Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir asy-Syaukani

Dari Buku:
TAFSIR FATHUL-QADIR
(Jilid 12, Juz ‘Amma)
Oleh: Imam asy-Syaukani

Penerjemah: Amir Hamzah, Besus Hidayat Amin
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

SURAH AL-FALAQ (Halaman 2)

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. وَ مِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ. وَ مِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ. وَ مِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

113:1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh.

113:2. Dari kejahatan makhluk-Nya,

113:3. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,

113:4. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,

113:5. Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”.

(al-Falaq [113]: 1-5)

Firman Allah: (الْفَلَقِ) “subuh” adalah Subuh, dikatakan ia lebih terang daripada terbitnya Subuh. Dinamakan falaq (membelah) karena ia membelah malam. Ini adalah fi‘il (kata kerja) yang bermakna maf‘ūl (obyek). Az-Zajjaj berkata: “Karena malam terbelah oleh subuh dan bermakna maf‘ūl, dikatakan ia lebih terang daripada terbitnya subuh dan belahan subuh, inilah pendapat mayoritas ahli tafsir. Di antara contoh penggunaan makna ini adalah perkataan Dzu-Rimah:

حَتَّى إِذَا مَا انْجَلِيَ عَنْ وَجْهِهِ فَلَقُ

هَادِئَة فِيْ أَخْرَيَاتِ اللَّيْلِ مُنْتَصب

Hingga ketika nampak cahaya subuh di wajahnya

Dengan tenang di akhir-akhir malam.”

Ada pendapat yang mengatakan bahwa itu adalah sebuah penjara di neraka Jahannam, ada yang berpendapat merupakan sebuah nama dari nama-nama Jahannam, ada yang mengatakan sebuah pohon di neraka, ada yang mengatakan itu adalah gunung-gunung dan bebatuan besar, karena itu semua dapat terbelah oleh air, ada yang mengatakan itu berarti celah-celah di antara gunung-gunung karena sangat takut akan kebesaran Allah.

An-Nahhās berkata: “Semua bagian bumi yang datar disebut falaq.”

Ada pendapat yang mengatakan bahwa itu adalah rahim yang terbelah yang terdapat pada binatang, ada yang mengatakan itu adalah semua yang terbelah dari ciptaan Allah, termasuk hewan, subuh, biji-bijian, semua yang termasuk tanam-tanaman, dan lain sebagainya. Ini dinyatakan oleh al-Hasan dan adh-Dhahhak.

Al-Qurthubi berkomentar: “Pendapat ini didukung oleh adalah (الانشقاق) (terbelah), karena (الفلق) berarti (الشق) (keretakan/belahan), dikatakan (فلقت الشيء فلقا) yakni (شققته) (aku membelahnya). Kata (التفليق) juga memiliki arti yang sama, dikatakan (فلقته، فانفلق، و تفلق), maka semua yang terbelah dari sesuatu; meliputi hewan, biji-bijian, buah-buahan, dan air disebut (فلق). Allah berfirman: (إِنَّ اللهَ فَالِقُ الْحَبِّ وَ النَّوَى) “Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan.” (al-An‘ām [6]: 95) dan berfirman: (فَالِقُ الْإِصْبَاحِ) “Dia menyingsingkan pagi.” (al-An‘ām [6]: 96). Selesai perkataan al-Quthubi.

Pendapat yang pertama lebih tepat karena sekalipun maknanya lebih umum dan lebih luas dari kandungannya itu, akan tetapi itulah yang langsung dipahami secara mutlak. Ada pula pendapat yang mengatakan dari sisi takhshish (pengkhususan) kata falaq untuk mengisyaratkan bahwa Dzat yang mampu menghilangkan kegelapan yang pekat dari dunia ini tentu dapat menolak semua yang ditakutkan dan dikhawatirkan oleh orang yang meminta perlindungan. Ada pula yang mengatakan itu adalah datangnya subuh sebagai kiasan untuk datangnya kebahagiaan, sebagaimana orang yang berada di malam hari menanti kedatangan pagi hari, maka orang yang dalam keadaan takut menanti-nanti datangnya kebahagiaan. Dan, ada pula yang mengatakan selain semua itu, dan itu hanya merupakan penjelasan yang sesuai yang tidak memiliki banyak faidah terkait penafsiran.

(مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ) “dari kejahatan makhluk-Nya,” terkait dengan (أَعُوْذُ) “Aku berlindung”, yakni: dari semua yang diciptakan Allah s.w.t., dari semua jenis makhluk-Nya, maka meliputi semua keburukan. Ada pendapat yang mengatakan itu adalah iblis dan keturunannya, ada yang mengatakan neraka Jahannam, namun tidak ada alasan dan dalil untuk pengkhususan ini, sebagaimana tidak ada alasan untuk pengkhususan dari orang-orang yang mengkhususkan keumuman ini dengan bahaya yang bersifat jasmani. Sebagian kalangan yang fanatik dengan madzhab tertentu menyelewengkan ayat ini untuk membela pendapatnya dan “meluruskan” kebatilannya, mereka membaca dengan tanwin pada lafazh (شَرِّ) (kejahatan) dengan memahami bahwa (مَا) di sini sebagai partikel nafiyah (meniadakan), dan maknanya: dari kejahatan yang belum Dia ciptakan, di antara mereka yang mengusung pendapat ini adalah ‘Amr bin ‘Ubaid dan ‘Amr bin A‘idz.

(وَ مِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ) “dan dari kejahatan malam apabila telah gelap-gulita,” makna (الغاسق) adalah (الليل) (malam) dan (الغسق) adalah (الظلمة) (kegelapan), dikatakan: (غَسَقَ اللَّيْلُ يَغْسِقُ إِذَا أَظْلَمَ) (apabila malam telah larut). Al-Farra’ berkata: Dikatakan: (غَسَقَ اللَّيْلُ وَ أَغْسَقَ إِذَا أَظْلَمَ) (apabila malam telah larut), di antara contoh penggunaan makna ini adalah perkataan Qias bin Raqiyat.

إِنَّ هذَا اللَّيْلَ قَدْ غَسَقَا

وَ اشْتَكَيْتُ الْهَمَّ وَ الْأَرَقَا

Malam ini telah larut

Aku mengadukan kegelisahanku.”

Az-Zajjaj berkata: malam disebut (غاسق) karena ia lebih sejuk daripada siang, (غاسق) berarti (البارد) (dingin) dan (الغسق) berarti (البرد) (dingin), juga karena pada malam hari binatang-binatang buas keluar dari sarang dan persembunyiannya, mereka yang biasa melakukan kejahatan akan beraksi untuk melakukan kejahatan dan perusakan, demikian yang ia katakan, ini adalah perkataan yang datar, dan para ahli bahasa bertolak belakang dengan pernyataan ini, demikian pula mayoritas ahli tafsir.

Makna (وقوبه) adalah masuknya kegelapan.

Juga dikatakan (وقبت الشمس) yakni matahari tenggelam. Ada yang berpendapat ghasiq adalah kandil (lampu gantung), hal ini karena apabila ia jatuh maka akan membuat banyak kerusakan dan malapetaka, ini adalah perkataan Ibnu Zaid, ini membutuhkan penukilan dari kalangan ‘Arab bahwa mereka menyifati kandil dengan “tenggelam”.

Az-Zuhri berkata: “Itu adalah matahari ketika terbenam, seakan-akan ia hanya fokus pada makna (وقوب) dan tidak memperhatikan makna (غسوق) (gelap).” Ada yang berpendapat itu adalah bulan ketika terjadi gerhana, ada yang mengatakan apabila telah terbenam, ini dinyatakan oleh Qatadah dan yang lainnya, dan mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Abu Syaikh di dalam al-‘Azhamah, al-Hakim dan ia menilainya shaḥīḥ, dan Ibnu Mardawaih dari ‘A’isyah, ia berkata: Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. memandang bulan ketika kemunculannya, kemudian beliau bersabda:

يَا عَائِشَةُ اسْتَعِيْذِيْ بِاللهِ مِنْ شَرِّ هذَا فَإِنَّ هذَا هُوَ الْغَاسِقُ إِذَا وَقَبَ

Wahai ‘A’isyah, mohonlah perlindungan kepada Allah dari kejahatan ini, sesungguhnya ini adalah kegelapan apabila telah tiba.” Setelah mengeluarkan hadits ini at-Tirmidzi berkomentar: “Ḥasan shaḥīḥ.”

Pendapat ini tidak menyimpang dari pendapat jumhur ulama, karena malam merupakan pertanda malam, dan tidak ada penguasan kecuali yang ada di dalamnya. Itulah jawaban untuk orang-orang yang menyatakan bahwa itu adalah kandil.

Ibn-ul-‘Arabi berkomentar dalam manafsirkan hadits ini, bahwa orang-orang yang kebingungan mengartikan itu sebagai santapan bulan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa (الغاسق) adalah ulat apabila ia mematuk, ada yang mengatakan semua yang menyerang dan membahayakan makhluk apapun, diambil dari perkataan mereka: (غسقت القرحة) (luka terkuak) apabila nanah mengalir, ada yang mengatakan bahwa (الغاسق) adalah yang mengalir. Dan kita telah mengetahui bahwa pendapat yang paling kuat dalam menafsirkan ayat ini adalah yang dikatakan oleh pengusung pendapat pertama, dan alasan pengkhususannya bahwa kejahatan pada malam hari cenderung lebih banyak dan upaya untuk menghindarinya lebih sulit. Orang-orang mengatakan: (اللَّيْلُ أَخْفَى لِلْوَيْلِ) “Malam lebih menyembunyikan malapetaka.”

(وَ مِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ) “dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” (النَّفَّاثَاتِ) adalah para tukang sihir perempuan, yakni: dari kejahatan jiwa-jiwa tukang sihir atau perempuan-perempuan tukang sihir. (النفث) adalah (النفخ) (meniup), sebagaimana dilakukan oleh orang yang meruqyah/mengobati dan yang menyihir. Ada pendapat yang mengatakan dengan air liur, ada yang mengatakan tanpa air liur.

Kata (الْعُقَدِ) adalah bentuk jamak dari (عقدة) (buhul/ikatan), itu karena mereka meniup pada buhul-buhul ikatan ketika mereka melakukan sihir dengan ikatan tali-tali tersebut.

Di antara contoh penggunaan makna ini adalah perkataan Mutammim bin Nuwairah:

نَفَثَ فِي الْخَيْطِ شَبِيْه الرّقِي

مِنْ خَشْيَةِ الْجِنَّةِ وَ الْحَسَدِ

Ia meniup pada buhul ikatan seperti meruqyah

Karena takut dari jin dan pendengki.”

Abu ‘Ubaidah berkata: (النَّفَّاثَاتِ) “wanita-wanita tukang sihir” ini adalah anak-anak perempuan Lubaid al-A‘sham, seorang Yahudi, yang menyihir Nabi s.a.w.

Jumhur ulama membaca (النَّفَّاثَاتِ) sebagai bentuk jamak dari (نفاثة) (yang banyak meniup) dengan bentuk mubālaghah (hiperbola). Ya‘qub, ‘Abd-ur-Rahman bin Sabath, dan ‘Isa bin ‘Umar membaca (النَّافَّاثَاتِ) sebagai bentuk jamak dari (نفاثة) (peniup), Al-Hasan membaca (النُّافَّاثَاتِ) dengan dhammah pada nūn, dan Abur-Rabi‘ membaca (النَّفَّاثَاتِ) tanpa alif.

Unduh Rujukan:

  • [download id="12862"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *