Surah al-Buruj 85 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah

Tafsir Juz ‘Amma
(Judul Asli: Beams of Illumination)
Oleh: Syaikh Fadhlallah Haeri

SURAH AL-BURŪJ

“BINTANG-BINTANG”

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang.

 

وَ السَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوْجِ

  1. Demi langit yang penuh bintang,

Surah ini mulai dengan menyebut fenomena yang secara langsung melibatkan kita dalam kehidupan ini. Ketika bersumpah dengan konstelasi bintang, kita diseru untuk memberikan kesaksian. Burj adalah apa saja yang nampak, menonjol atau tinggi. Ia juga berarti ‘menara, kastil’ dan ‘tanda zodiak’. Lelangit dapat dibagi ke dalam zona-zona yang berbeda, dan yang terdekat kepada kita adalah dua belas rumah zodiak, atau konstelasi bintang.

Penggunaan kata samā’ (langit, cakrawala) di sini bisa berarti hati. Salah satu makna batin dari ayat ini berkenaan dengan tahap-tahap yang berbeda melalui mana hati berkembang ke arah realisasi tauhid.

وَ الْيَوْمِ الْمَوْعُوْدِ

  1. Dan demi hari yang dijanjikan,

Mau‘ūd (dijanjikan, ditentukan) berasal dari kata kerja wa‘ada, ‘menjanjikan, meramalkan, mengancam’. Pada Hari Perhitungan segala sesuatu akan terbuka dan gamblang. Kita telah diperingatkan tentang hari ini di seluruh wahyu.

وَ شَاهِدٍ وَ مَشْهُوْدٍ

  1. Dan demi saksi dan yang disaksikan.

Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa Allah adalah saksi dan yang dipersaksikan, karena yang ada hanyalah Allah—lā ilāha illallāh (tiada Tuhan selain Allah).

Nabi Muḥammad telah mengatakan bahwa syāhid adalah Yawm-ul-Jum‘ah dan masyhūd (yang disaksikan) adalah Yawm-ul-‘Arafat (Hari ‘Arafah dalam ibadah Haji). Kita masing-masing adalah saksi, secara terus-menerus, berulang kali, setiap menit dari setiap hari, setiap minggu, setiap Jum‘at. Ini juga bermakna menjadi saksi dalam arti kolektif, karena hari berkumpul (Jum‘at) adalah latihan untuk menghadapi saat ketika semua jiwa akan dikumpulkan setelah Kebangkitan.

Masyhūd adalah Hari Kepastian, atau pengenalan akan kebenaran yang satu, karena seluruh ciptaan menyaksikan kebenaran tersebut. Itulah hari keesaan (tauḥīd): kita menyaksikan itu sekali sepanjang hidup. Hari Jum‘at menyaksikan kita, dan kita menyaksikan ‘Arafah. Mengenal sekali saja sudah cukup, dan kemudian si penyaksi (syāhid) bisa juga menjadi si tersaksi (masyhūd).

قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُوْدِ

  1. Kehancuran menimpa para penghuni parit,

Ini adalah penjelasan historis tentang suatu peristiwa yang terjadi di negeri Yaman. Peristiwanya mengenai seorang nabi dari Ethiopia yang memiliki sekelompok pengikut. Ini adalah cerita yang dituturkan oleh Amīr al-Mu’minīn Alī ibn Abī Thālib. Kaum pagan memenjarakan sang nabi dan pengikutnya, menggali sebuah lubang di tanah lalu menyalakan api besar di dalamnya. Kemudian kaum pagan mengumpulkan mereka dan berkata: “Barang siapa di antara kalian yang percaya kepada nabi orang Ethiopia ini, ia harus loncat ke dalam api dan membakar diri, karena jika kalian beriman kepada Allah, maka Allah akan menyelamatkan kalian! Dan mereka yang tidak percaya kepada orang ini hendaklah menjauhkan diri.” Diceritakan bahwa semua orang yang bersamanya loncat ke dalam api, dan mereka diselamatkan oleh Allah, dengan cara Allah. Di antara mereka ada seorang wanita yang punya anak kecil, dan ketika dia dan anaknya masuk ke dalam api yang ada hanyalah kesegaran dan kedamaian, persis seperti Nabi Ibrāhīm ketika dilemparkan ke dalam api oleh orang-orang Mesopotamia penyembah patung. Mereka yang loncat ke dalam api berada dalam keadaan yang benar-benar yakin. Pada saat berserah diri itu ada sistem lain yang mengambilalih. Kita biasanya terhalang dari sistem lain tersebut.

النَّارِ ذَاتِ الْوَقُوْدِ

  1. Api yang diberi bahan bakar,

إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُوْدٌ

  1. Tatkala mereka duduk di situ,

Barang siapa tidak bergabung dan mengikuti jalan mereka maka ia dimasukkan ke dalam jurang api yang besar, sementara kaum kafirin duduk di dekat api itu menyaksikan pertunjukkan besar.

وَ هُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُوْنَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ شُهُوْدٌ

  1. Dan mereka adalah saksi terhadap apa yang mereka lakukan terhadap kaum beriman.

Mereka sendiri menjadi saksi atas apa yang sedang mereka lakukan terhadap kaum mukmin yang sedang menantikan kehidupan berikutnya, yang berbuat sebaik-baiknya dalam kehidupan ini. Kaum tiran ini menyengsarakan kaum beriman karena mereka ingin kaum beriman menjadi seperti mereka, karena kita semua ingin kebersatuan. Mereka yang mendustakan Tuhan (kafir) ingin menyatukan setiap orang dalam sistem kufur mereka, dan seperti dikatakan Nabi Muḥammad, ‘Kufr (menolak Tuhan) adalah sebuah sistem.’ Hal itu seumpama seorang ayah dan seorang ibu yang telah bekerja keras sepanjang hidupnya dengan menabung uang, tapi ujung-ujungnya sang anak tidak menginginkan apa yang semestinya mereka berikan kepada si anak. Ini adalah hal terburuk yang bisa terjadi pada orang tua yang borjuis. Ayah dan ibu ingin menularkan sistem mereka kepada anak mereka dan jika si anak memberontak, mereka pun kecewa karena harapan yang tidak terpenuhi. Begitulah mereka menghancurkan si anak secara psikologis.

Contoh lain adalah terjadinya kehancuran masal di negeri Yaman. Golongan status quo, yang ingin melanggengkan sistem kehidupan mereka yang sempit, menyiksa golongan lainnya. Mereka membangun api persis di tengah-tengah para pengikut nabi karena benar-benar ingin melenyapkan para pengikut nabi, agar mereka tidak akan terganggu dan agar tidak ada unsur pemecah belah yang dapat mengancam kesinambungan sistem mereka.

وَ مَا نَقَمُوْا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوْا بِاللهِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ

  1. Dan mereka membalas dendam orang-orang itu hanya karena mereka beriman kepada Allah, Yang Mahaperkasa, Yang Maha Terpuji.

Niqmah (balas dendam) adalah kebalikan dari ni‘mah, yang berarti ‘kebaikan, berkah, manfaat’. Niqmah adalah penderitaan yang kelihatan dan destruktif. Kaum kafir dari negeri Yaman melakukan balas dendam dan berusaha menghancurkan orang-orang ini hanya karena mereka ingin mempercayai Allah dan beriman. Mereka menginginkan pengetahuan tentang Allah karena hal itulah komoditas yang paling jarang dan paling berharga dalam penciptaan, dan itulah pengetahuan yang paling agung yang bisa diperoleh manusia.

الَّذِيْ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

  1. Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, dan Allah adalah Saksi atas segala sesuatu.

Ayat ini menunjuk kepada ayat sebelumnya: wa syāhid wa masyhūd (dan demi saksi dan yang disaksikan).

إِنَّ الَّذِيْنَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوْبُوْا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَ لَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيْقِ

  1. Sesungguhnya, mereka yang menganiaya kaum mukmin laki-laki dan kaum mukmin perempuan, kemudian tidak bertobat, mereka mendapat siksa neraka (jahannam), dan bagi mereka siksaan yang menghanguskan!

Fatana (menyerah pada godaan atau cobaan, siksaan dan kesengsaraan, terpikat), di sini secara khusus bermakna ‘menimpakan penderitaan’ atau ‘menganiaya’ dalam arti menguasai, menghancurkan, dan menyebabkan kerusakan. Mereka yang telah melanggar kaum mukmin, sekalipun tanpa menyadari apa yang sedang mereka perbuat, dan juga mereka yang berbuat tidak pada jalan tauhid yang lurus dan kemudian tidak bertobat, maka mereka akan ditimpa ‘adzab (adzab). ‘Adzdzab berarti ‘menyebabkan kerusakan atau kesakitan, hukuman, siksaan’. Pada saat yang sama, ‘adzuba, dari akar kata yang sama, berarti ‘bersikap manis, menyenangkan, ramah’. Inilah contoh gamblang tentang bagaimana makna yang berlawanan terkandung dalam kata yang sama. Maka siksaan neraka (jahannam) merupakan suatu aspek penyucian dan keadilan.

Ḥaraqa berarti ‘membakar’. Adegan yang digambarkan dalam ayat-ayat sebelumnya dibalikkan. Sementara mereka yang dibakar dalam lubang adalah pemenang, mereka yang membakarnya akan berakhir sebagai orang-orang yang akan dibakar secara hakiki. Mereka akan menerima hukuman atas apa yang mereka sebabkan sendiri sehingga mereka sebenarnya mendatangkan hukuman atas diri mereka sendiri.

إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ذلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيْرُ

  1. Sesungguhnya, mereka yang beriman dan berbuat kebaikan, mereka akan mendapat surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai—itulah kemenangan yang besar!

Dan mereka yang, seperti penghuni lubang api, memiliki iman dan mewujudkannya ke dalam perbuatan yang patut disertai niat yang benar, akan mendapatkan surga yang dialiri dengan sungai-sungai gaib. Kesuburannya bahkan tercermin sekarang dalam kecemerlangan wajah-wajah mereka. Itulah kemenangan yang besar dan terakhir. Fawz, yang berarti ‘kemenangan’, mengandung arti kemenangan mencapai keselamatan, dan itulah tujuan terakhir dari si calon pemenang.

إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيْدٌ

  1. Sesungguhnya, cengkaman Tuhanmu sangatlah kuat.

Bathasya berarti ‘mencengkam dengan keras’, Ini berkenaan dengan saat-saat ketika sesuatu menimpa kita secara dahsyat, dengan tak diduga-duga. Jika kita mengatakan bathasya bihi, maksudnya adalah ‘dia menyerangnya’, apakah dalam kemarahan atau karena balas dendam. Syadīd berarti ‘kuat, dahsyat, keras, hebat, kasar’. Serangan ini mungkin datang secara tiba-tiba dan tak terduga pada saat kematian di kehidupan ini, atau di kehidupan mendatang pada saat pengadilan.

إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَ يُعِيْدُ

  1. Dialah Yang mengawali dan mengulang penciptaan.

Tuhan adalah asal segala sesuatu dan segala sesuatu akan kembali kepada-Nya. Ayat ini berkenaan dengan awal kehidupan seseorang, kesadaran individunya dan pengembalian terakhir kesadaran individunya kepada kesadaran total terhadap Allah, atau ke awal kehidupan jasmaniah itu sendiri dan kembalinya kehidupan ke sumbernya. Semua ini hanyalah sebagian dari makna yang mungkin dari ayat ini.

وَ هُوَ الْغَفُوْرُ الْوَدُوْدُ

  1. Dan Dia adalah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang,

Kata yang digunakan di sini untuk mengungkapkan sifat dari Yang Maha Pengampun (al-Ghafūr) berasal dari kata kerja ghafara, yang asalnya berarti ‘menutupi’. Pengampunan tidak bisa diartikan mengabaikan atau membatalkan apa yang telah terjadi dan dicatat. Karena untuk setiap aksi ada reaksi, sifat sesungguhnya dari pemaafan adalah bahwa dengan mengakui dan berpaling dari suatu pelanggaran, maka kita menyeru sumber kasih sayang dan ampunan untuk melindungi dan mencegah kita dari berbagai pengaruh negatif. Ketika menyeru, Sifat al-Ghafūr akan menangkis dan mengubah gema dari segala perbuatan salah kita.

Wadūd (Yang Maha Pengasih) berasal dari salah satu kata ‘Arab yang bermakna ‘mencintai’. Kata yang lebih umum digunakan untuk cinta, ḥubb, adalah cahaya wudd sejati, atau widd (cinta, kasih sayang). Dua-duanya bermakna cinta, tapi jika widd-nya murni dan memancar secara terbuka, maka ia menjadi ḥubb. Seluruh penciptaan bergantung kepada cinta.

ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيْدُ

  1. Tuhannya Singgasana, Yang Mahaagung.

‘Arsy berarti ‘singgasana’ dari kata ‘arasya yang berarti ‘menegakkan, membangun atau menyusun’. Keseluruhan penciptaan berada di atas fondasi ini, yakni struktur halus dari materi yang di atasnya Allah telah ‘menentukan’ penciptaan dan meresap pada Kekuasaan Ilahiah-Nya yang mutlak. Dia ‘duduk’ di atasnya, laksana seorang raja duduk di atas sebuah singgasana.

فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيْدُ

  1. Yang mengerjakan apa yang Dia kehendaki.

Kehendak Allah akan dilaksanakan. Perbuatan-Nya akan dinampakkan. Perbuatan Allah mengikuti hukum penciptaan, dan hukum penciptaan dibangun di atas ‘arsy (singgasana). Dalam kisah penciptaan sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, kita menemukan bahwa pada mulanya singgasana Allah tergantung di atas air, yang berarti bahwa penciptaan lebih bergantung pada kecairan daripada kepadatan.

هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ الْجُنُوْدِ

  1. Sudah sampaikah kepadamu cerita tentang balatentara,

فِرْعَوْنَ وَ ثَمُوْدَ

  1. Tentang Fir‘aun dan Tsamūd?

Ini adalah contoh lain tentang suatu bangsa atau kaum yang memberontak terhadap pesan kebenaran dan akibatnya dibinasakan. Hal yang sama terjadi pada kaum Ukhdūd di Yaman. Dalam contoh ini kaum tersebut sepenuhnya dalam kekuasaan Fir‘aun. Junūd (tentara, gerombolan, pasukan) menunjuk kepada para malaikat yang tidak punya jalan untuk menginterpretasikan apa pun, atau bergerak ke arah mana pun kecuali melalui garis yang benar-benar lurus. Rujukan kepada kaum Fir‘aun dan Tsamūd memberi kita contoh lain tentang bagaimana berbagai peradaban dan kultur ‘besar’ dihancurkan, meskipun mereka memiliki akses menuju bentuk-bentuk pengetahuan yang lebih tinggi.

بَلِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِيْ تَكْذِيْبٍ

  1. Tidak! Bahkan orang-orang tidak beriman gigih mendustakan kebenaran.

Para penyangkal kebenaran itu berdusta. Artinya mereka sedang berdusta kepada diri mereka sendiri. Mereka menutupi dan melindungi diri dari berhubungan dengan kebenaran di luar maupun di dalam diri mereka.

وَ اللهُ مِنْ وَرَائِهِمْ مُّحِيْطٌ

  1. Dan Allah melingkupi mereka di segala sudut.

Allah adalah al-Muḥīth (Maha Melingkupi). Muḥīth dari sebuah lingkaran adalah kelilingnya. Melingkari sesuatu berarti menahannya, dan dengan demikian menguasainya. Ayat ini bermakna bahwa Allah berada pada suatu tempat yang tak terlihat oleh mereka, suatu tempat yang tidak mereka ketahui, yang tidak terjangkau oleh pandangan mereka. Nabi Muḥammad biasa mengatakan, “Aku bisa melihatmu dari punggungku“, artinya bahwa beliau mengetahui apa yang sedang dilakukan orang-orang di belakang beliau karena beliau berada dalam keadaan mengetahui total. Ini bukanlah daya tanggap di luar pancaindera melainkan suatu kepekaan tingkat tinggi yang tidak bisa dimiliki oleh orang lain. Orang-orang yang demikian kasar sehingga mengakibatkan ketidakadilan kepada orang lain tidak bisa mengetahui keadilan sejati yang bersifat halus, yang akhirnya berlaku baik di sini dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan akan datang. Hukum Allah berlaku bagi mereka saat ini juga. Meskipun mereka mungkin menolaknya, namun mereka sudah berada di halaman pengadilan-Nya.

بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيْدٌ

  1. Ya, memang! Itu adalah Quran yang mulia!

Itulah realitas menurut sebuah Kitab yang tidak berubah. Ia ditulis hingga tuntas; ia tidak sembarangan. Apa yang ditulis dan apa yang telah diuraikannya merupakan suatu gambaran umum mengenai penciptaan yang harus berupaya kita baca. Namun, upaya itu harus mengikuti jalan tertentu yang sudah ditetapkan, yakni upaya yang berjalan tidak menurut tingkah kita tapi mengikuti batas-batas, karena segala sesuatu ada batas-batasnya.

فِيْ لَوْحٍ مَّحْفُوْظٍ

  1. Dalam lembaran (loh) yang terjaga.

‘Dalam lembaran yang terjaga’ terpelihara selamanya. Ia tidak hancur, sekalipun oleh Mūsā yang membanting lembaran-lembaran batu hingga hancur, karena salinannya dipelihara selamanya. Setiap orang adalah salinan dari lembaran yang terjaga. Masing-masing kita membawa salinan kesadaran yang sama. Salinan Al-Qur’an berada dalam hati, tapi kita harus berupaya membacanya. Membacanya berarti menghidupkannya, dan menghidupkannya berarti menyatukan lahir dengan batin. Jika kita tidak melakukannya, maka kita menjadikan al-Qur’an hanya sebagai lembaran-lembaran kertas cetak belaka. Seakan-akan kita mempunyai sekotak vitamin yang tak pernah kita gunakan, sekalipun saat kita sakit dan membutuhkannya. Karena lembaran yang terjaga itu dipelihara selamanya, maka sifat abadinya inilah yang memberinya rahmat. Ia tetap selamanya. Bahkan hukum-hukum yang mengatur hal yang nampaknya sementara pun sudah pasti dan tidak berubah. Kaki langit yang kokoh, sistem di mana hukum berlaku, berubah. Tapi, hukum untuk dunia yang nampak ataupun tidak nampak sendiri tidak berubah sepanjang eksistensi ini terus berjalan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *