Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir asy-Syanqithi (2/3)

Dari Buku:
Tafsir Adhwa’-ul-Bayan
(Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Jilid 11, Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh asy-Syanqithi

Penerjemah: Ahmad Affandi, Zubaidah Abdurrauf, Kholid Hidayatulullah, Muhammad Yusuf.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir asy-Syanqithi

Firman Allah s.w.t.:

وَ مِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ

Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” (Qs. al-Falaq [113]: 4).

Maksudnya sudah pasti sihir, baik tiupan itu dari perempuan sebagaimana zhahir lafazhnya, dari laki-laki menurut makna jama‘ maupun dari jiwa-jiwa yang jahat, sehingga mencakup kedua jenis manusia.

Para mufassir sepakat bahwa ayat tersebut turun pada Lubaid bin al-A‘sham ketika ia menyihir Rasūlullāh s.a.w. Jibrīl a.s. mendatangi beliau dan memberitahukan hal tersebut.

Telah lewat penjelasan Syaikh r.h, tentang pembahasan sihir, pembagiannya, hukum-hukumnya, dan segala sesuatu yang terkait dengannya pada pembicaraan firman Allah s.w.t.: (وَ لَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى) “Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang.” (QS. Thāhā [20]: 69). Kecuali satu masalah, yaitu jika seseorang membunuh atau merusak sesuatu dengan sihirnya, maka hukumnya apa? Berikut ini kami jelaskan secara singkat.

 

Masalah:

Ibnu Qudamah dalam al-Mughnī menyebutkan jenis keenam dari jenis pembunuhan, yaitu pembunuhan dengan sihir yang biasanya dapat membunuh, maka si pelaku wajib di-qishash, dan jika sihirnya termasuk sihir yang biasanya tidak dapat membunuh, maka pelakunya dikenakan diyat.

An-Nawawī dalam al-Minhāju Syarḥu Mughn-il-Muhtājī menyebutkan bahwa si pelaku dibunuh seperti itu juga.

Ibnu Ḥajar dalam Fatḥ-ul-Bārī juga menyebutkan hal senada, bahwa tukang sihir harus dibunuh jika dia membunuh dengan sihirnya.

 

Peringatan

Efek sihir juga berpengaruh pada hewan, sebagaimana berpengaruh pada manusia.

Abū Ḥayyān berkata: “Telah memberitahukan, orang yang pernah melihat di padang pasir sebagian orang mengikatkan seutas benang merah di leher hewan-hewan yang disapih, hingga hewan-hewan tersebut tidak dapat menyusu pada induknya. Namun jika benang tersebut dilepaskan, hewan-hewan tersebut berlari seketika mendatangi ibunya, lalu menyusu.”

Dengki juga berpengaruh terhadap hewan, bahkan terhadap benda-benda mati. Maksudnya, pandangan mata yang dengki berpengaruh terhadap hewan, benda mati, dan tumbuh-tumbuhan, sebagaimana berpengaruh terhadap manusia.

 

Firman Allah s.w.t.:

وَ مِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ.

Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (Qs. al-Falaq [113]: 5).

Perpaduan ḥasad dengan sihir di sini mengisyaratkan adanya hubungan antara sihir dengan ḥasad, minimal pengaruh terpendam yang terjadi dari si penyihir dengan sihir dan dari orang yang ḥasad dengan ḥasad-nya disertai persamaan pada keumuman mudharatnya. Keduanya menimbulkan mudharat secara diam-diam, dan keduanya dilarang.

Syaikh r.h. telah menjelaskan jenis-jenis sihir dan hukum-hukumnya, serta membedakan pembicaraan yang lengkap tentangnya.

Dari penjelasan kami tadi jelaslah bahwa ḥasad memiliki semacam hubungan dengan sihir, maka harus ada penjelasan dan keterangan tentangnya kekadar kesanggupan.

 

Pertama: Definisinya.

Mereka berkata: “Ḥasad atau dengki adalah mengangan-angankan hilangnya nikmat dari orang lain atau tidak mendapatkan nikmat karena bakhil terhadapnya.”

Di sini memohon perlindungan dari kejahatan orang yang ḥasad dikaitkan dengan jika dia ḥasad, maksudnya ketika dia benar-benar sedang dengki, tapi tidak dikaitkan memohon perlindungan dari kejahatan tukang sihir ketika dia menyihir.

Itu karena meniup pada buhul-buhul adalah essensi sihir itu sendiri, maka mohon perlindungan tepat pada tempatnya ketika tukang sihir melancarkan sihirnya, dengan tiupan pada buhul-buhul itu.

Sedangkan orang yang ḥasad, tidak dimohon perlindungan darinya kecuali ketika ia benar-benar melakukan kedengkiannya. Yakni, ketika ia menuju orang yang didengkinya, karena sebelum ia menuju orang yang didengkinya, maka tidak mungkin terjadi kejahatan darinya, maka tidak ada alasan untuk memohon perlindungan darinya.

Hakikat ḥasad, sulit didefinisikan secara logika.

Telah lewat pembicaraan Syaikh r.h. tentang sihir: “Tidak mungkin mendefinisikannya karena kesamarannya.”

Ḥasad memang sangat samar (terpendam), karena itu perbuatan jiwa dan pengaruh hati.

Ada yang berkata: “Ḥasad itu seperti nyala api yang tidak terlihat, pindah dari hati orang yang ḥasad kepada yang didengki ketika hatinya terbakar kepada yang didengki.”

Ḥasad-nya orang yang ḥasad diserupakan dengan api dalam ucapan mereka:

اِصْبِرْ عَلَى مَضَضِ الْحُسُوْدِ فَإِنَّ صَبْرَكَ قَاتِلُهُ
كَالنَّارِ تَأْكُلُ بَعْضَهَا إِنْ لَمْ تَجِدْ مَا تَأْكُلُهُ.

Sabarlah menghadapi perihnya kedengkian karena kesabaranmu akan membunuhnya.”

“Laksana api memakan sesamanya ketika ia tidak mendapati apa yang bisa dimakannya.

Sebagian ahli filsafat mengingkari terjadinya ḥasad karena ia tidak dapat disaksikan. Mereka memang terdinding dari setiap yang ada yang tidak dapat disaksikan, seperti jiwa, roh, dan akal. Padahal, saat ini manusia telah dapat menyaksikan sinar X, yaitu sinar yang tidak terlihat, akan tetapi dapat menembus ke dalam tubuh manusia dan hewan, bahkan kayu dan sejenisnya. Tidak ada yang dapat menghalanginya kecuali unsur timah karena ketebalan elemennya. Sinar X dapat menggambarkan bagian dalam tubuh manusia dari tulang, usus, dan lain-lainnya. Oleh karena itu, tidak ada maknanya menolak sesuatu karena alasan tidak melihatnya.

 

Peringatan

Ḥasad di sini disebutkan secara mutlak dan tidak dijelaskan apa yang didengki, padahal ḥasad adalah menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain.

Al-Qur’ān telah mengingatkan tentang nikmat terbesar yang membuat Rasūlullāh s.a.w. dan kaum muslimin didengki, yaitu nikmat Islam, nikmat wahyu, dan perolehan harta-harta ghanīmah.

Ahli Kitāb mendengki kaum Muslim karena Islam: (وَدَّ كَثِيْرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ بَرُدُّوْكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ.) “Sebagian besar Ahli Kitāb menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 109).

Orang-orang musyrik mendengki Rasūlullāh s.a.w. karena nikmat wahyu kepadanya: (أَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ.) “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muḥammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?” (QS. an-Nisā’ [4]: 54).

Kata (النَّاس) “manusia” di sini adalah umum dengan maksud khusus, yaitu Nabi s.a.w.

(الَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ) “(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasūl) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 173).

Kata (النَّاس) yang pertama adalah umum dengan maksud khusus seorang lelaki, yaitu Nu‘aim bin Mas‘ūd al-Asyja‘ī.

Nash yang menyebutkan kedengkian terhadap nikmat yang dinanti di antaranya:

سَيَقُوْلُ الْمُخَلَّفُوْنَ إِذَا انْطَلَقْتُمْ إِلَى مَغَانِمَ لِتَأْخُذُوْهَا ذَرُوْنَا نَتَّبِعْكُمْ يُرِيْدُوْنَ أَنْ يُبَدِّلُوْا كَلَامَ اللهِ قُلْ لَّنْ تَتَّبِعُوْنَا كَذلِكُمْ قَالَ اللهُ مِنْ قَبْلُ فَسَيَقُوْلُوْنَ بَلْ تَحْسُدُوْنَنَا بَلْ كَانُوْا لَا يَفْقَهُوْنَ إِلَّا قَلِيْلًا

Orang-orang Badui yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan: “Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kamu”. Mereka hendak merubah janji Allah. Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya”. Mereka akan mengatakan: “Sebenarnya kamu dengki kepada kami”. Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.” (QS. al-Fatḥ [48]: 15).

Jadi, jelaslah dengan nash al-Qur’ān bahwa ḥasad dapat terjadi pada nikmat yang ada dan dapat terjadi pada nikmat yang dinanti-nanti adanya.

 

Peringatan Lain

Selain ḥasad (dengki), ada pula al-‘ain (jenis sihir), dan saya tidak menemukan orang yang membedakan antara keduanya, padahal ada perbedaan.

Dalam hadits shaḥīḥ disebutkan (إِنَّ الْعَيْنَ لَحَقٌّ) “Sesungguhnya al-‘Ain itu benar (adanya).” (1831).

Dalam as-Sunan disebutkan: (لَوْ أَنَّ شَيْئًا يَسْبِقُ الْقَدَرَ لَسَبَقَتْهُ الْعَيْنُ.) “Sekiranya sesuatu dapat mendahului taqdir, tentu al-‘Ain dapat mendahuluinya (taqdir).” (1841).

Dikatakan pada ḥasad (حَاسِد), dan pada al-‘Ain (عَائِن). Keduanya sama pada efeknya, namun berbeda pada media dan landasannya.

Orang yang ḥasad terkadang mendengki apa yang belum dia lihat dan mendengki perkara yang diduga terjadi sebelum terjadinya. Penyebabnya adalah terbakarnya hati dan banyaknya nikmat atas yang didengki, serta menginginkan hilangnya nikmat tersebut darinya atau tidak mendapatkannya, sementara dia sangat rendah jiwanya,

Sedangkan orang yang punya al-‘Ain tidak melepaskan pandangannya kecuali pada apa yang terlihatnya dan benar-benar ada. Penyebabnya adalah membekasnya pandangan mata. Terkadang dia melepaskan pandangannya kepada yang tidak dia sukai dan yang tidak disukainya itu akan merasakan gangguan atau penderitaan karenanya, seperti pada anaknya dan hartanya.

Terkadang al-‘Ain juga disebut ḥasad, dan ḥasad terkadang dimutlakkan dan disebut ghibthah, yaitu menginginkan nikmat yang terlihat olehnya pada orang lain tanpa menginginkan hilangnya dari mereka.

Berdasarkan itulah hadits:

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْخَيْرِ، وَ رَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِيْ بِهَا بَيْنَ النَّاسِ.

Tidak boleh ḥasad kecuali pada dua hal: seseorang yang Allah beri harta lalu ia menghabiskannya dalam kebaikan, dan seseorang yang Allah beri hikmah lalu ia memutuskan hukum dengannya di antara manusia.” (1852).

Al-Qurthubī (1863) berkata: Diriwayatkan secara marfū‘: “Orang mu’min itu lapang dada (ghibthah), sedangkan orang munafik ḥasad.”

Dia juga berkata: “Ḥasad adalah dosa pertama memaksiati Allah di langit dan dosa pertama memaksiati Allah di bumi, yang ḥasad-nya iblis terhadap Ādam dan ḥasad-nya Qabil terhadap Habil.”

 

Peringatan:

Saya pernah mendengar Syaikh r.h. berkata: “Sesungguhnya kemaksiatan pertama yang terjadi adalah ḥasad, dan kesialannya menjangkiti kepada selainnya. Hal tersebut manakala iblis dengki terhadap Ādam atas apa yang Allah berikan kepadanya berupa kemuliaan penciptaannya dengan tangan-Nya dan perintah kepada para malaikat untuk sujud terhadapnya. Lalu kedengkian mendorong iblis untuk sombong, dan kesombongan menghalanginya untuk melaksanakan perintah sujud, maka akibatnya adalah terusirnya iblis dari surga.”

 

Penyebab Ḥasad:

Dengan merenungkan kisah tersebut, jelaslah bahwa yang mendorong ḥasad pada dasarnya adalah dua perkara:

Pertama: Menganggap rendah orang yang didengki.

Kedua: Kekaguman orang yang dengki terhadap dirinya, sebagaimana kata iblis mengajukan alasan keengganannya untuk sujud: (أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ) “Saya lebih baik daripadanya (Ādam).” (QS. al-A‘rāf [7]: 12).

Allah lalu merinci makna kebaikan anggapan tersebut: (خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَارٍ وَ خَلَقْتَهُ مِنْ طِيْنٍ.) “Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. al-A‘rāf [7]: 12).

Juga mengaitkan hal tersebut dengan seluruh penyebab.

Para ulama juga menyebutkan di antaranya sikap tinggi hati dan tidak ingin siapa pun melebihinya, kagum pada diri sendiri (‘ujub), dan tidak melihat seseorang lebih utama darinya, merasa takut orang lain tidak lagi membutuhkannya, dan cenderung ingin mengemuka (memimpin) orang lain yang tidak ingin berada di bawah kepemimpinannya, dalam bidang apa pun.

Ar-Rāzī menyebutkannya dengan mengutip dari al-Ghazālī.

Dari sini kita tidak melihat seorang pun yang kagum terhadap dirinya sendiri (‘ujub) melainkan dia akan merendahkan orang lain dan dengki terhadap mereka atas sedikit nikmat pun yang Allah berikan kepada mereka. Semoga Allah menyelamatkan kita dari hal tersebut.

 

Peringatan

Jika kemaksiatan pertama yang terjadi adalah kedengkian iblis terhadap Ādam atas nikmat yang Allah berikan kepadanya, dan kedengkian orang-orang musyrik terhadap Rasūlullāh s.a.w. atas nikmat wahyu, serta kedengkian kaum Ahli Kitāb terhadap kaum Muslim atas nikmat Islam, sementara surah ini datang di belakang al-Qur’ān untuk mengingatkan kaum Muslim tentang besarnya nikmat Allah atas mereka dan betapa didengkinya mereka atas nikmat tersebut, supaya mereka mewaspadai musuh-musuh mereka yang menipu daya mereka dalam agama mereka, baik dari kalangan jin maupun manusia.

 

Masalah

Hukum Orang yang Membunuh, Mematahkan, atau Merusak Sesuatu dengan al-‘Ain.

Telah lewat penjelasan hal tersebut terkait dengan sihir. Adapun terkait dengan al-‘Ain, Ibnu Ḥajar dalam Fatḥ-ul-Bārī, bab at-Thibb, berkata: “Terdapat perbedaan pendapat tentang pemberlakuan qishash terhadap pelaku al-‘Ain. Al-Qurthubī berkata: “Jika seseorang merusak sesuatu dengan al-‘Ain, dia harus membayar ganti ruginya. Jika ia membunuh, ia wajib di-qishash, atau membayar diyat jika hal tersebut berulangkali terjadi darinya dan sekiranya telah menjadi tradisi, dan dia dalam hal tersebut seperti tukang sihir menurut pendapat orang yang mengatakan tidak wajib meng-qishash-nya karena kafir”.”

Para ulama madzhab asy-Syāfi‘ī tidak menyinggung qishash dalam hal tersebut, bahkan mereka melarangnya. Mereka berkata: “al-‘Ain biasanya tidak dapat membunuh, dan tidak dapat dianggap membinasakan.”

An-Nawawī berkata dalam ar-Raudhah: “Tidak ada diyat dan kifārat padanya, karena hukum hanya berlaku menurut kaidah umum tanpa mengkhususkan sebagian orang pada sebagian keadaan dari yang tidak ada aturannya. Bagaimana hal itu bisa diberlakukan sementara pada dasarnya tidak terjadi darinya satu perbuatan pun, melainkan tujuannya hanya ḥasad dan menginginkan hilangnya suatu nikmat.”

Lagipula, yang timbul dari terkena al-‘Ain adalah terjadinya hal yang tidak baik pada orang tersebut, dan hal yang tidak baik itu tidak mesti menghilangkan nyawa, melainkan hal yang lebih ringan daripada kematian sebagai akibat dari pengaruh al-‘Ain.

Namun tidak ada yang mengeruhkan hal tersebut kecuali hukuman mati bagi penyihir, karena ia semakna dengannya, dan sulit membedakan di antara keduanya.

Ibnu Baththal mengutip dari sebagian ulama, bahwa seyogianya Imam (pemimpin) melarang orang yang punya al-‘Ain – jika dia terkenal demikian – bergaul dengan orang-orang, dan memaksanya untuk tetap berdiam di rumahnya. Jika dia miskin, Imam mencukupi kebutuhannya, karena kemudharatannya lebih parah daripada kemudharatan orang yang berpenyakit kusta yang pernah dilarang ‘Umar r.a. untuk bergaul dengan orang-orang, dan lebih parah dari kemudharatan bawang putih yang dilarang syari‘ orang yang memakannya untuk menghadiri perkumpulan.

An-Nawawī berkata: “Pendapat ini shaḥīḥ dan pasti, Tidak diketahui ada penjelasan berbeda dari selainnya.” Dari Fatḥ-ul-Bārī.

Dengan mengamati ucapan al-Qurthubī dan an-Nawawī secara mendalam, maka pada dasarnya tidak terdapat perbedaan di antara keduanya, sebab al-Qurthubī mengaitkan perkataannya dengan syarat berulangkali terjadi darinya dengan sekira-kira menjadi kebiasaan baginya.”

An-Nawawī berkata: “al-‘Ain biasanya tidak dapat membunuh.” Berdasarkan itu, jika terbukti bahwa al-‘Ain biasanya dapat membunuh dan hal tersebut berulangkali terjadi darinya, maka itu sama persis dengan perkataan al-Qurthubī, bahwa orang yang merusak sesuatu dengan al-‘Ain-nya, sementara hal tersebut biasa terjadi darinya, maka ia wajib membayar ganti rugi, dan ini makna yang masuk akal.

Menurut para ulama madzhab Ḥanbalī dalam Kasysyāf-ul-Qinā’”, (المعيان) adalah orang yang membunuh dengan al-‘Ain-nya.”

Ibnu Nashrullāh berkata dalam Ḥaswasy-ul-Furū‘: “Selayaknya ia digabungkan dengan penyihir yang biasa membunuh dengan sihirnya. Jika al-‘Ain-nya dapat membunuh, dan ia melakukannya dengan sadar, maka ia wajib di-qishash.”

 

Catatan:


  1. 184). Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās: Muslim dalam pembahasan tentang salam (hadits 42) dan at-Tirmidzī dalam pembahasan tentang pengobatan (no. 2062). Diriwayatkan dari Asmā’ binti ‘Umais: at-Tirmidzī dalam pembahasan tentang pengobatan (no. 2059) dan Ibnu Mājah dalam pembahasan tentang pengobatan (no. 3510). 
  2. 185). Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd: al-Bukhārī dalam pembahasan tentang ilmu (no. 73) dan Muslim dalam pembahasan tentang shalat musafir (no. 268). 
  3. 186). Al-Jāmi‘u li Aḥkām-il-Qur’ān (20/259). 

Unduh Rujukan:

  • [download id="12824"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *