Surah al-‘Ashr 103 ~ Tafsir Ibni ‘Arabi

Dari Buku:
Isyarat Ilahi
(Tafsir Juz ‘Amma Ibn ‘Arabi)
Oleh: Muhyiddin Ibn ‘Arabi

Penerjemah: Cecep Ramli Bihar Anwar
Penerbit: Iiman
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU)

الْعَصْرُ

AL-‘ASHR

Surah Ke-103; 3 Ayat.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

وَ الْعَصْرِ.

إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ.

إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَ تَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَ تَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

103:1. Demi masa.

103:2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,

103:3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

 

Allah bersumpah dengan masa, yakni dengan bentangan masa yang abadi berikut peristiwa-peristiwa di dalamnya, peristiwa-peristiwa yang terjadi bersamanya berikut penyebabnya yang tak lain dari bentangan masa itu (dahr). Manusia pada umumnya menisbatkan berbagai perubahan kondisi dan situasi pada waktu, dan menyangka waktu sebagai penyebab hakiki yang sangat mengesankan bagi akal-akal mereka. Tidak ada yang membinasakan kami kecuali masa (dahr), padahal penyebab hakiki pada hakikatnya adalah Allah, seperti dikatakan Rasulullah s.a.w.: “Janganlah engkau mencela masa, karena Allah s.w.t. sesungguhnya adalah masa.” Beliau berkata demikian karena ingin mengagungkan Allah, karena Dia selalu menampakkan sifat dan perbuatan-Nya di dalam lokus masa itu.

Allah bersumpah bahwa sesungguhnya orang yang terhijab oleh masa dari-Nya benar-benar merugi. Itulah manusia yang rugi karena “modal hartanya” yang tak lain adalah cahaya fitrahnya, petunjuk dasar dari kesiapan primordial (azali), dengan memilih kehidupan dunia, berbagai kelezatan yang fanā’, terhijab oleh kehidupan dunia dan masa, menyia-nyiakan hal-hal abadi untuk hal-hal fanā’.

Illalladzīna āmanū (kecuali orang-orang beriman) kepada Allah dengan keimanan ‘ilm-ul-yaqīn (tingkatan keyakinan pertama) dan mereka tahu tidak ada penyebab hakiki kecuali Allah, mereka lepas dari hijab masa. Dan mereka mengerjakan amal-amal saleh (wa āmil-ush-shāliḥāt – ayat 3) yang abadi, berupa keutamaan-keutamaan dan kebaikan. Jelasnya, mereka berupaya keras melakukan amal saleh itu sehingga mereka beruntung dengan bertambahnya cahaya kesempurnaan atau cahaya fitrah (primordial) yang merupakan modal hartanya. Wa tawāshau bil-aqq (dan mereka saling menasihati supaya menaati kebenaran – ayat 3) yang tetap abadi berupa tauhid dan keadilan. Tegasnya, tauhid dzātī, sifat dan perbuatan, karena sesungguhnya Allah semata yang abadi. Wa tawāshau bish-shabr (dan mereka saling menasihati supaya menetapi kesabaran – ayat 3) bersama-Nya dan atas dasar-Nya dari segala sesuatu selain-Nya dengan keteguhan dan istiqāmah.

Bisa pula kata al-‘ashr dalam ayat pertama (wal-‘ashr) adalah kata benda yang berarti “perasaan”, diambil dari kata kerja “memeras atau menyaring”. Jadi, ayat pertama berarti: Demi “perasaan” Allah terhadap manusia dengan ujian, perjuangan ruhani (mujāhadah), riyādhah sampai muncul manusia pilihan (dari “perasaan” itu).

Sesungguhnya manusia “ampas” yang hanyut di dalam hijab fisik itu sungguh merugi. Kecuali orang-orang yang memiliki ilmu dan amal, saling menasihati dengan kebenaran yang tetap yang tak lain adalah keimanan yaqīnī yang bisa menyaring manusia “ampas” sesisanya. Dan mereka saling menasihati untuk bersabar atas “perasaan” dengan ujian dan riyādhah. Karena itu Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ujian tunduk pada para nabi, kemudian para wali, kemudian yang sejenisnya dan yang sejenisnya.Beliau juga bersabda: “Ujian adalah salah satu cambuk Allah yang dengannya Dia mengarahkan hamba-hambaNya kepada-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *