Surat al-Fajr bermakna fajar. Diturunkan di Makkah sesudah surat al-Lail, terdiri dari 30 ayat.
Surat ini mengandung sumpah bahwa orang-orang kafir pasti akan di‘adzab, sebagaimana umat terdahulu, yaitu kaum ‘Ād dan kaum Tsamūd yang menyangkal kebenaran.
Selain itu, surat ini menandaskan bahwa nikmat-nikmat yang diperoleh seseorang atas pemberian Allah bukan menjadi tanda bahwa orang itu merupakan orang yang mulia di sisi-Nya, sebagaimana malapetaka yang menimpa seseorang, juga bukan bukti bahwa orang-orang tersebut dibenci oleh Allah. Itu semua hanyalah ujian belaka. (11)
Juga menerangkan bahwa pada hari kiamat kelak, orang-orang kafir sangat berkeinginan bisa kembali hidup di dunia untuk bisa menebus kesalahan-kesalahannya dan memperbanyak ‘amal shalih. Sebaliknya, orang yang mendapatkan keridhaan Allah diberi hak menjumpai Allah pada setiap saat.
Persesuaian antara surat yang telah lalu (al-Ghāsyiyah) dengan surat ini adalah:
1. Perturutan Malam dan Siang merupakan Nikmat Allah.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya.
وَ الْفَجْرِ.
Wal fajr.
Demi fajar. (22) (al-Fajr [89]: 1)
Allah bersumpah dengan waktu fajar, yaitu waktu matahari akan memulai memancarkan cahayanya untuk mengusir malam dan membuka kesempatan bagi manusia dan hewan mencari rezeki dan keutamaan Allah.
وَ لَيَالٍ عَشْرٍ.
Wa layālin ‘asyr.
“Dan malam sepuluh. (al-Fajr [89]: 2)
Allah bersumpah dengan malam yang sepuluh dari permulaan tiap bulan yang belum terang sinar bulannya (33)
وَ الشَّفْعِ وَ الْوَتْرِ.
Wasy syaf‘i wal watr.
“Dan malam yang genap dan yang ganjil. (al-Fajr [89]: 3)
Allah bersumpah pula dengan bilangan yang genap dan yang ganjil. Masuk ke dalam bilangan yang genap adalah semua yang berpasangan dan ke dalam bilangan yang ganjil adalah semua hal yang tidak berpasangan. (44)
وَ اللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ.
Wal laili idzā yasr.
“Dan malam apabila telah berlalu.” (al-Fajr [89]: 4)
Allah juga bersumpah dengan malam yang menutupi siang dengan tirai gelapnya (55) Allah bersumpah dengan semuanya itu untuk menarik perhatian agar manusia menyelidiki keajaiban-keajaiban alam dan tanda-tanda kudrat (kekuasaan) Allah, sehingga kita mempergunakan pikiran untuk memikirkannya.
Allah pun bersumpah bahwa sesungguhnya Dia akan meng‘adzab orang yang ingkar.
هَلْ فِيْ ذلِكَ قَسَمٌ لِّذِيْ حِجْرٍ.
Hal fī dzālika qasamul lidzī ḥijr.
“Bukankah dalam hal yang seperti itu terdapat sumpah yang memuaskan orang-orang yang berakal?” (66). (al-Fajr [89]: 5)
Allah bertanya, apakah belum cukup bagi orang-orang yang berakal dengan sumpah-sumpah yang telah dikemukakan itu? Orang yang berakal tentulah menginsafi bahwa sumpah dengan makhluq-makhluq tersebut menunjukkan ke-Esa-an Penciptanya, dan itu telah cukup untuk dipikir dan dituruti.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ. إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ. الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ.
A lam tara kaifa fa‘ala rabbuka bi‘Ād. Irama dzātil ‘imād. Allatī lam yukhlaq mitsluha fil bilad.
“Tidakkah engkau perhatikan, bagaimana Tuhanmu bertindak terhadap kaum ‘Ād?. Yaitu penduduk Iram, yang mempunyai gedung-gedung yang tinggi. Yang belum pernah dibangun di negeri-negeri lain.” (al-Fajr [89]: 6-8)
Wahai manusia, apakah kamu tidak mengetahui, bagaimana Tuhanmu telah membinasakan kaum ‘Ād. Padahal, mereka adalah kaum yang bertubuh kuat, berperawakan tinggi, mempunyai kedudukan yang teguh, dan belum pernah ada suatu kota yang menyamai kota tempat mereka tinggal dalam hal keindahan dan kekuatannya. (77)
وَ ثَمُوْدَ الَّذِيْنَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ.
Wa tsamūdal ladzīna jābush-shakhra bil wād.
“Kaum Tsamūd yang memotong batu-batu di lembah kediaman mereka. (al-Fajr [89]: 9)
Apakah manusia tidak melihat kaum Tsamūd dikenal dapat memahat batu untuk membuat istana dan mahligai-mahligai yang tinggi? (88)
وَ فِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ.
Wa fir‘aun dzil autād.
“Dan Fir‘uan yang mempunyai bangunan-bangunan besar (mempunyai banyak tentara).” (al-Fajr [89]: 10)
Apakah mereka juga tidak memperhatikan Fir‘aun, raja Mesir yang mempunyai kekuasaan dan kemegahan yang hampir-hampir tidak ada tandingannya, sehingga dia berani mengatakan bahwa dirinya adalah tuhan? Kaum Fir‘aun adalah kaum yang mempunyai keahlian dalam bidang bangunan, sehingga mereka dapat membangun piramid-piramid dan menara yang tinggi-tinggi, serta membangun sphynk dan lain-lain.
الَّذِيْنَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ. فَأَكْثَرُوْا فِيْهَا الْفَسَادَ.
Alladzīna thaghau fil bilād. Fa aktsarū fīhal fasād.
“Yang berbuat sewenang-wenang di dalam negeri. Mereka membuat banyak kerusakan (bencana).” (al-Fajr [89]: 11-12)
Mereka ini, kaum ‘Ād, Tsamūd dan Fir‘aun, telah menyalahgunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk menindas manusia. Mereka terpedaya dengan kekuasaan yang dimiliki mereka.
فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ.
Fa shabba ‘alaihim rabbuka sautha ‘adzāb.
“Karena itu Tuhan menuangkan cemeti siksaan kepada mereka.” (al-Fajr [89]: 13)
Oleh karena itu, Allah menumpahkan siksa dan ‘adzab-Nya kepada mereka sebagai pembalasan terhadap tindakan-tindakannya yang merusak dan merugikan masyarakat dan nilai-nilai kemanusiaan.
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ.
Inna rabbaka labil mirshād.
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengamat-amati.” (al-Fajr [89]: 14)
Tuhan tetap memperhatikan semua urusan hamba-Nya. Karena itu, tidak ada sesuatu pun perbuatan hamba-Nya, betapa pun kecilnya, tidak akan luput dari perhatian Allah.
Apa yang diringkaskan dalam ayat-ayat ini mengenai ‘adzab yang ditimpakan kepada umat-umat ini telah dijelaskan dalam surat al-Ḥāqqah. (99)
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَ نَعَّمَهُ فَيَقُوْلُ رَبِّيْ أَكْرَمَنِ.
Fa ammal insānu idzā mabtalāhu rabbuhū fa akramahū wa na‘‘amahū, fa yaqūlu rabbī akraman.
“Adapun manusia itu, apabila diuji olehTuhannya, lalu diberi kemuliaan dan kesenangan hidup, maka berkata dia: “Tuhanku memuliakan aku”. (1010) (al-Fajr [89]: 15)
Apabila Allah mencurahkan nikmat-Nya dan melapangkan rezeki, manusia menyangka bahwa kemuliaan dan kemewahan yang diperolehnya sebagai suatu tanda kemuliaannya di sisi Allah. Karenanya, dia pun menduga bahwa Allah tidak akan menyiksa dirinya atas kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Kekayaan dan kemewahan yang diberikan oleh Allah kepadanya justru membuat dia berani melakukan kerusakan di muka bumi.
وَ أَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُوْلُ رَبِّيْ أَهَانَنِ.
Wa ammā idzā mabtalāhu fa qadara ‘alaihi rizqahū, fa yaqūlu rabbī ahānan.
“Apabila Tuhan menguji dengan membatasi rezekinya, dia pun berkata: “Tuhanku menghinakan aku.” (al-Fajr [89]: 16)
Apabila manusia mendapati rezekinya sangat terbatas atau tidak seperti yang dia harapkan, hal itu dianggapnya sebagai penghinaan dari Allah. (1111)
Tentu saja, kedua anggapan tersebut salah semua. Nikmat yang dicurahkan kepada seseorang tidak menunjukkan bahwa orang itu mulia di sisi Allah. Bukankah kita melihat bahwa banyak orang kafir yang memperoleh berbagai nikmat. Sebaliknya, kemiskinan dan kefakiran bukan pula bukti bahwa orang itu hina di mata Allah. Bukankah banyak nabi dan para wali yang hidup dalam kemiskinan dan kepapaan? Kekayaan, kemuliaan, dan kemiskinan adalah suatu batu ujian belaka.