang terdapat di dalam perutnya.
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ.
Fa dzakkir, innamā anta mudzakkir
“Karena itu, berikanlah pelajaran, sebab kamu hanya seorang pemberi pelajaran.” (al-Ghāsyiyah [88]: 21)
Berilah pelajaran kepada hamba Allah dengan ayat-ayatNya dan doronglah mereka untuk memperhatikan alam tinggi dan bumi. Janganlah kamu bersedih hati jika mereka tidak mempercayai peringatanmu.
Kamu, hai Muḥammad, diutus hanyalah untuk memberi peringatan, bukanlah memaksa mereka untuk beriman. Jika mereka beriman, berarti mereka telah menuruti fitrah dan jika berpaling berarti hawa nafsu mereka telah mengalahkan hati nuraninya.
لَّسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ.
Lasta ‘alaihim bimusaithir.
“Kamu bukanlah orang yang dapat memaksa mereka.” (al-Ghāsyiyah [88]: 22)
Kamu, hai Muḥammad, bukanlah seorang yang dapat menundukkan hati mereka menurut kehendakmu. Bukan pula orang yang mencatat semua amalan mereka. Kamu tidak diberi kekuatan memaksa mereka untuk beriman.
إِلَّا مَنْ تَوَلَّى وَ كَفَرَ. فَيُعَذِّبُهُ اللهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ.
Illā man tawallā wa kafar. Fa yu‘adzdzibuhullāhul ‘adzābal akbar.
“Akan tetapi orang yang membelakangi dan tidak mau beriman. Tuhan akan menyiksa mereka dengan siksaan yang besar.” (al-Ghāsyiyah [88]: 23-24)
Kamu, hai Muḥammad, adalah seorang penyeru yang tidak mempunyai kekuasaan untuk menguasai mereka. Allah-lah yang menguasai jiwa mereka. Maka, orang yang berpaling dari peringatan dan mengingkari kebenaran yang dikemukakan kepadanya, niscaya Allah akan meng‘adzabnya dengan ‘adzab yang paling berat di akhirat nanti. Allah akan memberikan kekuasaan kepadamu untuk mengalahkan mereka dan mengambil harta rampasan perang dari mereka.
إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ. ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ
Inna ilainā iyābahum. Tsumma inna ‘alainā ḥisābahum.
“Sesungguhnya hanya kepada Kami, mereka kembali. Kemudian, sesungguhnya hanya pada Kami pemeriksaan (hisab) mereka.” (al-Ghāsyiyah [88]: 25-26)
Tidak ada jalan untuk melepaskan diri dari ‘adzab Allah bagi orang-orang yang berpaling dari kebenaran. Mereka semua akan kembali kepada-Nya, dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatannya.
Dalam ayat-ayat ini Allah menjelaskan bahwa manusia terbagi menjadi dua golongan, yang berbahagia dan yang celaka. Yang berbahagia menempati surga, yang di dalamnya terdapat mata-air yang mengalir, dipan-dipan yang tinggi, dan permadani yang terhampar. Kemudian Allah menarik perhatian orang-orang yang ingkar untuk memperhatikan tanda-tanda kudrat-Nya yang terdapat di depan mata mereka sendiri: di langit, bumi, gunung, dan unta. Pada akhirnya Allah menegur mereka yang ingkar dan menyuruh Nabi supaya memperingatkan mereka dengan dalil-dalil yang telah dikemukakan dan menandaskan bahwa Muḥammad hanyalah seorang mudzakkir (pemberi ingat). Allah sendiri yang akan meminta kepada orang kafir petanggungjawaban atas ‘amal perbutan mereka yang sempurna.