Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir asy-Syanqithi (3/3)

Dari Buku:
Tafsir Adhwa’-ul-Bayan
(Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Jilid 11, Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh asy-Syanqithi

Penerjemah: Ahmad Affandi, Zubaidah Abdurrauf, Kholid Hidayatulullah, Muhammad Yusuf.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir asy-Syanqithi

Masalah:

Penjelasan Cara Mengatasi al-‘Ain

Kedengkian termasuk hal yang dapat membahayakan manusia, dan penggunaan al-‘Ain merupakan kebenaran yang tidak diragukan lagi, sebagaimana hadits menyebutkan: “Sekiranya sesuatu dapat mendahului taqdir, tentu al-‘Ain dapat mendahuluinya (taqdir).” (1881).

Sunnah telah menjelaskan cara mengantisipasi sebelum terjadinya dan cara mengobatinya jika telah terkena.

Hal tersebut termaktub dalam hadits-hadits shaḥīḥ yang diriwayatkan oleh Mālik dalam al-Muwaththa’ dan lainnya (1892) pada hadits Sahl bin Ḥunaif. Al-Bukhārī dalam kitab shaḥīḥ-nya memberi judul sebuah bab dengan judul meruqyah al-‘Ain, dan ia menyebutkan hadits ‘Ā’isyah, ia berkata: “Nabi s.a.w. menyuruhku, atau beliau menyuruh meruqyah dari al-‘Ain.” (1903).

Mālik dalam al-Muwaththa’ membuat sebuah bab dengan judul “Berwudhu’ dari al-‘Ain”, dan sebuah bab lain dengan judul “Meruqyah dari akibat al-‘Ain”. Kemudian ia menuliskan hadits Sahl secara lengkap, yang di dalamnya ada penjelasan cara menghindari dan mengobatinya. Oleh karena itu, kami cukupkan pemaparannya karena kelengkapannya.

Mālik berkata: Dari Muḥammad bin Abī Usāmah bin Sahl bin Ḥunaif, bahwa ia mendengar ayahnya berkata: Ayahku, Sahl bin Ḥunaif, pernah mandi di daerah Ḥarrār dan menanggalkan jubah yang dikenakannya, sementara ‘Āmir bin Rabī‘ah memandangnya. Sahl adalah lelaki berkulit putih dan bagus. ‘Āmir bin Rabī‘ah lalu berkata kepadanya: “Aku tidak pernah melihat kulit sebagus yang aku lihat hari ini, dan tidak pula kulit perawan.” Sahl lalu menggigil di tempatnya dan sangat menggigil. Mereka lalu mendatangi Rasūlullāh s.a.w. dan mengatakan kepada beliau bahwa Sahl menggigil dan ia tidak dapat datang ke sini untuk bertemu denganmu wahai Rasūlullāh. Rasūlullāh s.a.w. pun mendatanginya. Sahl lalu menceritakan kepada beliau tentang keberadaan ‘Āmir, maka Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Kenapa salah seorang kamu ingin membunuh saudaranya? Tidakkah kau mengucapkan “Tabārakallāh”. Sesungguhnya al-‘Ain itu benar (adanya). Berwudhu’lah untuknya.” ‘Āmir pun berwudhu’ untuknya. Setelah itu Sahl bergegas pergi bersama Rasūlullāh s.a.w. dan dia pun sembuh.” (1914).

Mālik menyebutkan riwayat lain yang di dalamnya disebutkan bahwa: Rasūlullāh s.a.w. lalu berkata: “Apakah kalian menuduh seseorang untuknya?” Mereka berkata: “Kami menuduh ‘Āmir bin Rabī‘ah.” Rasūlullāh s.a.w. lalu memanggil ‘Āmir, kemudian memarahinya seraya berkata: “Kenapa seseorang dari kamu mau membunuh saudaranya? Ayo baca tabarakallah. Basuhlah dia.” ‘Āmir pun membasuh wajah Sahl, kedua tangannya, kedua sikutnya, kedua lututnya, dan ujung-ujung kedua kakinya. Dia lalu memasukkan selengangnya ke dalam bejana, kemudian mencurahkan airnya kepada Sahl. Kemudian Sahl pun pergi bersama orang-orang tanpa ada keluhan apa-apa.” (1925).

Kisah ini membuktikan terjadinya al-‘Ain, dan ini adalah perkara yang disepakati oleh kalangan Ahli Sunnah dan Salaf-ush-Shāliḥ. Sebagaimana dalam kisah ini juga terdapat anjuran untuk membaca tabārakallāh. Dan pada sebagian riwayat selain Mālik: “Tidakkah engkau membaca “Allāhu Akbar” tiga kali”, karena itu dapat menolak pandangan orang yang memiliki al-‘Ain.

Dalam hadits juga disebutkan: “Doa itu dapat menolak bala’.”

Jika al-‘Ain tidak tertolak ketika kemunculannya dan tetap terkena, maka pengobatannya adalah dengan mewudhu’kannya. Dalam riwayat lain dengan memandikannya (membasuhkannya).

Perawi hadits lalu merinci maksud “membasuhkannya” bahwa dia membasuh wajah, kedua tangan, yakni kedua telapak tangannya saja, kedua siku, kedua lutut, kedua kaki, serta ujung kain sebelah dalam, dan itu dilakukan dalam sebuah bejana yang tidak tumpah airnya ke lantai. Kemudian air itu disiramkan kepada yang terkena al-‘Ain, dari sisi belakangnya, dan menelungkupkan bejana tersebut.

Al-Qādhī al-Bājī menyebutkannya secara terperinci dalam Syarḥ-ul-Muwaththa’: Diriwayatkan dari Yaḥyā bin Yaḥyā, dari Ibnu Nafi‘, tentang makna berwudhu’ yang diperintahkan Rasūlullāh s.a.w. di sini, dia berkata: “Orang yang tertuduh melakukan al-‘Ain hendaknya membasuh orang yang terkena al-‘Ain, pada bagian wajahnya, dua tangannya, dua sikunya, dua lututnya, dan kainnya yang sebelah dalam.” Al-Bājī berkata: “Dan ia tidak membasuh bagian di antara tangan dan siku.” Maksudnya bagian lengan tangan.

Diriwayatkan dari az-Zuhrī, ia berkata: “Basuhan yang kami dapati para ulama kita menggambarkannya adalah bahwa orang yang punya al-‘Ain tadi diberi seembar air. Lalu ia mengangkatnya lebih tinggi dari tanah, kemudian ia memasukkan telapak tangannya lalu berkumur-kumur dan menghembuskannya ke dalam ember. Setelah itu ia membasuh wajahnya di dalam ember dengan sekali siraman. Kemudian memasukkan tangan kirinya dan menyiram telapak tangan kanannya. Kemudian ia memasukkan tangan kanannya dan menyiram bagian belakang telapak tangan kirinya dengan sekali siraman bagian belakang telapak tangan kirinya dan menyiram bagian sikunya yang kanan. Kemudian ia memasukkan tangan kanannya dan menyiram bagian sikunya yang kiri. Kemudian ia memasukkan tangan kirinya dan menyiram tumitnya yang kanan sekali siram. Kemudian memasukkan tangan kanannya lalu menyiram tumitnya yang kiri. Kemudian ia memasukkan tangan kirinya lalu menyiram lututnya yang kanan. Kemudian ia memasukkan tangan kanannya lalu menyiram lututnya yang kiri. Semua itu dalam satu ember yang tadi. Kemudian ia memasukkan sebelah dalam kainnya ke dalam ember dan tidak meletakkan ember tersebut ke tanah, lalu menyiramkan airnya ke kepala yang terkena al-‘Ain dari arah belakang satu kali siram. Ada yang mengatakan menyiramnya pada saat dia lalai. Kemudian ember tersebut ditelungkupkan ke tanah dalam keadaan terbalik.

Adapun bagian dalam kainnya, yaitu bagian ujung yang memanjang, yang terbentang dari tempat masuknya sampai ke kulitnya, sehingga mengetatkannya dengan ujung yang memanjang dari dalam.”

Kesimpulan yang ditunjukkan hadits ini di antaranya kemarahan Rasūlullāh s.a.w. terhadap ‘Āmir bin Rabī‘ah dan perkataan beliau: “Kenapa seseorang dari kalian hendak membunuh saudaranya?” sehingga menunjukkan betapa buruknya perbuatan ini, dan itu dapat membunuh.

Di antara hal yang seyogyanya diperhatikan dari masing-masing kedua pihak.

Orang yang punya al-‘Ain hendaknya membaca tabārakallāhu ketika melihat sesuatu yang membuantnya kagum, supaya ia tidak mengenai seseorang dengan al-‘Ain-nya, dan supaya al-‘Ain-nya tidak mendahuluinya.

Demikian juga orang yang menduga seseorang punya al-‘Ain, hendaklah membaca takbir sebanyak tiga kali ketika ia takut terhadapnya, karena Allah akan menolak al-‘Ain dengan bacaan tersebut.

Mereka menyebutkan bahwa ḥasad juga punya obat seperti demikian. Maksudnya, orang yang punya penyakit ḥasad dapat mengobati dirinya supaya ia tenang dari beban berat ḥasad yang membara di dalam hatinya yang mengganggu hidupnya dan mengundang kesedihannya, yaitu secara umum, pada dua perkara (amal dan ilmu).

Maksud ilmu di sini adalah mengetahui dengan yakin bahwa nikmat yang ia lihat pada orang yang didengkinya merupakan anugerah dari Allah semata-mata dengan taqdir yang sudah ditetapkan sebelumnya, dan kedengkiannya terhadapnya atas nikmat tersebut tidak dapat mengubahnya sedikit pun. Ia juga harus mengetahui bahwa kemudharatan ḥasad akan kembali kepada orang yang ḥasad itu sendiri pada agamanya karena ketidakridhaannya terhadap taqdir dan ketentuan Allah pada hamba-hambaNya, karena dia dalam hasad-nya sama seperti orang yang menyanggah firman Allah: () “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. az-Zukhruf [43]: 32).

Juga pada kehidupannya di dunia karena ḥasad hanya akan mengakibatkan penyakit, kesedihan, kedukaan, dan kebencian orang-orang kepadanya. Selain itu juga masih ada lagi siksaan di akhirat kelak.

Adapun amal, yaitu perjuangan dirinya melawan kecenderungan-kecengerungan ḥasad, sebagaimana diisyaratkan sebelumnya pada pembahasan penyebab-penyebabnya. Jika dia melihat orang yang mendapatkan nikmat, lalu matanya meremehkannya, maka hendaklah ia berusaha menghargai dan membantunya.

Jika jiwanya menggodanya untuk menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain, hendaklah ia memalingkan hal tersebut kepada keinginan nikmat sepertinya untuk dirinya, dan karunia Allah itu sangat besar.

Jika perasaan dengki mendorongnya untuk menyakiti orang yang didengki, hendaklah ia berusaha berbuat baik kepadanya. Begitulah seterusnya sampai ia selamat dari kerasnya ḥasad, dan orang lain selamat dari kejahatannya, sebagaimana disebutkan dalam atsar: “Orang mu’min itu lapang dada (ghibthah), sedangkan orang munafik itu ḥasad.” (1936).

Kita memohon keselamatan dan perlindungan dari Allah.

 

Catatan:


  1. 188). Takhrīj-nya telah dijelaskan sebelumnya. 
  2. 189). Diriwayatkan dari Sahl bin Ḥunaif: Mālik dalam pembahasan tentang al-‘Ain (no. 1) dan Ibnu Mājah dalam pembahasan tentang pengobatan (no. 3509). 
  3. 190). HR. Al-Bukhārī dalam pembahasan tentang pengobatan (no. 5738). 
  4. 191). Takhrīj-nya telah dijelaskan sebelumnya. 
  5. 192). HR. Mālik dalam pembahasan tentang al-‘Ain (no. 2). 
  6. 193). Takhrīj-nya telah dijelaskan sebelumnya. 

Unduh Rujukan:

  • [download id="12824"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *