AYAT 2
“Dari kejahatan yang diciptakan.”
Setelah ayat yang lalu mengajarkan agar memohon perlindungan kepada Allah Pembelah (Pencipta segala sesuatu termasuk pagi yang kuasa membelah kegelapan malam), ayat di atas menjelaskan tujuan permohonan perlindungan itu, yakni dari kejahatan semua makhluk yang diciptakan-Nya.
Kata (شَرّ) syarr pada mulanya bearti buruk dan atau mudharat. Ia adalah lawan dari (خَيْر) khair/baik. Ibn-ul-Qayyīm dalam tafsirnya mengemukakan bahwa asy-syarr mencakup dua hal, yaitu sakit (pedih) dan yang mengantar kepada sakit (pedih). Penyakit, kebakaran, tenggelam adalah sakit (pedih). sedang kekufuran, maksiat, dan sebagainya mengantar kepada sakit atau kepedihan siksa Ilahi. Nah, kedua hal itulah yang dinamai syarr. Selanjutnya, ulama tersebut mengemukakan bahwa syarr yang dimohon kepada Allah untuk menghindarkannya dua macam pula, yaitu yang telah wujud secara aktual sehingga benar-benar telah dialami oleh si pemohon dan yang berpotensi untuk wujud walaupun belum dialami oleh si pemohon.
Ayat di atas mengandung permohonan untuk mendapat perlindungan dari keburukan makhluk ciptaan Allah, baik itu datang dari diri si pemohon sendiri maupun dari makhluk selainnya. Memang, keburukan atau mudharat dapat terjadi akibat ulah manusia sendiri dan juga akibat ulah pihak lain. Salah satu doa Nabi s.a.w. menyatakan: “Ya Allah, kami memohon perlindungan-Mu dari keburukan diri kami dan kejelekan perbuatan kami.” Doa ini menggabungkan kedua macam keburukan. Pertama keburukan diri karena setiap manusia berpotensi untuk melakukan keburukan dan kedua keburukan perbuatan, yakni permohonan untuk tidak mendapat siksa akibat perbuatan itu melalui pengampunan Ilahi. Ini yang berkaitan dengan diri si pemohon. Ayat di atas mencakup juga permohonan perlindungan dari kejahatan yang dapat menimpa si pemohon akibat perbuatan makhluk lain.
Dengan pemahaman seperti ini, tidak ada lagi tempatnya pendapat-pendapat yang membatasi makna (مَا خَلَقَ) mā khalaq dengan makhluk tertentu, seperti iblis atau syaithan atau binatang tertentu. Yang dimohonkan adalah segala sesuatu yang mengakibatkan syarr atau berpotensi untuk mengakibatkannya.
Kata (مَا) mā berarti apa, sedang (خَلَقَ) khalaq adalah bentuk kata kerja masa lampau (mādhī) dalam arti yang telah diciptakan. Jika demikian, (مَا خَلَقَ) mā khalaq berarti makhluk ciptaan-Nya.
Di sini, perlu digarisbawahi pengamatan sementara ulama tafsir yang menguraikan bahwa syarr (keburukan dan mudharat) tidak dinisbahkan kepada Allah Sang Pencipta, tetapi kepada makhluk. Memang, al-Qur’ān selalu menisbahkan kepada Allah sifat dan perbuatan-perbuatan baik dan sempurna dan tidak pernah menyandarkan keburukan atau kekurangan kepada-Nya.
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa Dia memiliki sifat-sifat terpuji. Kalau seseorang yakin akan kesempurnaan Allah dan segala yang dilakukan-Nya adalah baik dan terpuji, pastilah ia percaya bahwa tidak sedikit keburukan atau kejahatan pun yang bersumber daripada-Nya. Perhatikan ucapan Nabi Ibrāhīm a.s. yang diabadikan al-Qur’ān:
وَ إِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ.
“Apabila aku sakit maka Dia yang menyembuhkanku” (QS. asy-Syu‘arā’ [26]: 80).
Karena penyakit adalah sesuatu yang buruk, Nabi Ibrāhīm a.s., sebagaimana direkam ayat di atas, tidak menyatakan “Apabila aku diberi penyakit oleh Tuhan.” Namun demikian, kesembuhan disandarkannya kepada Allah karena ia merupakan sesuatu yang terpuji. Baca juga QS. al-Kahf [18]: 79-82 yang merekam ucapan hamba Allah yang menyertai Nabi Mūsā a.s. (471).
Demikian prinsip dasar akhlak al-Qur’ān terhadap Allah, dan ini pula yang dapat dipahami dari pemilihan kata mā khalaq. Dari sisi lain, anda dapat bertanya: “mengapa ada kejahatan, mengapa ada penyakit dan kemiskinan, bahkan mengapa Tuhan menganugerahkan si A aneka ragam kenikmatan dan menjadikan si B tenggelam dalam bencana?”
Tidak mudah memahami apalagi menjelaskan persoalan ini jika dikaitkan dengan Keadilan Ilahi. Hal ini merupakan salah satu yang amat musykil, khususnya bila ingin memuaskan semua nalar. Itu sebabnya yang merasakan Kemahabesaran dan Kemahabijaksanaan Tuhan biasanya hanya berkata: “Ada hikmah di balik setiap peristiwa, baik yang dinilai sebagai kejahatan atau keburukan maupun sebaliknya.” Tetapi, jawaban semacam ini jelas tidak memuaskan nalar.
Ada keyakinan bahwa ada dua tuhan: tuhan cahaya (kebaikan) dan tuhan kegelapan. Keyakinan ini, yang sekaligus merupakan jawaban, ditolak penganut menoteisme. Al-Qur’ān secara tegas menolak dualisme, baik dalam penciptaan, kekuasaan, maupun pengaturan alam raya.
الْحَمْدُ لله الَّذِيْ خَلَقَ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضَ وَ جَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَ النَّوْرَ.
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan yang menjadikan kegelapan dan cahaya.” (QS. al-An‘ām [6]: 1).
Sementara pakar menyelesaikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa apa yang dinamai kejahatan (keburukan) sebenarnya “tidak ada” atau paling tidak hanya pada pandangan nalar menusia yang memandang secara parsial.
Bukankah Allah menegaskan bahwa:
الَّذِيْ أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ.
“Dia-lah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya.” (QS. as-Sajdah [32]: 7). Kalau demikian, segalanya diciptakan Allah dan segalanya baik. Keburukan adalah akibat keterbatasan pandangan. Ia sebenarnya tidak buruk, terapi nalar manusia mengiranya demikian.
AYAT 3
“Dari kejahatan kegelapan malam pada saat ia gulita.”
Setelah pada ayat yang lalu dimohonkan perlindungan Allah s.w.t. dari segala macam kejahatan yang sedang dan boleh jadi lahir dari ulah diri sendiri dan makhluk-Nya, kini ayat di atas dan sesudahnya mengajarkan untuk memohon perlindungan menyangkut tiga hal khusus. Yang pertama: Dari kejahatan dan keburukan yang terjadi pada kegelapan malam pada saat ia gulita.
Kata (غَاسِق) ghāsiq biasa diartikan malam. Ia terambil dari kata (غَسَقَ) ghasaqa yang pada mulanya berarti penuh. Malam dinamai ghāsiq karena kegelapannya memenuhi angkasa. Begitu pula air yang sangat panas dan dining, yang panas dan dinginnya terasa menyengat seluruh badan. Nanah juga dinamai ghāsiq karena ia memenuhi lokasi luka.
Banyak ulama memahami kata tersebut di sini dalam arti malam. Memang, boleh saja malam yang dimaksud karena kegelapannya memenuhi angkasa, atau karena dinginnya malam dapat menyengat dan merasuk masuk ke seluruh tubuh. Pendapat lain tentang arti ghāsiq bersumber dari satu hadits yang menyatakan bahwa Rasūl s.a.w. menunjuk kepada bulan seraya bersabda kepada ‘Ā’isyah r.a.: “Wahai ‘Ā’isyah, mohonlah perlindungan Allah dari keburukan ini (sambil menunjuk ke bulan). Ini ghāsiqin idzā waqab” (HR. at-Tirmidzī). Hemat penulis, pendapat dan hadits itu tidak harus dipertentangkan karena bulan tentunya tampak di waktu malam dan bulan dapat merupakan salah satu yang menimbulkan kejahatan atau keburukan, yakni pada saat pesonanya mengantar kepada kedurhakaan.
Kata (وَقَبَ) waqaba terambil dari kata (الْوَقْب) al-waqb, yaitu lubang yang terdapat pada batu sehingga air masuk ke dalam lubang itu. Dari sini kata tersebut diartikan masuk. Jika anda berkata: waqabat-usy-syams, ia bermakna matahari telah masuk atau terbenam. Dengan demikian, makna ayat di atas malam yang telah masuk ke dalam kegelapan sehingga dia menjadi sangat kelam. Secara keseluruhan, ayat ketiga ini memohon perlindungan Allah dari kejahatan yang terjadi pada malam yang gelap. Memang, biasanya malam menakutkan karena sering kali kejahatan dirancang dan terjadi di celah kegelapannya, baik dari para pencuri, perampok, atau pembunuh, maupun dari binatang buas, berbisa, atau serangga. Anda dapat memperluas makna malam sehingga mencakup juga kerahasiaan.
Karena malam tidak selalu melahirkan kejahatan, bahkan ia dipuji sebagai saat yang terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah (baca QS. al-Muzzammil [73]: 6), ayat di atas tidak mengajarkan memohon perlindungan dari malam, tetapi dari kejahatan (keburukan) yang terjadi ketika itu, bukan malam secara keseluruhan.
Catatan: