Hati Senang

Surah al-Fajr 89 ~ Tafsir al-Jailani

Dari Buku: TAFSIR al-Jaelani Oleh: Syekh ‘Abdul-Qadir Jaelani Penerjemah: Abdul Hamid Penerbit: PT. SAHARA intisains

Surah ke 089; 30 ayat
Al-Fajr
(fajar).

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Pembuka Surah al-Fajr

Orang yang telah mendaki puncak kema‘rifatan dan kebahagiaan, setelah sebelumnya berada di jurang kelalaian dan lembah ketertipuan, pasti mengetahui bahwa; untuk berbalik dari watak kemanusiaan yang sempit, lalu berjalan mendaki watak ketuhanan yang maha luas, itu hanya dapat dicapai bila ada tarikan Ilahi yang menaklukkan kekuatan hewani dari tuntutan tabiat, menghalangi angan-angan dan khayalan dari bertindak di alam ideal, mencegah akal penciptaan yang bercabang dari ilmu Ilahi, mengambil bagian kekuatan manusia yang paling dasar dengan alat-alatnya serta media zhahir dan bathin yang mereka miliki dari lentera lembaran qadha’, dan memberikan bantuan kepada orang yang sedang berangan-angan dan berkhayal di mana kedua hal ini termasuk tentara-tentara iblis yang memerintahkan pada keburukan.

Pendakian ini bisa menjadi mudah dilakukan setelah matinya keinginan dan berubahnya sifat-sifat kemanusiaan, dan untuk mewujudkannya adalah dengan membelokkan fitrah kepada jalan yang lurus agar menghasilkan keterkaitan maknawi dan hubungan hakiki dengan Allah s.w.t., di mana keterkaitan ini adalah sumber taklif Ilahi, ia menghasilkan berbagai macam ma‘rifat dan hakekat laduniyah yang berasal dari kesucian air tauhid.

Karena itulah Allah s.w.t. bersumpah dengan berbagai jalan (perangai) yang ditempuh oleh orang-orang yang berhijrah dari alam kemanusiaan menuju jagat raya ketuhanan yang Maha Luas, dan Dia mengawali sumpah-Nya dengan menyingsingnya waktu subuh yang memancarkan cahaya ketuhanan. Setelah memberikan keberkahan, Allah s.w.t. berfirman: (بِسْمِ اللهِ) [Dengan menyebut nama Allah] yang mengatur semua urusan hamba-Nya demi untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan tabiat menuju cahaya hakekat, (الرَّحْمنِ) [Yang Maha Pemurah] kepada mereka dengan menetapkan berbagai macam taklif yang menyulitkan demi untuk mencabut akar perasaan cinta dan kebiasaan yang diwariskan kepada mereka dari alam kemanusiaan, (الرَّحِيْمِ) [lagi Maha Penyayang] kepada mereka dengan mematikan keinginan mereka dari kebutuhan kemanusiaan dan tuntutan hawa nafsu mereka yang batil.

Ayat 1.

(وَ الْفَجْرِ) [Demi fajar] maksudnya: demi menyingsingnya fajar kebahagiaan yang terbit dengan melahirkan kasih sayang yang berkilauan dari langit keesaan dan dari cakrawala alam ketuhanan yang tertinggi.

Ayat 2.

(وَ لَيَالٍ عَشْرٍ) [Dan malam yang sepuluh] maksudnya: demi panca indera malam yang sepuluh, yang menuju pada keberpalingan dan keterhapusan, saat menyingsingnya fajar ketuhanan dan waktu shubuh keesaan Dzat.

Ayat 3.

(وَ الشَّفْعِ) [Dan yang genap] maksudnya: dan yang menggenapkan waktu malam dan siang yang baru, menghilangkan keduanya dari pandangan mata, serta menghapus keduanya dari keterjelasan: (وَ الْوَتْرِ) [dan yang ganjil] wujud keesaan Dzat-Nya serta terbebas dari jumlah dan keberbilangan sama sekali.

Ayat 4.

(وَ اللَّيْلِ) [Dan malam] ketiadaan yang diliputi oleh kegelapan dalam Dzat-Nya, (إِذَا يَسْرِ) [ketika berlalu] dan hilang kegelapannya oleh meluasnya bayang-bayang wujud dan terbitnya matahari zat di atas malam yang gelap tersebut.

Ayat 5.

(هَلْ فِيْ ذلِكَ) [Apakah pada yang demikian itu], yakni pada setiap bagian yang digunakan untuk bersumpah, yang agung ini, dibutuhkan (قَسَمٌ) [sumpah] untuk menguatkannya, (لِّذِيْ حِجْرٍ) [bagi orang-orang yang berakal] jernih dan terbebas dari angan-angan dan khayalan yang menipu, terbebas dari perasaan cinta dan kebiasaan yang berasal dari berbagai macam gambaran dan taklid yang bersumber dari gelapnya tabiat.

Ringkasnya, Allah s.w.t. bersumpah – dengan alat-alat sumpah yang memiliki posisi dan kedudukan yang agung – bahwa di dunia ini Dia akan mengazab para pelaku penyimpangan dan kesesatan, yang terikat oleh rantai kerakusan dan terbelenggu oleh angan-angan dunia dengan berbagai macam syahwat yang menyelimutinya. Sedangkan di akhirat nanti, Dia akan mengazab mereka di lapisan neraka yang paling dasar. Yang dimaksud mereka di sini adalah kaum kafir Makkah.

Jadi apakah kamu mampu menjauhkan adzab dan pembalasan Kami dari mereka, wahai Rasul yang paling sempurna?

Ayat 6.

(أَلَمْ تَرَ) [Apakah kamu tidak memperhatikan], tidak mengetahui, dan tidak mendapatkan kabar mutawatir yang menghasilkan ketetapan dan keyakinan tentang (كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ) [bagaimana Rabbmu berbuat terhadap kaum ‘Ād], maksudnya: bagaimana Allah s.w.t. membinasakan kaum ‘Ād?

Ayat 7.

(إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ) [(yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan yang tinggi] dengan tiang yang kokoh, pondasi yang kuat, atap yang menjulang, dan tembok yang tebal.

Ayat 8.

(الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ) [Yang belum pernah dibangun] dan belum ditemukan (مِثْلُهَا) [(suatu kota) yang seperti] kota dan bangunan mereka, (فِي الْبِلَادِ) [di negeri-negeri lain] dalam hal kekokohan, ketinggian, kebersihan, dan keanggunan. Mereka adalah kaum yang bangunan, anak, harta, pangkat, dan kekayaan mereka lebih banyak beberapa kali lipat dibandingkan orang-orang yang melampaui batas dan berbuat kerusakan. Namun Allah s.w.t. membinasakan dan membasmi mereka setelah mereka keluar dari jalan yang lurus dalam kehidupan mereka.

Ayat 9.

(وَ ثَمُوْدَ) [Dan kaum Tsamud] maksudnya: bukankah kamu juga tahu kebinasaan macam apa yang ditimpakan Allah s.w.t. kepada kaum Tsamūd. Padahal merekalah orang-orang (الَّذِيْنَ جَابُوا) [yang memotong] dan melubangi (الصَّخْرَ) [batu-batu yang besar] gunung (بِالْوَادِ) [di lembah] Qura, lalu di lembah itu mereka membangun kota yang memiliki benteng pertahanan dengan kemampuan dan kekuatan mereka yang sangat besar. Meski demikian, Allah s.w.t. tetap membinasakan mereka.

Ayat 10.

(وَ فِرْعَوْنَ) [Dan Fir‘aun] yang tiran dan sewenang-wenang, (ذِي الْأَوْتَادِ) [yang mempunyai pasak-pasak], yakni yang memiliki tentara sangat banyak, termasuk orang-orang yang menggali, membuat, dan mengikat tali untuk mendirikan tenda:

Ayat 11.

(الَّذِيْنَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ) [Yang berbuat sewenang-wenang dalam negerinya] dan bersikap sombong kepada orang-orang lemah dikarenakan mereka bergantung kepada harta, pangkat, kekayaan, dan kekuasaannya:

Ayat 12.

(فَأَكْثَرُوْا فِيْهَا الْفَسَادَ) [Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu] dengan melakukan berbagai macam pengingkaran, kezhaliman, dan penentangan.

Ayat 13.

Setelah kebinasaan yang mereka lakukan sudah mencapai puncaknya, (فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ) [Rabbmu menimpakan kepada mereka cemeti adzab], yaitu salah satu macam adzab. Jadi seakan-akan adzab yang ditimpakan dan disiramkan kepada mereka itu seperti air hujan yang ditimpakan dari langit. Ini adalah kalimat kiasan yang menggambarkan adanya gelombang kebinasaan yang menimpa mereka secara terus-menerus. Ringkasnya, Allah s.w.t. membinasakan mereka dengan adzab yang paling menyakitkan.

Selanjutnya, Allah s.w.t. berbicara pada kekasih-Nya, Nabi s.a.w. untuk mengingatkannya tentang kekuasaan-Nya yang sempurna dan balasan-Nya kepada para pelaku maksiat, dengan berkata:

Ayat 14.

(إِنَّ رَبَّكَ) [Sesungguhnya Rabbmu] yang telah mendidikmu untuk menggapai kemakrifatan dan keyakinan yang sempurna, (لَبِالْمِرْصَادِ) [benar-benar mengawasi] dan menjaga semua jalan hamba-Nya. Allah s.w.t. selalu mengawasi mereka, bagaimana caranya mereka berjalan menuju kepada-Nya; apakah dengan menempuh jalan kesesatan dan kebinasaan, ataukah dengan menempuh jalan hidayah dan petunjuk? Meskipun semuanya diciptakan berdasarkan fitrah tauhid, namun hikmah ilahiyah menghendaki adanya cobaan dan ujian.

Ayat 15.

(فَأَمَّا الْإِنْسَانُ) [Adapun manusia] yang berada dalam kebimbangan di antara kebaikan dan kekufuran, (إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ) [ketika Rabbnya menguji] dan mencobanya dengan kekayaan dan kemudahan, (فَأَكْرَمَهُ) [lalu dimuliakan-Nya] dengan pangkat dan kekayaan, (وَ نَعَّمَهُ) [dan beri-Nya kesenangan] dengan harta dan anak-anak, (فَيَقُوْلُ) [maka ia berkata] – sebagai bentuk rasa syukur atas kenikmatan dan kemuliaan yang diraihnya – (رَبِّيْ أَكْرَمَنِ) [“Rabbku telah memuliakanku] dan menganugerahiku dengan kebaikan dan kelembutan.”

Ayat 16.

(وَ أَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ) [Adapun ketika Rabbnya mengujinya] dengan kefakiran dan kesulitan setelah sebelumnya diberi kemudahan, (فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ) [lalu membatasi rezekinya] dan mengurangi bahan makanan yang dibutuhkannya di mana Allah s.w.t. tidak menambahi kebutuhan hidupnya, (فَيَقُوْلُ) [maka ia berkata] – dengan nada mengeluh yang mengobarkan kemarahan-Nya – , (رَبِّيْ أَهَانَنِ) [“Rabbku menghinakanku] dan merendahkanku, karena Dia tidak memberikan kepadaku sesuatu yang Dia berikan kepada si fulan dan si fulanah.” Padahal kefakiran lebih baik dari kekayaan. Sebab seandainya kefakiran diiringi dengan perasaan menerima dengan lapang dada dan ridha, maka sikap semacam itu akan mengantarkan pelakunya menuju ke surga Ma‘wā dan kekuasaan yang tidak akan pernah usang. Sebaliknya, kekayaan yang tidak diiringi dengan rasa syukur, berinfak, dan berbuat baik, maka sikap semacam itu akan mengantarkan pelakunya menuju lapisan neraka terbawah, yakni neraka Jaḥīm.

Ayat 17.

Selanjutnya Allah s.w.t. berfirman: (كَلَّا) [sekali-kali tidak (demikian)] untuk mencegahnya memiliki keyakinan kalau kemuliaan itu didasarkan pada kemudahan dan keluasan rezeki, sedang kehinaan didasarkan pada kekurangan dan kefakiran. Sebab (بَلْ) [sebenarnya] kemuliaan itu diraih dengan berinfak dan memberi makan orang miskin, seraya memohon keridhaan Allah s.w.t. Sedangkan kalian, wahai orang-orang kaya, (لَّا تُكْرِمُوْنَ الْيَتِيْمَ) [kalian tidak memuliakan anak yatim] dan tidak menyantuninya dengan memberikan nafkah dan pakaian.

Ayat 18.

(وَ لَا تَحَاضُّوْنَ) [Dan kalian tidak saling mengajak], yakni tidak memerintahkan orang lain untuk (عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ) [memberi makan orang miskin] dan mengurangi bebannya.

Ayat 19.

(وَ) [Dan] kalian, wahai orang-orang kaya, (تَأْكُلُوْنَ التُّرَاثَ) [kalian memakan harta pusaka] anak yatim (أَكْلًا لَّمًّا) [dengan cara mencampur-baurkan] maksudnya: dengan cara menyatukan antara bagian kalian dengan bagian mereka. Kalian mengambil dan menjaga harta mereka supaya kalian dapat mengawasi harta tersebut dan menambahkannya untuk mereka. Lalu kalian selalu memakan dari harta itu dan dari kelebihannya.

Ayat 20.

(وَ) [Dan] hal itu tidak akan terjadi kecuali karena (تُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا) [kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan] disertai dengan kerakusan yang begitu besar dan angan-angan yang sempurna. Kalian tidak memberi makan orang-orang fakir dan miskin karena khawatir dengan keadaannya sendiri.

Ayat 21.

Selanjutnya Allah s.w.t. berfirman, (كَلَّا) [jangan (berbuat demikian)] untuk mencegah mereka supaya tidak mencintai harta dan mencampuradukkan antara yang haram dengan yang halal. Maksudnya: wahai orang-orang bakhil, bagaimana kalian mempertanggungjawabkan penghisaban harta itu pada saat (إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا) [bumi digoncangkan berturut-turut], dihancurkan, dan diratakan, hingga menjadi dataran yang rata dan debunya pun beterbangan.

Ayat 22.

(وَ جَاءَ رَبُّكَ) [Dan datanglah Rabbmu], seraya menampakkan tanda-tanda kebesaran-Nya dan pengaruh dari keperkasaan dan kekuatan-Nya, (وَ) [lalu] datang (الْمَلَكُ) [malaikat] yang mendapat kepercayaan dari-Nya untuk meneliti semua amalan hamba, menghisab, dan mempertanyakannya; dengan (صَفًّا صَفًّا) [berbaris-baris] sesuai, dengan yang diperintahkan Allah s.w.t. kepada mereka.

Ayat 23.

(وَ جِيْءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ) [Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam] kepada para calon penghuninya untuk mengintimidasi dan menakut-nakuti mereka: (يَوْمَئِذٍ) [dan pada hari itu], yakni hari kiamat yang ditampakkan dampak-dampak kengeriannya, (يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ) [ingatlah manusia] pada kemaksiatan yang telah dikerjakannya dan pada perkataan orang yang menegur dan mengingatkannya hingga ia merasa menyesal dan sedih dengan semua itu. (وَ أَنَّى لَهُ الذِّكْرَى) [Akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya], maksudnya: bagaimana mungkin ingatan seperti ini bermanfaat baginya pada hari itu, sedangkan masa-masa untuk menghadapi cobaan dan menghindari kemaksiatan sudah habis. Setelah ia memastikan bahwa mengingat kemaksiatan yang telah dilakukannya tidak lagi bermanfaat pada hari kiamat:

Ayat 24.

(يَقُوْلُ) [Ia berkata] dengan nada mengharap seraya menunjukkan kesedihan dan penyesalannya, (يَا لَيْتَنِيْ قَدَّمْتُ) [“Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh)] di alam cobaan dan ujian, yakni di dunia, (لِحَيَاتِيْ) [untuk hidupku ini] dan demi keselamatanku pada hari ini.”

Ayat 25.

Ringkasnya, (فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ) [pada hari itu tiada seorang pun menyiksa seperti siksa-Nya]. Maksudnya: tidak ada satu pun dari kalangan malaikat Zabāniyah yang dapat menyiksa seperti siksaan yang dilakukan oleh Allah s.w.t. sendiri yang berupa kesedihan, penyesalan, kedukaan, kesusahan, dan kehinaan.

Ayat 26.

(وَ لَا يُوْثِقُ) [Dan tidak ada yang mengikut] dan menghukumi (وَثَاقَهُ) [seperti ikatan] dan siksaan-Nya, dari (أَحَدٌ) [seorang pun]; sebagaimana halnya siksaan yang Allah s.w.t. lakukan sendiri dengan mendatangkan berbagai macam kesia-siaan, kerugian, kesusahan, dan nasib buruk. Sebab siksaan rohani yang datang tiba-tiba akibat perasaan menyesal dan terhina, pengaruhnya – yang sangat besar – tidak bisa dibandingkan dengan semua jenis siksaan jasmani.

Selanjutnya Allah s.w.t. menuturkan berbagai macam kebaikan yang diraih oleh orang-orang yang mendapat bantuan dan kemuliaan dari kalangan kaum Mukmin yang telah mempersiapkan bekal kebaikan ketika di dunia untuk menyambut kehidupan akhirat, yang disifati dengan sifat takwa, yang tidak bermaksiat kepada-Nya seumur hidup mereka, yang tidak mengikuti hawa nafsu, dan yang merasa tenang dan telah mempersiapkan diri menyambut kematian yang diberlakukan kepada mereka.

Ayat 27-28.

Ringkasnya, mereka tidak merasa bimbang pada saat susah maupun senang, dan tidak peduli dengan kesusahan maupun kenyamanan yang menghinggapi diri mereka. Pada hari itu, akan dikatakan kepada mereka, (يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ) [“Hai jiwa yang tenang], tentram, dan yang bersemayam di maqam keridhaan dan penyerahan diri dengan kokoh, (ارْجِعِيْ إِلَى رَبِّكِ) [kembalilah kepada Rabbmu] dan naiklah menuju kepada-Nya melalui jalan yang, di mana dari jalan itu, kamu diturunkan: (رَاضِيَةً) [dengan hati yang puas], disifati dengan sifat ridha, sebagaimana pada saat kamu ridha dengan qadha’-Nya ketika berada di dunia, (مَّرْضِيَّةً) [lagi diridhai-Nya] dan diterima dengan penuh kehormatan oleh Diri-Nya.

Ayat 29.

Setelah kamu kembali dengan keadaan seperti itu: (فَادْخُلِيْ فِيْ عِبَادِيْ) [maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu] yang telah berada dalam perlindungan-Ku dan meraih kursi kejujuran di sisi-Ku.

Ayat 30.

(وَ) [Dan] ringkasnya, (ادْخُلِيْ جَنَّتِيْ) [masuklah ke dalam surga-Ku], yakni surga keesaan-Ku dan beristirahatlah di tempat ketuhanan-Ku.

Semoga Allah s.w.t. memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang diberi khithab dengan khithab seperti ini. Sesungguhnya Dialah Dzat Pemberi Ilham pada kebaikan dan di sisi-Nyalah sebaik-baik tempat kembali.

 

Penutup Surah al-Fajr

Wahai orang yang mengesakan Allah s.w.t., menunggu seruan-Nya, menyukai dan berharap dapat mendengarkan gemanya; kamu harus merasakan kehadiran Rabbmu dalam semua waktu yang kamu jalani, sehingga keinginan untuk condong kepada dunia dan angan-angannya serta segala hal yang ada di dalamnya, tidak akan memalingkanmu dari Diri-Nya. Bahkan kamu harus merasa tenang, menerima dengan lapang dada semua qadha yang berlaku pada dirimu, menyerahkan semua urusanmu kepada-Nya dengan penuh kerelaan dan keridhaan, dan menghadap kepada-Nya dengan hati yang bersih sampai kamu diajak bicara dengan pembicaraan yang memperbaiki setiap nafasmu, yang mengalir di semua waktu dan keadaanmu.

Ringkasnya, janganlah kamu melupakan Allah s.w.t. sejenak pun, maka kamu akan mengakui kemuliaan khithab semacam ini dan meraih karamah dari-Nya. Semoga Allah s.w.t. memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang tersadar dan merasa nyaman.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.