Hati Senang

Surah al-Buruj 85 ~ Tafsir al-Jailani

Dari Buku: TAFSIR al-Jaelani Oleh: Syekh ‘Abdul-Qadir Jaelani Penerjemah: Abdul Hamid Penerbit: PT. SAHARA intisains

Surah ke 85; 22 ayat
Al-Burūj
(gugusan bintang ).

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Pembuka Surah al-Burūj

Orang yang dapat memastikan keberadaan langit nama ketuhanan yang berisi semua bintang ‘alam jabarūt dan istana-istana kerajaan ‘alam malakūt yang dianugerahkan kepada penduduknya atas kemurahan Sang Maha Pengasih; pasti mengetahui bahwa untuk bisa sampai ke alam tersebut dan mendapatkan isinya, hanya bisa dilakukan dengan mudah oleh orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dan mengabaikan keinginan watak kemanusiaannya, dan oleh orang yang bersahabat dengan penduduk alam ketuhanan dan sebagian besar kaum fakir.

Tidak diragukan lagi bahwa terjalinnya persahabatan dengan mereka hanya bisa terjadi pada saat ada tarikan Ilahi (jadzbah ilāhiyah) yang menguasai diri seseorang. Tarikan Ilahi ini didahului degnan adanya maḥabbah dan mawaddah yang berlimpah, yang mengantarkannya menuju kefana’an dengan al-maḥbūb-ul-ḥaqīqī (Allah s.w.t.). Maḥabbah hanya bisa tumbuh jika ada perasaan rindu yang menggelora, sedangkan perasaan rindu muncul dari adanya keinginan dan pencarian yang berasal dari ‘azīmah (kemauan kuat) yang bersih. Adapun ‘azīmah tidak bisa menjadi suci dan bersih dari berbagai macam kotoran tabiat selain dengan melakukan khalwat dan ‘uzlah (pengasingan diri) dari manusia, senantiasa menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik, qana‘ah, ridha, berserah diri, dan tawakkal kepada Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana dengan cara meninggalkan kehidupan duniawi.

Semua itu didahului dengan iringan taufiq, bersabar dalam menghadapi berbagai macam kesulitan saat menjalankan ketaatan dan ibadah, serta melakukan riyādhah (pelatihan jiwa) untuk mencabut berbagai kehendak kemanusiaan yang kuat, yang diwariskan dari kekuatan tabiat.

Orang-orang yang tenggelam dalam lautan kelalaian dan kesesatan, tidak akan bisa bersahabat dengan Dzat Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi. Karena itulah, secara tegas mereka dilaknat dan dicampakkan dari area penerimaan dan pencapaian yang terhormat, sebagaimana yang dikatakan Allah s.w.t. tentang pengusiran dan pelaknatan mereka, melalui sumpah-Nya dengan berbagai perkara yang agung. Setelah memberikan keberkahan, Allah s.w.t. berfirman: (بِسْمِ اللهِ) [Dengan menyebut nama Allah] yang tersingkap pada semua makhluk sesuai dengan nama-nama dan sifat-sifatNya, demi untuk menunjukkan kekuasaan-Nya yang sempurna, (الرَّحْمنِ) [Yang Maha Pemurah] kepada semua makhluk, sebagai penyempurnaan bagi pengasuhan-Nya, (الرَّحِيْمِ) [lagi Maha Penyayang] kepada satu macam manusia, untuk mengagungkan hikmah dan kemaslahatan-Nya yang dititipkan pada kehidupannya.

Ayat 1.

(وَ السَّمَاءِ) [Demi langit] nama-nama dan sifat-sifat yang bercahaya dan memancarkan sinarnya di alam ketuhanan, (ذَاتِ الْبُرُوْجِ) [yang mempunyai gugusan bintang] dari jiwa-jiwa suci yang menerima pantulan sinarnya dan disiapkan untuk meraih limpahan cahaya Dzat-Nya.

Ayat 2.

(وَ الْيَوْمِ الْمَوْعُوْدِ) [Dan hari yang dijanjikan] untuk menunjukkan keterjelasan dan ketersingkapan yang sempurna, yang terpantul dari alam keesaan saat hilangnya uraian nama dan sifat dari keterjelasan.

Ayat 3.

(وَ) [Dan] bersatunya (شَاهِدٍ وَ مَشْهُوْدٍ) [yang menyaksikan dan yang disaksikan] dalam pandangan panca indera. Wahai orang-orang yang terhalang dari Allah s.w.t., yang dicampakkan dari area kehadiran-Nya yang mulia, dan yang dilaknat, kalian semua tidak diizinkan untuk berada di bawah naungan dan sisi-Nya. Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kafir Makkah yang dilaknat Allah s.w.t. Sebab surah ini turun untuk memberi dukungan kepada kaum Mu’min dalam menghadapi berbagai macam tindakan menyakitkan yang menimpa mereka, di mana dukungan ini diwujudkan dalam bentuk seperti:

Ayat 4.

(قُتِلَ) [Telah dibinasakan] dan dilaknatnya (أَصْحَابُ الْأُخْدُوْدِ) [orang-orang yang membuat parit].

Terkait dengan pembuat parit ini, diriwayatkan bahwa ada seorang raja yang memiliki seorang penyihir sehingga sang raja berlaku sombong. Lalu ada seorang anak yang bergabung dengan si penyihir untuk belajar sihir darinya. Di sela-sela waktunya belajar sihir, si anak mendengar suatu nasehat dari seorang pendeta. Lalu pada suatu hari, dalam perjalanannya, anak itu melihat seekor ular yang berada di tengah jalan sehingga membuat orang-orang tidak berani melintasi jalan tersebut. Maka ia pun mengambil sebongkah batu, lalu berkata: “Ya Allah, seandainya si pendeta lebih Engkau cintai dibandingkan si penyihir, maka aku akan membunuh ular ini.” Akhirnya, si anak dapat membunuhnya. Dan setelah itu, ia dapat menyembuhkan berbagai penyakit lainnya.

Pada suatu hari, anak tersebut menyembuhkan salah seorang penasehat raja dari kebutaannya hingga akhirnya si penasehat itu masuk Islam. Lalu sang raja bertanya kepada penasehatnya: “Siapakah yang menyembuhkanmu?” Si penasehat menjawab: “Rabbku” Mendengar jawaban itu, sang raja langsung marah kepadanya, lalu menyiksanya hingga akhirnya si penasehat menunjuk kepada si anak. Sang raja pun menyiksa si anak, dan si anak menunjuk kepada si pendeta. Sang raja pun memotong-motong tubuh si pendeta dengan gergaji. Lalu ia membawa si anak ke gunung untuk dilemparkan dari puncaknya. Tindakan ini membuat orang-orang gemetar sehingga mereka pun pergi menjauh. Namun si anak tetap selamat. Lalu sang raja membawa si anak ke kapal untuk ditenggelamkan, namun ternyata kapal itu terbalik hingga selamatlah si anak dengan orang-orang yang berada di atas kapal.

Akhirnya si anak berkata kepada raja: “Kamu tidak akan dapat membunuhku sampai kamu mengambil anak panah dari tabung anak panahku, lalu kamu mengucapkan: (بِسْمِ اللهِ رَبِّ الْغُلَامِ). Kemudian kamu memanahku dengan anak panah itu.” Akhirnya sang raja memanahnya seraya mengucapkan (بِسْمِ اللهِ رَبِّ الْغُلَامِ) hingga anak panah itu mengenai pelipisnya. Lalu si anak meletakkan tangannya di atas lukanya, dan akhirnya ia meninggal dunia. Peristiwa ini membuat orang-orang beriman.

Lalu dikatakan kepada sang raja: “Apa yang kamu khawatir telah terjadi kepadamu.” Maka sang raja memerintahkan untuk menggali parit, lalu menyalakan api di dalamnya. Siapa pun yang tidak mau kembali dari agamanya, ia lemparkan ke dalam kobaran apai hingga akhirnya tiba giliran seorang wanita bersama bayi lelakinya yang masih menyusu. Saat si wanita mulai melangkah mundur karena merasa takut, bayi yang ada dalam gendongan berkata kepadanya – berdasarkan ilham dari Allah s.w.t. dan seperti halnya yang terjadi pada Nabi ‘Īsā a.s. – padahal saat itu belum waktunya ia bisa berbicara: “Wahai ibu, bersabarlah! Sesungguhnya kamu berada di jalan yang benar.”

Ayat 5.

Akhirnya si wanita itu menerobos (النَّارِ) [api], kata api di sini sebagai ganti dari kata parit, (ذَاتِ الْوَقُوْدِ) [yang (dinyalakan dengan) kayu bakar] yang banyak untuk mengintimidasi mereka dengan nyala dan kobarannya yang begitu besar, dan untuk mencegah mereka dari pilihan mereka serta mengembalikan mereka dari agama Islam dan tauhid.

Ayat 6.

Ketika orang-orang beriman dilemparkan ke dalam parit, nyala apinya semakin menggelora, lalu jilatannya menyerang dan membakar banyak sekali kalangan pemberani dari orang-orang yang zhalim (إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُوْدٌ) [ketika mereka duduk di sekitarnya], yakni duduk di kursi yang diletakkan di sekeliling parit yang dipenuhi dengan kobaran api.

Ayat 7.

(وَ هُمْ) [Sedang mereka], yakni para pemimpin orang-orang zhalim, (عَلَى مَا يَفْعَلُوْنَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ شُهُوْدٌ) [menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman], mereka menjadi pengawas sekaligus penyidik dari pihak raja. Sang raja mendudukkan mereka di sekeliling parit supaya para tentara tidak menganggap remeh perintah sang raja untuk membinasakan kaum beriman dan melemparkan mereka ke dalam api.

Ayat 8.

(وَ مَا نَقَمُوْا) [Dan mereka tidak menyiksa], yang dimaksud “mereka” di sini adalah orang-orang zhalim yang tenggelam dalam lautan kesesatan dan permusuhan. (مِنْهُمْ) [orang-orang Mukmin] dengan siksaan yang kejam dan mengerikan semacam ini, (إِلَّا) [melainkan karena] mereka tidak menyukai kaum Mu’min dan merasa enggan untuk (أَنْ يُؤْمِنُوْا بِاللهِ) [beriman kepada Allah] yang Tunggal Esa, yang menjadi tempat bergantung segala sesuatu, Maha Hidup, Maha Membangkitkan, yang layak untuk diimani dan ditaati: (الْعَزِيْزِ) [Yang Maha Perkasa], Maha Mengalahkan, dan Maha Memaksa makhluk secara mutlak: (الْحَمِيْدِ) [lagi Maha Terpuji] yang berhak mendapatkan berbagai macam pujian dan penghormatan atas dzat dan sifat-Nya.

Ayat 9.

Bagaimana mungkin Allah s.w.t. bukan Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, padahal Dia adalah Dzat Maha Kuasa (الَّذِيْ لَهُ) [yang mempunyai] – dan dalam cakupan kekuasaan dan kehendak-Nya – (مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ) [kerajaan langit dan bumi], yakni semua makhluk yang ada di bagian atas dan bagian bawah serta yang ada di antara keduanya. (وَ) [Dan] bagaimana tidak demikian, sedang Dia adalah (اللهُ) [Allah] yang independen dengan sifat ketuhanan-Nya dan terhadap (عَلَى كُلِّ شَيْءٍ) [segala sesuatu] yang tertimpa oleh kilauan sinar keberadaan-Nya, Dia (شَهِيْدٌ) [Maha Menyaksikan] lagi Maha Melihat.

Ayat 10.

Ringkasnya, (إِنَّ) [sesungguhnya] orang-orang yang melampaui batas dan berbuat kerusakan, (الَّذِيْنَ فَتَنُوا) [yang mendatangkan cobaan] dan membakar (الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ) [orang-orang Mu’min laki-laki dan perempuan] dengan zhalim dan penuh permusuhan karena membenci hidayah dan keimanan mereka. (ثُمَّ) [Kemudian] setelah mereka melakukan berbagai hal yang melampaui batas, (لَمْ يَتُوْبُوْا) [mereka tidak bertobat] kepada Allah s.w.t. tidak mau kembali kepada-Nya dari kezhaliman mereka, dan tidak mau memohon ampunan yang disertai dengan penyesalan yang mendalam, (فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ) [maka bagi mereka adzab Jahannam] yang menjauhkan dan menghalangi mereka untuk mendapatkan kasih-sayang dan karunia-Nya. (وَ لَهُمْ) [Dan bagi mereka] yang kufur terhadap Allah s.w.t. dan mengingkari keesaan-Nya, akan mendapatkan (عَذَابُ الْحَرِيْقِ) [adzab (neraka) yang membakar], sebagai ganti atas perbuatan mereka yang telah membakar orang-orang beriman di dalam parit.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.