Hati Senang

Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir asy-Syanqithi (1/3)

Dari Buku:
Tafsir Adhwa’-ul-Bayan
(Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Jilid 11, Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh asy-Syanqithi

Penerjemah: Ahmad Affandi, Zubaidah Abdurrauf, Kholid Hidayatulullah, Muhammad Yusuf.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

سُوْرَةُ الْفَلَقِ

AL-FALAQ (Waktu Subuh)

Surah ke 113: 5 ayat.

 

Ada yang mengatakan manakala Allah s.w.t. menjelaskan kemurnian tauhid pada surah al-Ikhlāsh, yaitu pertempuran antara keimanan dan kemusyrikan, tidik perselisihan dan permusuhan antara Nabi s.a.w. dengan musuh-musuhnya, Allah memerintahkan beliau berlindung dari kejahatan makhluk supaya mereka tidak dapat membahayakannya.

 

Firman Allah s.w.t.:

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai Subuh.” (Qs. al-Falaq [113]: 1).

Abū Ḥayyān dan yang lain berkata: (الْفَلَقِ) adalah fi‘il dengan makna maf‘ūl. Artinya (مَفْلُوْق) “yang diterbitkan”. Terdapat perbedaan pendapat tentang maksudnya.”

Ada yang berpendapat: “Maksudnya adalah Subuh yang terlepas malam darinya.”

Ada yang berpendapat: “Maksudnya adalah butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan.”

Ada yang berpendapat: “(الْفَلَقِ) adalah sebuah sumur di dalam Neraka Jahannam.”

Sebagian mufassir berkata: “Maksudnya adalah, setiap yang ditanggalkan Allah dari yang lainnya, seperti malam dari Subuh, butir dan biji-bijian dari tumbuh-tumbuhan, tanah dari perpohonan, gunung-gunung dari tanah basah, rahim dari anak bayi, dan awan dari hujan.”

Ibnu Jarīr berkata: “Allah menyatakannya secara mutlak dan tidak mengaitkannya, maka mutlakkanlah seperti demikian sebagaimana dia memutlakkannya.”

Seluruh pendapat, kecuali pendapat yang mengatakan bahwa maksudnya adalah sebuah sumur di dalam Neraka Jahannam, termasuk kategori keragaman perbedaan pendapat, dan seluruhnya mengandung kemungkinan.

Ibnu Jarīr berkata: “Secara mutlak.”

Pendapat yang mengatakan bahwa maksudnya adalah sebuah sumur di dalam Neraka Jahannam, tidak termaktub satu nash pun mengenainya dan tidak ada kesaksian apa pung yang dapat dijadikan pegangan tentangnya untuk menunjukkan kekuasaan Allah, sebagaimana yang terdapat pada makna-makna lain yang dapat disaksikan.

Pendapat yang didukung oleh al-Qur’ān adalah pendapat yang pertama, sebagaimana datang nash yang jelas tentang Subuh, bulir tetumbuhan dan biji-bijian:

إِنَّ اللهَ فَالِقُ الْحَبِّ وَ النَّوَى يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَ مُخْرِجُ الْمَيِّتِ مِنَ الْحَيِّ ذلِكُمُ اللهُ فَأَنَّى تُؤْفَكُوْنَ. فَالِقُ الْإِصْبَاحِ وَ جَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَ الشَّمْسَ وَ الْقَمَرَ حُسْبَانًا ذلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ.

Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari hidup. (yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling? Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-An‘ām [6]: 95-96).

Seluruhnya adalah tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan Allah.

Juga dalam hadits ‘Ā’isyah r.a. tentang permulaan wahyu, disebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. saat itu tidak bermimpi satu mimpi pun kecuali datangnya seperti cahaya Subuh.

Lafazh (الْفَلَق) dengan makna Subuh cukup populer dalam ungkapan ‘Arab.

Berdasarkan ucapan penyair:

يَا لَيْلَةُ لَمْ أَنَمْهَا بِتُّ مُرْتَقِبًا أَرْعَى النَّجُوْمَ إِلَى أَنْ قَدَرَ الْفَلَق.

Huh, semalaman aku tidak tidur, mengamati bintang-bintang, sampai tiba Subuh.”

Ada ucapan penyair lain yang sama sepertinya, hanya saja disebutkan (إِلَى أَنْ نَوَّرَ الْفَلَق) sebagai ganti (قَدَرَ الْفَلَق).

Sebenarnya ayat tersebut ada dalam konteks kekuatan sumpah dengan Tuhan Pemilik alam semesta yang sebagiannya menggantikan sebagian yang lain.

 

Firman Allah s.w.t.:

مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

Dari kejahatan makhluk-Nya.” (Qs. al-Falaq [113]: 2).

Ini adalah umum, dan ia tetap atas keumumannya, sehingga al-Ḥasan berkata: “Iblis dan Neraka Jahannam juga termasuk makhluk-Nya.”

Mengenai ayat ini, kaum Mu‘tazilah memiliki pendapat seputar penciptaan perbuatan-perbuatan hamba, dan Allah tidak menciptakan keburukan atau kejahatan. Mereka berkata: “Bagaimana Dia menciptakan keburukan atau kejahatan dan mentaqdirkannya, kemudian Dia menyuruh berlindung kepada-Nya dari apa yang Dia ciptakan dan Dia taqdirkan itu?”

Saya jawab dari sudut pandang Ahl-us-Sunnah: Tidak ada yang menghalangi dari hal tersebut, sebagaimana dalam sabda Rasūlullāh s.a.w.: (أَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ) “Dan aku belindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu.” (1801). Allah s.w.t. juga berfirman: (اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ) “Allah adalah pencipta segala sesuatu.” (QS. ar-Ra‘d [13]: 16).

Syaikh r.h. telah mendiskusikan masalah ini dalam perdebatan antara al-Asfarayainī dengan al-Jubā’ī tentang taqdir.

Makhluk tidak layak muncul dari sesuatu pun kecuali dengan kehendak Allah: (وَ مَا تَشَاءُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ) “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah.” (QS. at-Takwīr [81]: 29).

 

Firman Allah s.w.t.:

وَ مِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ

Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap-gulita.” (Qs. al-Falaq [113]: 2).

Mengenai kata (الْغَاسِق), ada yang berpendapat artinya malam, berdasarkan firman Allah s.w.t.: (أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ الَّيْلِ) “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.” (QS. al-Isrā’ [17]: 78).

Kata (وَقَبَ) artinya masuk.

Berdasarkan itulah ucapan penyair:

إِنَّ هذَا اللَّيْلَ قَدْ غَسَقَا وَ اشْتَكَيْتُ الْهَمَّ وَ الْأَرَقَا

Malam ini telah tenggelam gelap-gulita dan aku pun mengeluh sedih dan berjaga.”

Ucapan penyair lain:

يَا طَيْفَ هِنْد قَدْ أَبْقَيْتَ لِيْ أَرَقَا إِذْ جِئْتَ طَارِقًا وَ اللَّيْلُ قَدْ غَسَقَا

Hai pengkhayal Hindun, kau telah membuat kami terjaga ketika kau datang mengetuk pintu, padahal malam telah gelap-gulita.”

Al-Qurthubī berkata: “Ini pendapat Ibnu ‘Abbās, adh-Dhaḥḥāk, Qatādah, as-Suddī, dan lain-lain.”

Ada yang berpendapat: (الْغَاسِق) maknanya adalah, bulan jika telah berada di penghujung bulan, berdasarkan hadits ‘Ā’isyah dalam riwayat at-Tirmidzī yang menyatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepadanya: “Berlindunglah dari kejahatan ini, karena ia adalah “al-ghāsiq” jika telah masuk.” (1812) Maksudnya adalah bulan.”

Orang yang berpendapat demikian mengatakan bahwa ini lebih sesuai karena kejahatan sihir biasanya datang sesudahnya, dan itu kebanyakan terjadi menurut mereka pada akhir bulan.

Al-Qurthubī mengutip dari Tsa‘lab, dari Ibn-ul-A‘rabī, bahwa orang yang ragu selalu menanti waktu tenggelamnya bulan.

Ia juga melantunkan ucapan penyair:

أَرَاحَنِي اللهُ مِنْ أَشْيَاءِ أَكْرَهُهَا مِنْهَا الْعَجُوْزُ وَ مِنْهَا الْكَلْبُ وَ الْقَمَرُ
هذَا يَبُوْحُ وَ هذَا يُسْتَضَاءُ بِهِ وَ هذِهِ ضَمْرَزَ قَوَامَة السَّر.

Semoga Allah menenangkanku dari hal-hal yang tak aku suka.

Di antaranya perempuan tua, anjing dan bulan.”

“Yang ini menggonggong, yang itu ditunggu-tunggu sinarnya.

Sedangkan yang ini perempuan kasar si tukang sihir.”

Kata (الضمرز) adalah unta betina yang tua, dan perempuan yang kasar.

Namun pendapat yang benar adalah pendapat yang pertama, yaitu malam, berdasarkan kesaksian al-Qur’ān.

Sedangkan pendapat yang kedua mengikutinya, karena bulan pada saat muncul dan tenggelamnya terkait dengan malam. Ia menjadi bagian dari malam, dan pada malam hari, Syaithan-syaithan serta para perusak dari kalangan manusia dan hewan bertebaran, dan sedikit yang menolong saat itu, kecuali Allah.

Dalam hadits dikatakan: “Padamkanlah lampu, sebab tikus betebaran di rumah-rumah orang pada malam hari.” (1823).

 

Catatan:


  1. 180). Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah: Muslim dalam pembahasan tentang shalat (no. 222). 
  2. 181). HR. At-Tirmidzī dalam Tafsīr al-Qur’ān (no. 3366). 
  3. 182). Diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdullāh: Muslim dalam pembahasan tentang minuman (no. 96). 
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.