Surah al-Balad 90 ~ Tafsir al-Jailani

Dari Buku: TAFSIR al-Jaelani
Oleh: Syekh ‘Abdul-Qadir Jaelani
Penerjemah: Abdul Hamid

Penerbit: PT. SAHARA intisains

Surah ke 090; 20ayat
Al-Balad
(negeri).

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Pembuka Surah al-Balad

Orang yang telah sampai di lokasi hati yang menjadi simbol bagi bait-ul-ḥarām yang hakiki dan ka‘bah ma‘nawi yang di bawahnya dihamparkan tanah persiapan, menjadi tujuan para peziarah yang datang dari segala penjuru, dan menjadi obyek para pelempar yang berasal dari daerah pedalaman dan lembah tabiat; pasti mengetahui bahwa orang yang telah sampai di lokasi tersebut dan mendapat kehormatan untuk bisa thawaf di sekelilingnya serta bisa wuqūf (berdiri) di hadapan Allah s.w.t. dengan niat mematikan keinginan, ber-iḥrām (menjauhkan diri) dari segala macam tuntutan tabiat dan kebutuhan akan fasilitas dari mīāt permintaan dan keinginan yang benar, mandi dengan air zamzam pertobatan dan tidak menaruh perhatian kepada adanya persamaan maupun perbedaan di antara manusia, menelanjangi diri dari pakaian kelalaian dan busana ketertipuan, ber-sa‘i di antara bukit shafā mahabbah dan bukit marwah kasih sayang Ilahi dengan kerinduan dan kecenderungan yang sempurna, berjalan menuju ‘arafah ketuhanan untuk berwuquf, berpaling dari kebutuhan alam manusiawi, menyembelih domba jiwanya demi untuk mendekatkan diri kepada Dzat Maha Hidup yang tidak pernah akan mati, menanggalkan pakaian tubuh dan kebutuhannya di mīnā (tanah lapang) kefa’naan, dan bertransaksi dengan Allah s.w.t. di pasar kekekalan untuk mendapatkan keuntungan yang berupa pertemuan dengan-Nya; maka ia dibolehkan untuk berperang melawan tentara amarah dan kekuatan kaum kafir di tanah haram ketuhanan sampai ia dapat mengalahkan dan membinasakan mereka. Lalu membersihkan rumah Ilahi – yakni hati manusia yang sempurna – dari patung-patung mimpi, dan dari berhala-berhala harapan dan kecenderungan yang berasal dari khayalan dan angan-angan.

Karena itulah Allah s.w.t. memberikan keinginan kepada kekasih-Nya, Muḥammad s.a.w. dengan membolehkannya berperang di tanah haram Mekkah, padahal keharaman berperang di tempat tersebut bersifat abadi. Setelah memberikan keberkahan, Allah s.w.t. berfirman: (بِسْمِ اللهِ) [Dengan menyebut nama Allah] yang memilih untuk diri-Nya, satu rumah yang terbentuk (yakni Ka‘bah) agar menjadi kiblat bagi para makhluk yang memiliki bentuk, dan satu rumah maknawi agar menjadi tujuan bagi makhluk yang memiliki hati, (الرَّحْمنِ) [Yang Maha Pemurah] kepada semua hamba-Nya dengan mengajak mereka menuju ka‘bah (kemuliaan) hati, (الرَّحِيْمِ) [lagi Maha Penyayang] kepada mereka dengan mengantarkan mereka menuju ‘arafah keesaan dan bait-ul-ma‘mur keberadaan.

Ayat 1.

(لَا أُقْسِمُ بِهذَا الْبَلَدِ) [Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini] yang menjadi harapan terakhir orang-orang yang memiliki keinginan dan permintaan, yaitu golongan terbesar kaum bertuhan. Sebab tidak perlu bersumpah kepada para ahli ma‘rifah. Jadi, sumpah diungkapkan kepada orang-orang yang melupakan [kota ini], yakni kota Mekkah yang dimuliakan Allah s.w.t. dan yang di dalamnya dibangun bait-ul-ḥarām, di mana tidak ada seorang pun yang diperbolehkan melakukan hal-hal yang terlarang.

Ayat 2.

(وَ) [Dan] di antara keistimewaanmu yang membuat Kami memilih dan mengutamakanmu atas manusia lainnya, wahai Rasul yang paling sempurna, adalah (أَنْتَ حِلٌّ) [kamu bertempat], maksudnya: karena keterikatanmu, kesempurnaan dirimu, dan penguasaan martabatmu atas semua martabat yang ada, kamu tidak mungkin melakukan perlawanan, apalagi membunuh dan menawan di tanah haram, dibandingkan manusia lainnya karena keutamaan dan posisimu di sisi Allah s.w.t., ditambah lagi dengan kedudukanmu yang istimewa (بِهذَا الْبَلَدِ) [di kota Makkah ini] yang diharamkan bagi semua hamba. Adapun yang dihalalkan bagimu, itu pun hanya beberapa saat saja di waktu siang, tidak lebih dari itu. Setelah itu, tanah haram ini juga diharamkan bagimu.

Ayat 3.

(وَ وَالِدٍ) [Dan demi bapak] maksudnya: aku bersumpah demi bapak, yaitu Adam a.s. yang berada di alam ketuhanan, (وَ مَا وَلَدَ) [dan anaknya] yang berada di alam tabiat setelah ia diturunkan ke alam kemanusiaan yang serba sempit. Ringkasnya, Allah s.w.t. bersumpah atas nama media sumpah yang agung ini.

Ayat 4.

(لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ) [Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia] maksudnya: Kami telah menampakkan kehidupan kemanusiannya tenggelam (فِيْ كَبَدٍ) [dalam kesusahan], kepenatan, dan kesulitan yang banyak, serta disibukkan oleh semua panca indera dan pemahamannya yang mencakup semua kekuatan dan alat yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itulah ia mengalihkan perhatiannya dari Allah s.w.t. dan mengabaikan perintah untuk kembali kepada-Nya. Ia pun mulai mencari harta dan mengumpulkan puing-puing dunia serta dosa yang menjauhkannya dari Dzat Yang Maha Bijak lagi Maha Mengetahui. Karena ia sudah tenggelam dalam urusan dunia, ia pun melupakan akhirat dan langkah kakinya menyimpang dari jalan-Nya. Akhirnya ia mendustakan dan berpaling dari-Nya, bersikap sombong dan merasa berkuasa, meminta bantuan kepada harta dan anak-anaknya, dan menjadi semakin lalai dan tertipu hingga ia berlaku sewenang-wenang terhadap Allah s.w.t. dan bertindak zhalim kepada hamba-Nya. Ia terkesan tidak dapat dikalahkan dan ditundukkan, seperti yang tersirat dalam firman Allah s.w.t. yang disampaikan dengan nada menggertak dan mencemoohnya:

Ayat 5.

(أَيَحْسَبُ) [Apakah manusia itu menyangka] yang diciptakan dalam keadaan kafir dan lalai (أَنْ لَّنْ يَقْدِرَ عَلَيْهِ أَحَدٌ) [bahwa sekali-kali tiada seorang pun yang berkuasa atasnya], menuntut balas kepadanya, dan menghukumnya atas kesewenang-wenangan dan kedurhakaan yang telah dilakukannya?

Ayat 6.

Dan di antara kesombongan dan kecongkakannya kepada orang lain adalah (يَقُوْلُ) [ia mengatakan] dengan nada penuh kesombongan, pamer, dan riyā’ (أَهْلَكْتُ) [“Aku telah menghabiskan] dan menafkahkan di jalan Allah s.w.t. (مَالًا لُّبَدًا) [harta yang banyak], berlimpah, secara teratur, dan tidak ternilai harganya.”

Ayat 7.

(أَيَحْسَبُ) [Apakah ia menyangka] dan meyakini, yakni orang yang bodoh itu, (أَنْ لَّمْ يَرَهُ أَحَدٌ) [bahwa tiada seorang pun yang melihatnya]. Maksudnya: apakah ia mengira kalau Allah s.w.t. tidak mengetahui infaknya, niatnya dalam berinfak, dan keyakinannya terhadap infak itu sendiri. Apakah ia mengira kalau Allah s.w.t. tidak akan menghilangkan pahala infaknya karena ia menyebut-nyebut infaknya dan menyakiti perasaan orang yang menerimanya? Apakah yang membuatnya mengingkari pengetahuan Kami atas dirinya dan atas semua yang keluar darinya?

Ayat 8.

(أَلَمْ نَجْعَلْ لَّهُ) [Bukankah Kami telah memberikan kepadanya] dan menciptakan pada tubuhnya – ketika Kami membentuk tubuhnya dengan daya, kekuatan, dan kekuasaan Kami yang sempurna – : (عَيْنَيْنِ) [dua buah mata] supaya ia dapat melihat semua karya Kami yang menakjubkan dan hikmah Kami yang luar biasa;

Ayat 9.

Menciptakan (وَ لِسَانًا) [lidah] untuk mengemukakan dan menerangkan sesuatu yang terbersit dalam hatinya, (وَ شَفَتَيْنِ) [dan dua buah bibir] yang menjelaskan suatu pembicaraan dan mengungkapkannya menjadi lebih jelas dan terang.

Ayat 10.

(وَ) [Dan] ringkasnya, (هَدَيْنَاهُ) [Kami telah menunjukkan kepadanya], dengan memberikan semua kenikmatan yang besar ini, (النَّجْدَيْنِ) [dua jalan] kebaikan dan keburukan, hidayah dan kesesatan. Kami menguji dan mencobanya dengan kedua jalan itu untuk mengetahui, jalan mana yang ia pilih bagi dirinya. Setelah Kami menunjukkan dua jalan itu kepadanya, Kami mengingatkannya kepada keduanya.

Ayat 11.

Meskipun Kami telah memberikan petunjuk kepadanya, (فَلَا اقْتَحَمَ) [tetapi ia tidak mau menempuh] dan meniti (الْعَقَبَةَ) [jalan yang mendaki lagi sukar], yakni jalan yang penuh rintangan dan berkelok-kelok hingga membuatnya lelah, supaya ia mensyukuri apa yang telah Kami berikan kepadanya.

Ayat 12.

Kemudian Allah s.w.t. menyamarkan jalan yang mendaki lagi sukar tersebut, demi untuk mengagungkan dan memuliakannya, dengan mengajukan pertanyaan, (وَ مَا أَدْرَاكَ) [tahukah kamu] wahai orang yang tertipu oleh kehidupan palsu, (مَا الْعَقَبَةُ) [apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?] Yakni rintangan yang berada di jalan orang-orang beriman dan ahli ma‘rifat.

Ayat 13.

Kemudian Allah s.w.t. menjelaskan jalan yang sukar itu melalui firman-Nya: (فَكُّ رَقَبَةٍ) [(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan]. Maksudnya, jalan sukar tersebut berupa membebaskan budak dari guna-guna yang disebabkan oleh angan-angan dan harapan;

Ayat 14.

(أَوْ) [Atau] jalan sukar itu berupa (إِطْعَامٌ) [memberi makan] orang-orang yang kekurangan dan tidak mampu dari hamba-hambaNya, (فِيْ يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍ) [pada hari kelaparan] dan musim paceklik yang berkepanjangan.

Ayat 15.

Mereka itu adalah (يَتِيْمًا ذَا مَقْرَبَةٍ) [anak yatim yang berkerabat], yakni yang memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang memberi makan;

Ayat 16.

(أَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍ) [Atau orang miskin yang sangat fakir], yang berada dalam kondisi serba kekurangan dan senantiasa tertutupi oleh debu kehinaan dan kerendahan.

Ayat 17.

(ثُمَّ) [Dan] setelah ia dapat menembus jalan sukar yang telah disebutkan sebelumnya, maka (كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا) [ia termasuk orang-orang yang beriman] kepada Allah s.w.t. dan meyakini bahwa sesuatu yang berada di tangan mereka itu adalah milik-Nya. Dengan takdir-Nya, mereka menginfakkan sesuatu yang mereka miliki di jalan-Nya: (وَ) [Dan] bersamaan dengan keimanan mereka kepada Allah s.w.t. dan amal shaleh yang menegaskan keimanan mereka, mereka juga (تَوَاصَوْا) [saling berpesan] di antara mereka (بِالصَّبْرِ) [untuk bersabar] menghadapi berbagai macam kesulitan yang berasal dari taklif Ilahi dan kesusahan dalam menjalankan ketaatan yang diperintahkan kepada mereka: (وَ) [dan] mereka juga (تَوَاصَوْا) [saling berpesan] di antara mereka (بِالْمَرْحَمَةِ) [untuk berkasih sayang], menaruh simpati kepada hamba-hamba Allah s.w.t., memuliakan mereka, menyayangi mereka, dan bersikap baik kepada mereka meskipun hanya dengan perkataan yang baik.

Ayat 18.

(أُولئِكَ) [Mereka], yakni orang-orang yang berbahagia dan disifati dengan sifat-sifat yang mulia, (أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ) [adalah golongan kanan] yang berada di sisi Allah s.w.t., yaitu orang-orang yang meraih keberuntungan, kemuliaan, kelembutan, dan derajat tertinggi.

Ayat 19.

(وَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا) [Dan orang-orang yang kafir] dan mendustakan (بِآيَاتِنَا) [kepada ayat-ayat Kami] yang menunjukkan pada keagungan Dzat Kami dan kesempurnaan nama serta sifat Kami, (هُمْ أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ) [mereka itu adalah golongan kiri]. Yaitu orang-orang yang mendapat celaan, menyesal, dihukum karena kekufuran dan kemaksiatan mereka, dan dibalas karena kejahatan dan dosa yang telah mereka lakukan.

Ayat 20.

Karena itulah (عَلَيْهِمْ نَارٌ مُّؤْصَدَةٌ) [mereka berada dalam neraka yang tertutup rapat] dan terpenjara di dalamnya serta tidak mungkin bisa beristirahat sama sekali. Sebab pada saat di dunia mereka disibukkan oleh berbagai hal yang terkait dengan keduniawian sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk mengingat masalah akhirat.

Kami berlindung kepada-Mu dari api neraka dan dari segala sesuatu yang dapat mengantarkan kami kepadanya, wahai Dzat Yang Maha Pengampun.

 

Penutup Surah al-Balad

Wahai orang yang mengharapkan kemuliaan Ilahi dan kebahagiaan abadi – semoga Allah s.w.t. memberi kemudahan kepadamu untuk bisa sampai kepada-Nya -; kamu harus menyibukkan dirimu dengan berbagai macam amal shaleh; menjauhi segala hal yang merusak amal tersebut; berperilaku dengan akhlak yang diridhai dan dapat mendekatkanmu kepada Allah s.w.t.; menjauhkan diri dari kesialan orang-orang yang menyimpang dan sesat, yang tenggelam dalam lautan kelalaian dengan berbagai macam syahwat, kenikmatan hewani, dan angan-angan fanā’ yang dapat menghalanginya dari menggapai kelezatan rohani yang kekal.

Waspadalah kamu saat berteman dengan orang-orang kaya yang bersikap congkak karena harta dan pangkat mereka, yang disifati dengan sifat sombong karena kekayaan yang mereka miliki. Sebab pertemananmu dengan mereka dapat menggelincirkanmu dari jalan tawakkal, dan memalingkan hatimu dari bersikap ridha dan berserah diri.

 

“Kokohkanlah kami kami di jalan tauhid-Mu, wahai Dzat Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *