Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir al-Wasith

Dari Buku:

Tafsīr al-Wasīth
(Jilid 3, al-Qashash – an-Nās)
Oleh: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili

Penerjemah: muhtadi, dkk.
Penerbit: GEMA INSANI

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

SŪRAT-UL-FALAQ

BERLINDUNG DARI KEBURUKAN MAKHLUK

Allah s.w.t. adalah tempat makhluk berlindung. Dialah yang mencegah kejahatan dan keburukan, melindungi dari segala gangguan dan memberi keselamatan bagi semua yang mendapat ujian bila Ia berkehendaki. Allah s.w.t. mengajari kita tentang bagaimana cara berlindung kepada-Nya di berbagai krisis yang sulit ditangani, berlindung dari penyesatan jinn dan syaithan yang durhaka seperti yang disebutkan dalam surah al-Falaq, surah Makkiyyah menurut salah satu pendapat, namun yang benar adalah surah Madaniyyah, sebab Yahudi menyihir Nabi s.a.w. di Madīnah. Seperti itu juga surah an-Nās, surah Madaniyyah menurut pendapat yang kuat. Setelah menjelaskan masalah ketuhanan dalam surah sebelumnya, surah al-Ikhlāsh, dalam surah ini Allah s.w.t. menjelaskan apa saja yang perlu dimintakan perlindungannya kepada Allah s.w.t., seperti keburukan yang terdapat pada tingkatan-tingkatan alam dan tingkatan-tingkatan seluruh makhluk Allah s.w.t.

Surah al-Falaq dan surah setelahnya, an-Nās turun secara bersamaan seperti yang dijelaskan dalam Dalā’il-un-Nubuwwah karya Baihaqī. Karena itulah kedua surah ini disandingkan dengan permohonan perlindungan setelah basmalah dan dimulai dengan kalimat yang sama: “Katakanlah: “Aku berlindung”.” Muḥammad, Tirmidzī, Nasā’ī dan lainnya meriwayatkan, Nabi s.a.w. bersabda:

أُنْزِلَتْ عَلَيَّ اللَّيْلَةَ آيَاتٌ لَمْ أَرَ مِثْلِهُنَّ قَطُّ، قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، وَ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ.

Tadi malam beberapa ayat diturunkan padaku, menurutku tidak (ada ayat-ayat) sepertinya sama sekali: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai Shubuḥ (Fajar),” dan: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia.” Berikut surah al-Falaq:

 

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. وَ مِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ. وَ مِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ. وَ مِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ.

113: 1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai Shubuḥ (Fajar),
113: 2. dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan,
113-3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
113-4. dan dari kejahatan (perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya),
113-5. dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”.

(al-Falaq: 1-5)

 

Ayat ini turun-berdasarkan riwayat yang disebutkan dalam shaḥīḥain dari ‘Ā’isyah r.a. – berkenaan tentang kisah Labīd bin A‘shamm, orang Yuhadi yang menyihir Nabi s.a.w. Nafatsat adalah putri-putri Labīd, mereka adalah wanita-wanita penyihir. Mereka menyihir Nabi s.a.w., mereka membuat sebelas ikatan untuk Nabi s.a.w. lalu Allah s.w.t. menurunkan sebelas ayat sama seperti jumlah ikatan yang mereka buat, sebelas ayat tersebut adalah mu‘awwidzatain (surah al-Falaq dan an-Nās), lalu Nabi s.a.w. sembuh.

Nafats, menurut salah satu pendapat adalah semacam tiupan tanpa semburan. Namun menurut pendapat yang kuat adalah tiupan disertai semburan. Nafats ini adalah semburan yang ditiupkan pada tali-tali dan semacamnya terhadap nama korban yang disihir, lalu korban tersakiti karenanya.

Kisah sihir, Labīd bin A‘shamm, orang Yahudi menyihir Nabi s.a.w. – hanya saja sihirnya tidak mengenai Nabi s.a.w., Nabi s.a.w. terhindar dari sihirnya – dengan menggunakan seludang mayang kurma untuk merontokkan rambut-rambut Nabi s.a.w., jari-jari sisir dan senar yang diikatkan sebanyak sebelas ikatan yang ditusuk dengan jarum, lalu mu‘awwidzatain (surah al-Falaq dan an-Nās), turun kepada beliau. Setiap kali beliau s.a.w. membaca satu ayat, terburai satu ikatan dan badan beliau lebih giat hingga ikatan akhir terburai, beliau pun bangun, beliau seolah-olah terlepas dari ikatan. Jibrīl meruqyah Rasūlullāh s.a.w., Jibrīl mengucapkan: “Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari keburukan pendengki dan ‘ain. Allah menyembuhkanmu.

Sebagian ulama kontemporer mengingkari kisah ini dan menilainya sebagai kisah dusta Yahudi agar orang-orang meragukan Nabi s.a.w. dan melayangkan tuduhan sihir pada beliau, karena Allah s.w.t. berfirman tentang rasūl-Nya: “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (al-Mā’idah: 67). Allah s.w.t. berfirman: “Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu).” (al-Ḥijr: 95).

Makna: Wahai Nabi, katakanlah: “Aku berlindung kepada Allah s.w.t., memohon perlindungan kepada Rabb yang menguasai Shubuḥ, karena malam berasal darinya, aku berlindung kepada Rabb dari segala keburukan yang berasal dari ciptaan Allah s.w.t. Aku berlindung kepada Allah s.w.t. Pencipta semua yang ada dari keburukan apa pun yang diciptakan Allah s.w.t. dari seluruh makhluk-makhlukNya.” Ini mengisyaratkan bahwa Rabb yang kuasa untuk menghilangkan kegelapan di muka bumi juga kuasa untuk menangkal gelapnya kejahatan, kerusakan, kedengkian, sihir, ‘ain dan lainnya dari manusia.

Tirmidzī – di-ḥasan-kan – dan Baihaqī meriwayatkan dari Abū Sa‘īd al-Khudrī r.a., ia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. berlindung dari mata jinn dan mata manusia, kemudian saat turun mu‘awwidzatain (surah al-Falaq dan an-Nās), beliau mengamalkan keduanya dan tidak meninggalkan yang lain.

Mālik meriwayatkan dalam al-Muwaththa’ dari ‘Ā’isyah r.a.: “Saat sakit Rasūlullāh s.a.w. membacakan mu‘awwidzatain untuk diri berliau dan meniupnya. Saat sakitnya keras, aku yang membacakannya dan mengusapkan dengan kedua tangannya seraya mengharap berkah keduanya.

Setelah menyebutkan perlindungan dari seluruh makhluk, Allah s.w.t. secara khusus menyebut tiga hal karena ketiganya merupakan kejahatan terbesar, yaitu sebagai berikut:

Aku berlindung kepada Allah s.w.t. dari kejahatan malam saat menjelang, saat kegelapannya menerpa segala sesuatu dan menutupi, karena di malam hari terdapat berbagai hal menakutkan dan berbahaya seperti binatang buas, orang-orang fasik dan rusak.

Aku berlindung kepada Allah s.w.t. dari kejahatan jiwa atau wanita-wantia penyihir, karena mereka meniup ikatan-ikatan tali saat menyihir. Nafatsat adalah sifat jiwa, baik lelaki maupun perempuan. Nafts adalah meniup dengan disertai semburan seperti yang dijelaskan Zamakhsyarī. Pendapat lain menyatakan, nafts mirip tiupan namun tanpa semburan, bila disertai semburan disebut tafal. Pendapat pertama lebih kuat.

Aku berlindung kepada Allah s.w.t. dari kejahatan segala sesuatu yang memiliki kejahatan, dari kejahatan pendengki saat mendengki. Ḥāsid adalah orang yang mengharapkan agar nikmat yang diberikan Allah s.w.t. kepada orang yang ia dengki lenyap.

Qatādah menjelaskan, dari keburukan mata dan jiwanya. Maksudnya usaha keji dan gungguan yang ia bisa, karena ia adalah musuh serius yang menguji.

Surah ini adalah ruqyah manjur yang berguna bagi setiap orang untuk menjaga diri dari berbagai kejahatan dan keburukan, melepaskan diri dari kedengkian, sihir, ‘ain dan lainnya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *