كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُوْنَ الْيَتِيْمَ.
Kallā bal lā tukrimūnal yatīm.
“Bukanlah seperti yang disangka. Sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim.” (al-Fajr [89]: 17)
Allah tidak memberi percobaan kepada manusia, melainkan hal itu merupakan ujian. Allah tidak memberi kekayaan karena orang yang diberinya itu sudah pasti menjadi orang yang mulia di sisi-Nya. Juga tidak memberikan kemiskinan karena orang yang miskin itu pasti menjadi hina di sisi-Nya. Kehinaan dan kemuliaan tidak bisa diukur dari jumlah harta: kaya atau miskin.
Sebenarnya, hai orang-orang musyrik, kamu mempunyai beberapa perbuatan dan beberapa keadaan yang buruk. Bahkan, lebih buruk daripada ucapan-ucapanmu. Perbuatan dan keadaanmu itu mencerminkan sifat tamakmu kepada harta. Kamu tidak melaksanakan apa yang menjadi tugasmu sebagai orang kaya, yaitu memuliakan anak yatim dan tidak berbuat ihsan kepada mereka.
Muqātil mengatakan: “Ayat ini diturunkan mengenai Qudamah ibn Mazh‘ūn, seorang anak yatim yang diasuh oleh Umayyah ibn Khalaf, yang tidak memperoleh perlakuan sebagaimana layaknya.”
وَ لَا تَحَاضُّوْنَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ.
Wa lā taḥādhdhūna ‘alā tha‘āmil miskīn.
“Dan kamu tidak menganjurkan untuk memberikan makanan kepada orang miskin.” (al-Fajr [89]: 18)
Sebagian dari kamu juga tidak suka saling menganjurkan untuk memberi makanan kepada orang miskin, maka kamu bukanlah termasuk orang yang shalih seperti yang kamu dakwakan.
وَ تَأْكُلُوْنَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَّمًّا.
Wa ta’kulūnat turātsa aklal lammā.
“Dan kamu memakan harta warisan dengan sangat tamak.”. (al-Fajr [89]: 19)
Kamu justru amat tamak terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh seorang warismu, sehingga karenanya kamu berusaha menyingkirkan orang yang berhak untuk menerima harta warisan tersebut.
وَ تُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا.
Wa tuḥibbūnal māla ḥubban jammā.
“Dan kamu mencintai kekayaan dengan kecintaan yang luar biasa.” (al-Fajr [89]: 20)
Kamu sangat mencintai harta, baik yang berasal dari harta warisan ataupun yang berasal dari sumber-sumber lain, termasuk dari hasil keringatmu sendiri. (121) Pendeknya, kamu benar-benar sangat mengutamakan hidup dunia atas hidup akhirat, tentulah kamu membiarkan harta orang yang telah mati untuk dimakan oleh anak-anaknya yang yatim dan kamu tidak berusaha untuk memilikinya untuk disatukan dengan harta milikmu sendiri.
كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا.
Kallā idzā dukkatil ardhu dakkan dakkā.
“Tidak demikian seharusnya, apabila bumi dihancurkan dengan sehancur-hancurnya.” (al-Fajr [89]: 21)
Tidaklah layak kamu berlaku seperti yang sudah dijelaskan itu. Sebab, kamu kelak akan menghadapi suatu hari yang akan menimbulkan penyesalan yang amat sangat bagimu.
Hari yang menimbulkan penyesalan yang besar itu adalah apabila bumi telah dihancurkan dan rusak binasalah apa yang ada di dalamnya, yaitu pada hari kiamat.
وَ جَاءَ رَبُّكَ وَ الْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا.
Wa jā’a rabbuka wal malaku shaffan shaffā.
“Dan datanglah Tuhanmu, sedangkan malaikat berbaris-baris.” (al-Fajr [89]: 22)
Pada hari itu nyatalah kekuasaan Tuhan seperti keagungan dan kemegahan seorang raja yang naik kendaraan dengan dikawal oleh para pengawal dan para pembesar. Bagaimana kedatangan Allah pada hari itu, dan bagaimana malaikat bershaf-shaf (berbaris) adalah sesuatu yang ghaib, yang tidak dapat kita membayangkannya.
وَ جِيْءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ وَ أَنَّى لَهُ الذِّكْرَى.
Wa jī’a yauma’idzim bijahannama, yauma’dziy yatadzakkarul insānu wa annā lahudz dzikrā.
“Pada hari (kiamat) itu neraka Jahannam didatangkan. Pada hari itu barulah manusia teringat, tetapi apa ada lagi manfaat peringatan itu baginya?” (132) (al-Fajr [89]: 23)
Pada hari itu Jahannam diperlihatkan kepada semua orang yang dapat melihatnya. Meskipun sebelumnya Jahannam tidak bisa mereka lihat.
Ketika itu barulah manusia sadar dari kelalaian mereka dan barulah mengingat kesalahan-kesalahan mereka dan barulah mengetahui diri mereka.
Pada hari itu, peringatan dan petunjuk sudah tidak berguna dan tidak bermanfaat lagi, karena masanya sudah lewat. Ketika neraka diperlihatkan kepada mereka, barulah mereka menyadari kesalahan mereka untuk kembali ke dunia untuk mengerjakan amalan shalih. Tentu saja, harapan seperti itu tidak ada pengaruhnya.
يَقُوْلُ يَا لَيْتَنِيْ قَدَّمْتُ لِحَيَاتِيْ.
Yaqūlu yā laitanī qaddamtu liḥayātī.
“Dia mengatakan: “Alangkah untungnya, sekiranya aku dahulu mengerjakan ‘amal baik untuk hidupku ini!” (al-Fajr [89]: 24)
Manusia yang durhaka di dunia berkata: “Alangkah bahagianya aku, seandainya dahulu aku mengerjakan suatu ‘amal yang berguna bagiku dalam hidup yang abadi (kehidupan akirat).”
فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ. وَ لَا يُوْثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ.
Fa yauma’idzil lā yu‘adzdzibu ‘adzābahū aḥad. Wa lā yūtsiqu watsāqahū aḥad.
“Pada hari itu tidak seorang pun disiksa sebagai siksaan Allah. Dan tidak seorang pun yang mengikat serupa dengan ikatan Allah.” (al-Fajr [89]: 25-26)
Pada hari itu tidak ada ‘adzab seperti yang dialami oleh orang yang karena kekayaan dan kemewahannya lupa daratan. Mereka tidak mau mengingat Allah dan tidak mau mensyukuri-Nya. Demikian pula ‘adzab yang diderita oleh orang kafir karena kekafiran mereka yang menimbulkan kekacauan dan kerusakan di muka bumi. Tidak seorang pun dari khalayak umum yang dirantai dan dibelenggu, seperti keadaan mereka itu.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ.
Yā ayyatuhan nafsul muthma’innah.
“Wahai jiwa yang tenang dan tenteram.” (al-Fajr [89]: 27)
Manusia yang bersih jiwanya dan tidak mengabdi kepada kebendaan, tentulah pada hari kiamat akan memperoleh kebahagiaan. Kepada mereka akan dikatakan: “Wahai jiwa yang meyakini kebenaran, yang percaya kepada Allah dan mengerjakan semua hukum syara‘ serta tidak diombang-ambingkan oleh hawa-nafsu.”
ارْجِعِيْ إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً.
Irji‘ī ilā rabbika rādhiyatam mardhiyyah.
“Kembalilah kepada yang memilikimu dengan hati yang senang dan disenangi.” (al-Fajr [89]: 28)
Kembalilah kamu ke tempat yang mulia di sisi Allah, dengan perasaan puas atas apa yang telah kamu kerjakan di dunia dahulu. Kamu sekarang menjadi orang yang diridhai oleh Allah karena kamu dahulu tidak berlaku curang lantaran kaya dan tidak berlaku jahat lantaran miskin, serta tidak melampaui batas-batas syara‘.
فَادْخُلِيْ فِيْ عِبَادِيْ.
Fadkhulī fī ‘ibādī.
“Karena itu, masuklah ke dalam golongan hama-hambaKu,” (al-Fajr [89]: 29)
Karena itu masuklah kamu ke dalam golongan hamba-hambaKu yang dimuliakan dan bergabunglah dengan mereka itu. Sebab, kamu telah mengerjakan apa yang mereka kerjakan.
وَ ادْخُلِيْ جَنَّتِيْ
Wadkhulī jannatī.
“Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (al-Fajr [89]: 30)
Rasakanlah nikmat-nikmat surga, kata Allah. Nikmat surga yang belum pernah kamu lihat, belum pernah kamu dengar, dan belum pernah terbersit di dalam hatimu.
Dalam ayat-ayat ini, Allah menjelaskan bahwa seandainya orang-orang musyrik tidak terpengaruh oleh harta kekayaan, tentulah mereka memperhatikan anak yatim dan saling menganjurkan untuk memberi makan kepada orang miskin serta tidak tamak memakan harta warisan anak-anak yatim. Kebohongan atau kepalsuan ucapan mereka akan terbukti, ketika mereka menyaksikan huru-hara kiamat. Tetapi, tentu saja, nasi sudah menjadi bubur, kesadaran sudah tidak bernilai lagi. Sebab, kala itu bukan lagi masanya untuk ber‘amal, tetapi untuk pembalasan atas ‘amal yang pernah dilakukan.
Pada akhirnya Allah menjelaskan keadaan manusia yang jiwanya suci dari sifat tamak dan loba. Mereka itu akan dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba Allah yang dimuliakan dalam surga Jannat-un-Na‘īm.