Surah al-‘Alaq 96 ~ Tafsir Ibni ‘Arabi

Dari Buku:
Isyarat Ilahi
(Tafsir Juz ‘Amma Ibn ‘Arabi)
Oleh: Muhyiddin Ibn ‘Arabi

Penerjemah: Cecep Ramli Bihar Anwar
Penerbit: Iiman
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU)

الْعَلَقُ

AL-‘ALAQ

Surah Ke-96; 19 Ayat.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ.

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ.

096:1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,

096:2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

Iqra’ bismi rabbik-al-ladzī khalaq (bacalah dengan [menyebut] nama Tuhanmu yang menciptakan – ayat 1).

Ayat ini diturunkan pada saat Nabi s.a.w. turun dari Kesatuan (al-jam‘) untuk pertama kalinya ke alam kemajemukan (tafshīl). Karena itu, dikatakan bahwa surah ini adalah surah yang pertama kali diturunkan.

Makna huruf bā’ (bi) dalam ayat di atas adalah “dengan pertolongan” (isti‘ānah). Bā’ yang bermakna demikian misalnya terdapat dalam ungkapan: Aku menulis dengan (bantuan) pena (katabtu bil-qalam). Hal ini karena sesungguhnya ketika Muḥammad s.a.w. dikembalikan ke alam makhluk dari pangkuan al-Ḥaqq, maka wujud beliau menjadi wujud ḥaqqānī. Ini terjadi setelah sebelumnya beliau lebur dari wujudnya sendiri (fanā’), dalam keadaan disifati dengan sifat-sifatNya, karena nama (Tuhan) tak lain dari dzat dan juga sifat-Nya. Lebih jelasnya, ayat di atas bermakna: Bacalah dengan pertolongan wujūd-udz-dzātī yang tak lain adalah nama-Nya Yang Paling Agung. Karena itu dilihat dari sudut pandang Kesatuan, Muhammad sendiri adalah perintah (al-amr). Tapi dari sudut pandang kemajemukan makhluk – yang tak lain adalah cerminan ragam nama dan sifat-sifatNya (tafshīl) – beliau adalah yang diperintah (al-ma’mūr).

Karena itu, kata Tuhan (ar-Rabb yang terdapat dalam ayat 1 di atas) kemudian disifati dengan frase “Yang menciptakan”. Maksudnya, Allah menghijab diri dengan bentuk makhluk. Atau lebih jelasnya, (kira-kira Allah berkata): Aku menampakkan diri dengan (perantaraan) bentuk makhluk, kembalilah dari alam hakikat ke alam makhluk, dan jadilah engkau makhluk yang selalu bersama al-Ḥaqq. Dan ketika Allah memulangkan beliau ke dalam bentuk manusia sepenuhnya dan memerintahkan untuk bentuk manusia sepenuhnya dan memerintahkan untuk menghijab diri dengan bentuk itu agar memungkinkan terjadinya wahyu dan kenabian, maka kata “menciptakan” (dalam ayat 1 tadi) yang bersifat umum diberi batasan dengan kata (menciptakan) “manusia” (dalam ayat selanjutnya/ayat 2). Maka, dalam ayat selanjutnya Allah berfirman: Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (khalaq-al-insāna min ‘alaq – ayat 2).

اِقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ. كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَّآهُ اسْتَغْنَى. إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى. أَرَأَيْتَ الَّذِيْ يَنْهَى. عَبْدًا إِذَا صَلَّى. أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى. أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى. أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَ تَوَلَّى. أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى. كَلَّا لَئِنْ لَّمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ. نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ. فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ. سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ. كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَ اسْجُدْ وَ اقْتَرِبْ

096:3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,

096:4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.

096:5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

096:6. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,

096:7. karena dia melihat dirinya serba cukup.

096:8. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu).

096:9. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang,

096:10. seorang hamba ketika dia mengerjakan salat,

096:11. bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran,

096:12. atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?

096:13. Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?

096:14. Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?

096:15. Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya,

096:16. (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.

096:17. Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),

096:18. kelak Kami akan memanggil malaikat Zabāniyah,

096:19. sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).

Iqra’ wa rabbuk-al-akram (bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah – ayat 3) Lebih jelasnya, Tuhan Yang Paling Pemurah berarti tidak kemurahan lagi di atasnya, karena sifat kemurahan dan sifat-Nya, karena menganugerahkan kepadamu “Dzat” dan sifat-Nya. Karena itu, Dia jauh lebih pemurah ketimbang Dia hanya membiarkanmu fanā’ di dalam hakikat Kesatuan (‘ayn-ul-jam‘). Maka, janganlah engkau sekali-kali menggantikan wujudmu dengan nafsumu sedikit pun. Seandainya Dia melestarikanmu dalam ke-fanā’-an, tentunya sifat-Nya, apalagi sifat kepemurahan-Nya, tidak akan menampakkan diri (karena penampakan sifat-sifat itu hanya mungkin melalui wujud ḥaqqānī). Dan di antara hukum kepemurahan-Nya itu adalah bahwa Dialah yang memuliakanmu dengan sifat-Nya yang paling mulia, yang tak lain adalah ilmu, dan sedikitpun Dia tidak menyembunyikan Kesempurnaan-Nya darimu. Karena itu, ungkapan “Yang Paling Pemurah” (dalam ayat tadi) kemudian disifati dengan frase: Yang mengajar [manusia] dengan perantara pena (alladzī ‘allama bil-qalam – ayat 4) Yakni, mengajar dengan perantaraan atau sebab pena tertinggi (al-qalam-ul-a‘lā) yang tak lain adalah ruh awal (“turunan” pertama dari-Nya) yang paling agung.

Kemudian, ketika pertama kali beliau “turun” (baqā’), tetapi belum sampai teguh (tamkīn), maka Allah hendak menanamkan keteguhan itu dan memeliharanya dari perubahan ke arah egoisme dan sirnanya sifat ketuhanan. Karena itu Allah berfirman: Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (‘allam-al-insāna mā lam ya‘lam – ayat 5). Ini menegaskan bahwa pada awalnya Muḥammad s.a.w. sama sekali tak memiliki ilmu, kemudian Allah mengajarkannya ilmu, memberinya sifat pengetahuan-Nya. Ini semua dimaksudkan agar beliau tidak melihat dirinya disifati dengan kesempurnaan dan “mempertuhankan diri” dengan timbulnya egoisme. Karena itu, Allah menolaknya dari maqam (sikap) “mempertuhankan diri” itu (thughyān), dengan firman-Nya: (Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup – ayat 6-7)

Innā ilā rabbik-ar-ruj‘a (Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali [mu] – ayat 8) dengan meleburkan diri di dalam “Dzat”-Nya (al-fanā’-udz-dzātī), sehingga engkau tak lagi memiliki dzat dan tidak pula sifat. Karena itu, Rasulullah s.a.w. menolak (untuk membaca) karena menjaga tatakrama keadaan dirinya (yang fanā’), beliau berkata: “Aku tidak bisa membaca.” Yakni aku bukan pembaca, Engkaulah pembaca.

Araait-al-ladzī yanhā, ‘abdan idzā shallā (bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat – ayat 9-10). Bagaimana pendapatmu tentang orang yang terhijab, bodoh, merasa cukup dengan keadaan dirinya, harta, kaumnya (sehingga tidak merasa butuh) kepada al-Ḥaqq; yang mencegah seorang hamba Allah untuk shalat khusyū‘ dan beribadahlah secara teguh (fī maqām istiqāmah) karena sikapnya yang melampaui batas (thughyān).

In kāna ‘alal-hudā, au amara bit-taqwā (jika orang yang mencegah itu berada di atas kebenaran atau dia menyuruh bertakwa [kepada Allah]? – ayat 11) Maksudnya, di tengah-tengah kemusyrikannya dan ajakannya kepada orang lain untuk bertindak syirik, (bagaimanakah seandainya jika) ia menyangka bahwa (justru) dirinyalah yang benar – berada dalam petunjuk – dan sedang memerintahkan ketakwaan? Atau bagaimanakah pendapatmu (jika ia mendustakan) Tuhan karena kekufurannya dan berpaling dari agama karena pembangkangan dan sifat melampaui batas, seperti halnya pendustaannya sama saja dengan sangkaannya yang keliru (bahwa dirinyalah yang benar). Tidakkah dia mengetahui bahwa Allah melihatnya (a lam ya‘lam bi annallāha yarā – ayat 14) dalam dua keadaan di atas, lalu Dia akan membalasnya.

Kallā adalah kata teguran agar tidak melarang orang shalat. Kata ini juga untuk menegaskan ancaman pada kalimat sumpah syartiyyah selanjutnya: sungguh jika dia tidak berhenti [berbuat demikian] niscaya Kami tarik ubun-ubunnya – ayat 15). Maksudnya, jika ia tidak berhenti melarang beliau shalat dan menuduhkan dusta dan kesalahan pada beliau dengan cara yang sangat licin dan halus, memamer-mamerkan keterhijaban dirinya dengan kaumnya, mengandalkan kekuatan mereka dan melalaikan keperkasaan al-Ḥaqq serta kemurkaan-Nya – dengan cara menguasakan alam kerajaan (malakut) samawi dan kerajaan bumi (sebab-sebab sekunder) yang efektif terhadap dirinya, yang tak mungkin ditentang oleh siapapun.

Kallā lā tuthi‘hu wa-sjud wa-qtarib (sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya dan sujudlah dan dekatkanlah [dirimu kepada Tuhan] – ayat 19). Yakni, janganlah kamu mengikutinya dan tetaplah berada dalam prinsipmu dengan berpegang pada tauhid. Dan sujudlah dengan sujud fanā’ di dalam shalat kehadiran, dan (semakin) dekatlah kepada-Nya di dalam perbuatan kemudian di dalam sifat, dan kemudian di dalam dzat. Tegasnya, tetaplah selalu di dalam kesempurnaan fanā’ yang sempurna di dalam maqam istiqāmah dan dakwah, sehingga dirimu menjadi baqā’ di dalam-Nya dan fanā’ dari dirimu, dan sedikit pun tidak muncul dalam dirimu sisa-sisa wujudmu dari salah satu sifat, perbuatan dan dzatmu.

Karena itu, di dalam bersujudnya ini Rasulullah s.a.w. berdoa: “Aku berlindung dengan ampunan-Mu dari siksaan-Mu (yakni berlindung dengan perbuatan-Mu [menyiksa] dari perbuatan-Mu [mengampuni]), dan aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu (berlindung dengan sifat [ridha-Mu] dari sifat [murka-Mu]), dan aku berlindung dengan-Mu dari-Mu (yakni dengan dzat-Mu dari dzat-Mu). Inilah makna semakin dekatnya ia di dalam sujudnya. Dalam hadis juga disebutkan bahwa: Sedekat-dekatnya hamba kepada Tuhannya adalah ketika ia bersujud. Wallāhu a‘lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *