Surat al-Balad bermakna negeri. Diturunkan di Makkah sesudah surat al-Qāf, terdiri dari 20 ayat.
Surat ini mengandung sumpah bahwa manusia selalu dalam kepayahan, dan orang yang terpedaya oleh kemegahan selalu merasa tidak ada orang yang dapat menandingi dirinya.
Selain itu, surat ini juga menjelaskan tentang beberapa nikmat Allah yang diberikan kepada manusia dan mengajak mereka untuk menempuh pendakian yang sulit. Hal lain yang dijelaskan dalam surat ini adalah kaum kanan yang akan hidup bahagia dan kaum kiri yang akan hidup di neraka untuk selama-lamanya.
Persesuaian antara surat yang telah lalu (al-Fajr) dengan surat ini adalah:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya.
لَا أُقْسِمُ بِهذَا الْبَلَدِ.
Lā uqsimu bihādzal balad.
“Aku tidak bersumpah dengan negeri ini.” (11) (al-Balad [90]: 1)
Allah tidak bersumpah dengan negeri Makkah yang telah dimuliakan dan dijadikan sebagai Daerah Ḥarām yang aman. Di kota itu terletak al-Bait-ul-Ḥarām yang selalu dikunjungi manusia muslim dari segenap penjuru dunia dan menjadi qiblat setiap muslim saat shalat. Di kota ini pula terdapat maqam Ibrāhīm dan dari lembahnya bersinar cahaya wahyu.
Kata “lā” di sini merupakan “lā zā’idah” (tambahan)”. Sebagian ahli tafsir memandang “lā nafiyah” yang artinya “tidak”, sehingga ma‘na ayat ini adalah Aku tidak bersumpah dengan negeri ini.
وَ أَنْتَ حِلٌّ بِهذَا الْبَلَدِ.
Wa anta ḥillum bihādzal balad.
Engkau pun, Muḥammad, bermukim di wilayah ini. Bahkan, keberadaanmu menyebabkan kemuliaan untuk wilayah ini.
Firman ini memberi pengertian bahwa Makkah merupakan wilayah yang mulia, walaupun penduduknya ketika itu tidak menghormati dan tidak menghargai garis-garis yang sudah ditentukan oleh Allah.
وَ وَالِدٍ وَ مَا وَلَدَ.
Wa wālidiw wa mā walad.
“Dan bapak serta anaknya.” (al-Balad [90]: 3)
Allah bersumpah dengan semua makhlūq yang mempunyai anak (yang tua) ataupun yang menjadi anak, baik manusia maupun hewan. Allah bersumpah dengan hal-hal itu bertujuan menarik perhatian kita terhadap ketinggian kedudukan perkembangan kejadian manusia. Pada mulanya manusia berupa satu sel sperma, yang telah berkumpul dengan sel telur, secara berangsur-angsur berkembang dari fase ke fase sampai akhirnya lahirlah manusia dengan sempurna. Perkembangan kejadian itu memerlukan perhatian kita sepenuhnya untuk memelihara dan menyelamatkan dari kebinasaan.
Allah menyebutkan hal ini sebagai suatu isyarat bahwa kota Makkah telah melahirkan sorang putra yang menjadi kemegahan dan kebanggaan bagi seluruh manusia di dunia.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍ.
Laqad khalaqnal insāna fī kabad.
“Demi Allah, sesungguhnya Kami menciptakan manusia untuk perjuangan (bersusah payah).” (al-Balad [90]: 4)
Allah telah menjadikan hidup manusia itu bagaikan rantai perjuangan yang terus-menerus. Manusia kerapkali mengalami berbagai macam kesulitan dan kepahitan, sejak masih berada di dalam kandungan ibunya sampai menjadi seorang manusia yang sempurna. Semakin tumbuh besar satu bertambah usia semakin bertambah banyak kesulitannya. Dia perlu mencari rezeki, mendidik anak, menghadapi berbagai macam peristiwa dan bersabar untuk menaati Allah dan tunduk kepada-Nya. Menderita sakit, mati, dan dikuburkan. Bahkan di akhirat juga mengalami berbagai macam kesukaran, yang kesemuanya itu memerlukan usaha keras (perjuangan) untuk mengatasinya.
أَيَحْسَبُ أَنْ لَّنْ يَقْدِرَ عَلَيْهِ أَحَدٌ.
Ayaḥsabu anllay yaqdira ‘alaihi aḥad.
“Apakah dia mengira bahwa tidak ada seorang pun yang menguasainya?” (al-Balad [90]: 5)
Apakah orang yang terpedaya dengan kekuatan dirinya dan dengan kenikmatan yang telah diberikan kepadanya menyangka bahwa dia telah sampai kepada suatu kedudukan yang tidak dapat diganggu-gugat? Alangkah bodohnya manusia, jika dia menyangka seperti itu. Bahkan, dalam alam wujud ada satu tenaga yang menguasai segala macam tenaga, yang menguasai semua kekuasaan, yaitu kekuasaan Ilahi yang tidak ada bandingannya.
يَقُوْلُ أَهْلَكْتُ مَالًا لُّبَدًا.
Yaqūlu ahlaktu mālal lubadā.
“Dia mengatakan: “Aku telah memboroskan harta yang banyak.” (al-Balad [90]: 6)
Ada golongan yang kaya, tetapi apabila diminta supaya menjalankan suatu ‘amal kebajikan, mereka berkata: ‘Kami telah membelanjakan banyak harta untuk perbuatan-perbuatan yang mulia. Yaitu, pekerjaan dan perbuatan kebajikan yang dipandang mulia oleh Allah.”
أَيَحْسَبُ أَنْ لَّمْ يَرَهُ أَحَدٌ.
Ayaḥsabu anllam yarahū aḥad.
“Apakah dia mengira bahwa tidak ada seorang pun yang memperhatikan?”. (al-Balad [90]: 7)
Orang yang tertipu dengan kekayaan hartanya dan mengaku bahwa dia telah mempergunakan hartanya pada jalan kebajikan, mengira Allah tidak mengetahui perbuatan dia dan tidak mengetahui niat yang terkandung di dalam hatinya. Sesungguhnya dia tidak layak berpikiran seperti itu, sebab Allah sangat mengetahui isi hatinya, dan tidak sedikit pun yang tersembunyi bagi-Nya.
Ada yang meriwayatkan bahwa firman Allah ini turun mengenai Abil-Asad, Usaid ibn Kaladah al-Jumahī, yang bersikap congkak dan sombong karena dia berbadan kuat. Ada pula yang menyatakan bahwa firman Allah ini diturunkan mengenai al-Ḥārits ibn ‘Āmir Naufal yang mengatakan bahwa dia telah mengeluarkan banyak harta untuk memberi kaffarat sejak dia menaati seruan Muḥammad.
Baik ayat ini turun mengenai mereka atau orang lain, yang jelas ma‘nanya bersifat umum yang berlaku untuk semua manusia.
أَلَمْ نَجْعَلْ لَّهُ عَيْنَيْنِ.
Alam naj‘al lahu ‘ainain.
“Bukankah Kami telah membuatkan dua mata baginya?.” (al-Balad [90]: 8)
Apabila manusia melihat sesuatu, hal itu tidak lain karena Kami (Allah) telah menjadikan dua mata baginya. Nikmat yang sangat berharga itu adalah pemberian Kami.
وَ لِسَانًا وَ شَفَتَيْنِ.
Wa lisānaw wa syafatain.
“Dan lidah dan dua bibir?” (al-Balad [90]: 9)
Ketika manusia ingin mengemukakan isi hatinya, dia dapat melakukan hal itu karena Kami telah memberikan lidah dan bibir kepadanya. Keutamaan memberi lidah dan bibir itu kembali kepada Allah, bukan kembali kepada manusia sendiri.
وَ هَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ.
Wa hadaināhu najdain.
“Kami juga menunjuki dia dua jalan raya?” (al-Balad [90]: 10)
Kami telah menanamkan kemampuan untuk membedakan antara kebajikan dan kejahatan (kemaksiatan) dalam fitrah manusia. Selain itu, Kami juga memberikan akal pikiran kepadanya yang dapat menyadarkan dia. Kami tegakkan berbagai dalil yang dapat menunjuki dia kepada kebajikan, di samping Kami menunjukkan jalan-jalan kejahatan (kemaksiatan) supaya dia dapat menjauhinya. Kami berikan pula kesanggupan untuk memilih salah satu jalan tersebut, karena Kami telah memberikan kemampuan untuk membedakan dan memilih.
فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ.
Falaqtaḥamal ‘aqabah.
“Maka, mengapakah dia tidak berusaha menempuh jalan yang mendaki?” (22) (al-Balad [90]: 11)
Apakah tidak lebih baik, jika manusia itu melawan nafsu dan syaithan, serta tekun mengerjakan ‘amal kebaikan. Untuk naik dari alam pancaindera ke alam cahaya, manusia memang harus melalui berbagai pendakian (tahap) dan untuk melewati pendakian-pendakian itu manusia harus melakukan kebajikan.
وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ.
Wa mā adrāka mal ‘aqabah.
“Mengertikah kamu, apakah jalan yang mendaki itu?” (al-Balad [90]: 12)
Mengertikah kamu, bagaimana caranya melewati pendakian-pendakian itu atau bagaimana mengatasi berbagai kesukaran yang dihadapi untuk bisa tetap melakukan kebajikan?
Allah menjelaskan bahwa untuk melampaui pendakian atau mengatasi berbagai kesukaran dalam mencapai ketinggian rohani adalah dengan melakukan berbagai macam kebajikan, antara lain:
فَكُّ رَقَبَةٍ.
Fakku raqabah.
“Yaitu memerdekakan hamba sahaya.” (33) (al-Balad [90]: 13)
Memerdekakan budak atau memberikan pertolongan kepada budak supaya dia dapat memerdekakan diri.
Ketika sistem perbudakan telah dihapuskan seperti sekarang ini sehingga tidak ada perbudakan lagi, maka pengertian perbudakan bisa diperluas tidak hanya dalam arti secara fisik, tetapi juga perbudakan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Artinya, orang-orang yang diperbudak (ditindas) secara politik, ekonomi, dan sosial, sehingga tidak bisa bebas melahirkan hak-haknya. Mereka ini tentu sangat memerlukan bantuan untuk bisa benar-benar merdeka dalam semua bidang kehidupan.
أَوْ إِطْعَامٌ فِيْ يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍ. يَتِيْمًا ذَا مَقْرَبَةٍ.
Au ith‘āmun fī yaumin dzī masghabah. Yatīman dzā maqrabah.
“Atau memberi makan pada hari kelaparan. Kepada anak-anak yatim yang dekat.” (al-Balad [90]: 14-15)
Memberi makanan kepada kerabat yang yatim pada saat mereka sangat memerlukan pertolongan.
أَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍ.
Au miskīnan dzā matrabah.
“Atau orang miskin yang sangat membutuhkan.” (al-Balad [90]: 16)
Memberikan makanan kepada orang miskin yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak dapat bekerja karena ‘udzur, seperti sudah lanjut usia, cacat fisik, ataupun cacat mental.
ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ تَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَ تَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ.
Tsumma kāna minal ladzīna āmanū wa tawāshau bish shabri wa tawāshau bil marḥamah.
“Yang demikian itu tidak akan dilakukan, sehingga mejadilah dia orang-orang yang beriman, dan saling berwasiat supaya berhati sabar dan berkasih-sayang.” (44) (al-Balad [90]: 17)
Selain menempuh jalan-jalan pendakian yang penuh kesukaran dengan melaksanakan berbagai ‘amal kebijakan seperti telah disebutkan itu, manusia hendaklah menggolongkan diri ke dalam golongan orang-orang yang beriman dengan benar, sabar menderita gangguan dalam membela kebenaran, merahmati (mengasihi dan menyayangi) hamba Allah, serta memberikan pertolongan kepada mereka. Jelasnya, mengerjakan semua kebajikan haruslah didasari keimanan karena itu syarat ketaatan bisa diterima.
أُولئِكَ أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ.
Ulā’ika ashḥābul maimanah.
“Itulah kaum kanan.” (al-Balad [90]: 18)
Mereka yang menempuh jalan pendakian dengan jalan memerdekakan budak, memberi makanan kepada orang miskin, menolong kaum kerabat pada saat mereka membutuhkan pertolongan, sesudah beriman dan saling berwasiat dalam kesabaran dan berkasih-sayang, itulah orang-orang yang bahagia. Mereka akan menikmati kelezatan surga Jannatun Na‘īm.
وَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِآيَاتِنَا هُمْ أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ.
Wal ladzīna kafarū bi’āyātinā hum ashḥābul masy’amah.
“Adapun orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, itulah kaum kiri.” (al-Balad [90]: 19)
Adapun mereka yang mengingkari ayat-ayat Allah, baik yang berwujud ayat-ayat (fenomena) yang terbentang di alam raya ini ataupun yang berwujud ayat-ayat al-Qur’ān yang disampaikan oleh Rasūl, itulah orang-orang kiri yang ditempatkan di dalam neraka Jaḥīm. Mereka akan terbenam dalam api yang panas dan tetap berada di dalamnya untuk selama-lamanya.
عَلَيْهِمْ نَارٌ مُّؤْصَدَةٌ
‘Alaihim nārum mu’shadah.
“Mereka mendapatkan api yang terkurung.” (al-Balad [90]: 20)
Bertindih-tindih api neraka mengurung mereka, sehingga karenanya mereka tidak bisa melepaskan diri dari ‘adzab neraka.
Dalam ayat-ayat ini Allah menjelaskan bahwa seharusnya orang-orang kafir mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang diterima mereka dan memilih jalan kebajikan. Yaitu melimpahkan sebagian nikmat yang telah diterima mereka itu kepada orang lain dengan jalan memerdekakan budak, menolong anak yatim, memberikan makanan kepada orang miskin, serta menggolongkan diri ke dalam golongan orang yang beriman, saling berwasiat dalam kesabaran dan berkasih-sayang dengan sesama hamba Allah.