“Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?”; seharusnya dia menghabiskan uangnya untuk melewati jalan mendaki yang sulit sebagai dari pada menghabiskannya dalam memusuhi Muḥammad s.a.w. Dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth disebutkan, jalan mendaki maksudnya amal perbuatan yang berat bagi jiwa karena mengorbankan harta benda. Amal tersebut diserupakan dengan jalan gunung yang sulit didaki. Abū Asyād tentu merasakan berat dan sulit dalam melewati jalan. (10401) Ini adalah perumpamaan yang dibuat Allah agar seseorang memerangi nafsu, kesenangan dan setan, agar dia meraih ridha Allah. “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan”; apa yang kamu ketahui apa itu jalan sulit? Ini mengagungkan dan membesarkan jalan sulit tersebut. Kemudian Allah menjelaskannya dengan firman: “melepaskan budak dari perbudakan.” Jalan sulit adalah memerdekakan seseorang di jalan Allah dan menyelamatkan manusia, maka ia menjadi tebusannya dari neraka. “atau memberi makan pada hari kelaparan”; atau dia memberi makan orang miskin pada hari yang sulit dan kelaparan. Ash-Shāwī berkata: “Memberi makan dibatasi dengan masa kelaparan, sebab memberi saat itu lebih berat bagi jiwa.” (10412) “(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat”; memberi makan kepada anak yatim yang masih ada hubungan famili. “atau orang miskin yang sangat fakir”; atau memberi makan orang miskin yang fakir dan “menempel bumi” karena kemiskinannya. “Dzā matrabah” (arti asalnya menempel di bumi). Ini kinayah yang artinya dia sangat miskin dan menderita. Ibnu ‘Abbās berkata: “Yaitu orang yang dilemparkan ke tanah tanpa ada sesuatu yang melindunginya dari debu.”
“Dan dia termasuk orang-orang yang beriman”; dia melakukan ibadah-ibadah tersebut karena ridha Allah. Di samping itu, dia beriman kepada Allah dengan iman yang benar. Ulama tafsir berkata: “Ayat ini mengisyaratkan, ibadah-ibadah tersebut tidak ada manfaatnya tanpa iman.” “dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang”; sebagian dari mereka berpesan kepada yang lain untuk sabar dalam keimanan dan ketaatan kepada Allah serta kasih-sayang kepada kaum dhu‘afa’ dan orang miskin: “Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan”; orang-orang yang mempunyai sifat-sifat agung tersebut adalah penghuni surga yang mengambil dokumen amal perbuatannya dengan tangan kanan dan mereka sukses masuk surga. “Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri”; Al-Qur’an menggandengkan penjelasan orang-orang yang berbakti dan orang-orang yang durhaka sebagai bentuk metode mendorong dan memperingatkan (targhib dan tarhib). Ini untuk menjelaskan perbedaan yang jelas antara ahli surga dan ahli neraka, antara orang yang beruntung dan orang yang celaka. Orang yang celaka adalah yang menentang kenabian Muḥammad dan mendustakan al-Qur’an. Mereka itulah golongan kiri dan ahli neraka. Mereka menerima catatan amal perbuatan mereka dengan tangan kiri. Allah meredaksikan mereka dengan dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga) untuk mengisyaratkan bahwa mereka dihilangkan dari hadirat kesucian-Nya dan kemuliaan-Nya. “Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat”; mereka berada dalam neraka yang tertutup dan terkunci, tidak ada angin maupun bau sedap memasukinya. Mereka tidak akan keluar darinya untuk selamanya. (10423) Ya Allah, janganlah Engkau matikan kami dengan murka-Mu, janganlah Engkau binasakan kami dengan siksa-Mu, selamatkanlah kami dari hal itu, ya Tuhanku.
Dalam sūrat-ul-Balad terdapat sejumlah keindahann bahasa sebagaimana berikut:
Pertama, menambahkan (لَا) untuk menguatkan kalimat. Hal ini sangat banyak di dalam ucapan bangsa ‘Arab dan faedahnya adalah menguatkan sumpah:
لَا أُقْسِمُ بِهذَا الْبَلَدِ.
“Aku sungguh bersumpah demi negeri ini”
Kedua, jinās isytiqāq.
وَ وَالِدٍ وَ مَا وَلَدَ.
Ketiga, istifhām ingkarī untuk menegur:
أَيَحْسَبُ أَنْ لَّنْ يَقْدِرَ عَلَيْهِ أَحَدٌ.
“Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-kali tiada seorang pun yang berkuasa atasnya?”
Demikian juga dalam ayat:
أَيَحْسَبُ أَنْ لَّمْ يَرَهُ أَحَدٌ.
“Apakah dia menyangka bahwa tiada seorang pun yang melihatnya?”
Keempat, istifhām taqrīrī (pertanyaan untuk menetapkan) untuk mengingatkan nikmat-nikmat Allah:
أَلَمْ نَجْعَلْ لَّهُ عَيْنَيْنِ. وَ لِسَانًا وَ شَفَتَيْنِ.
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir”
Kelima, istifhām untuk mengacam dan mengagungkan:
وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ.
Sebab inti ayat adalah mengagungkan jalan sulit itu.
Keenam, isti‘ārah yang lembut:
وَ هَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ.
“Dan Kami tunjukkan kepadanya dua jalan”
Yakni jalan kebaikan dan jalan keburukan. Makna asalnya adalah jalan yang tinggi.
Ketujuh, isti‘ārah (sejenis perumpamaan):
فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ.
“Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?”
Makna asal (الْعَقَبَةَ) adalah jalan yang sulit di gunung. Di sini diartikan amal saleh, sebab amal saleh sulit dan berat bagi jiwa. Isti‘ārah ini disebut tabaiyyah.
Kedelapan, jinās nāqish (dua kata mirip tapi tidak sejenis, hanya harakatnya yang mendekati sama) antara (مَقْرَبَةٍ) dan (مَتْرَبَةٍ).
Kesembilan, perbandingan yang lembut antara:
أُولئِكَ أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ.
“Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan”
Dan:
هُمْ أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ
“Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri”
Kesepuluh, keserasian akhir ayat dari sisi lafazhnya, misalnya:
لَا أُقْسِمُ بِهذَا الْبَلَدِ. وَ وَالِدٍ وَ مَا وَلَدَ. لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍ.
Dan
عَيْنَيْنِ. وَ لِسَانًا وَ شَفَتَيْنِ.
Ini termasuk badī‘ yang mengindahkan.