Surah al-‘Alaq 96 ~ Tafsir ash-Shabuni (2/2)

Dari Buku: SHAFWATUT TAFASIR
(Tafsir-tafsir Pilihan)
Jilid 5 (al-Fath – an-Nas)
Oleh: Syaikh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni
Penerjemah: KH.Yasin
Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR.

Rangkaian Pos: Surah al-'Alaq 96 ~ Tafsir ash-Shabuni

Kemudian Allah menjelaskan penyebab kedurhakaan manusia. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas”; sungguh manusia melampaui batas dalam kedurhakaan dan mengikuti hawa nafsu serta sombong kepada Tuhannya. “karena dia melihat dirinya serba cukup”; karena dia memandang dirinya kaya dan banyak harta, dia sombong dan congkak. Kemudian Allah mengancamnya: “Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu)”; hai manusia, hanya kepada Tuhanmu tempat kembali, lalu Dia membalasmu sesuai perbuatanmu. Ayat ini mengandung ancaman dan peringatan bagi manusia tersebut yaitu akibat kedurhakaannya. Namun secara umum berlaku bagi setiap orang yang durhaka dan congkak. Ulama tafsir berkata: “Sasaran turunnya ayat-ayat ini sampai akhir surat adalah Abū Jahal setelah turunnya awal surat dalam waktu lama. Abū Jahal amat congkak dan sombong karena banyak harta dan dia sangat memusuhi Nabi s.a.w. Namun yang diambil penilaian hukum adalah redaksi surat yang umum, bukan hanya penyebab turunnya yang khusus.” (10871).

Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan salat”; ini adalah perintah untuk heran kepada sikap orang celaka yang durhaka itu. Maknanya, tahukah engkau hai Muḥammad tentang sikap penjahat berdosa itu yang melarang seorang hamba di antara hamba-Ku untuk shalat? Betapa bodoh akalnya dan mencela serta menyuruh heran terhadap sikap penjahat tersebut. Di samping menunjukkan, bahwa sikapnya buruk dan mengherankan.” (10882) Ulama tafsir sepakat, bahwa yang shalat yang dimaksud adalah Muḥammad s.a.w. dan yang melarang adalah si la‘natullāh ‘alaih Abū Jahal. Abū Jahal berkata: “Sungguh jika kami melihat Muḥammad shalat, tentu kami akan injak lehernya.” (10893) “Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran”; beritahulah Aku jika hamba yang shalat yaitu Muḥammad s.a.w., yang kamu larang shalat adalah orang shaleh yang memperoleh petunjuk dan perbuatan serta ucapannya di atas jalan yang lurus?” “atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?”; atau dia menyuruh ikhlas dan mentauhidkan Allah serta mengajak orang lain kepada hidayah serta kebenaran? Bagaimana kamu melarang dan mencegahnya. (10904) Betapa pandir dan bodohnya kamu melarang orang yang sifat-sifatnya demikian mulia; hamba Allah yang taat, memperoleh petunjuk, kembali kepada Allah, mengajak kepada kebenaran dan hidayah? Betapa aneh sikapmu.

Kemudian Allah kembali berfirman kepada Nabi s.a.w.: “Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?”; hai Muḥammad apa pendapatmu jika dia mendustakan al-Qur’ān dan berpaling dari iman? “Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”; tidakkah orang celaka itu tahu, bahwa Allah melihat dirinya, mengawasi perbuatannya dan akan membalasnya berdasarkan perbuatan itu? Betapa dia bodoh dan bebal! Kemudian Allah melarang Abū Jahal: “Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti”; hendaknya si penjahat Abū Jahal ini menghentikan kesesatan dan kepandirannya. Sebab, demi Allah, jika dia tidak berhenti menyakiti Rasulullah dan menjauhkan diri dari kekafiran serta kesesatan: “niscaya Kami tarik ubun-ubunnya”; tentu Kami jambak ubun-ubunnya, yaitu bagian depan rambut kepalanya, lalu Kami seret dia dengan keras ke neraka dan Kami jebloskan dia ke dalamnya. “(yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka”; pemilik ubun-ubun ini adalah pendusta, Allah menyifati ubun-ubun itu dengan dusta dan durhaka dengan majāz. Yang dusta dan durhaka pada hakekatnya adalah pemiliknya. Khāthi’ adalah orang berbuat dosa dengan sengaja. Sedangkan mukhthi’ adalah orang yang berbuat dosa tanpa sengaja. (10915).

Maka biarlah dia memanggil golongannya”; hendaknya dia mengundang anggota majlisnya dan hendaknya dia meminta tolong kepada mereka. “kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah”; Kami akan memanggil para penjaga neraka Jahannam, yaitu malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Diriwayatkan bahwa Abū Jahal melewati Nabi s.a.w. ketika beliau di Maqām Ibrāhīm, lalu berkata: “Bukankah kami telah melarangmu untuk shalat, hai Muḥammad?” Maka Nabi s.a.w. berkata keras kepada Abū Jahal. Lalu, Abū Jahal berkata: “Apa yang kamu ancamkan kepada kami hai Muḥammad? Demi Allah, kami adalah orang yang paling banyak hartanya di lembah ini.” Maka Allah menurunkan ayat: “Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah.” Ibnu ‘Abbās berkata: “Seandainya dia memanggil kelompoknya, maka saat itu juga dia disambar oleh malaikat siksa.” (10926) “sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya”; hendaknya penjahat ini berhenti dan janganlah kamu taat kepadanya hai Muḥammad terhadap apa yang dia inginkan darimu, yaitu menginggalkan shalat. “dan sujudlah dan dekatkanlah”; tetaplah kamu pada sujudmu dan shalatmu serta dekatkanlah dirimu kepada Tuhanmu dengan hal itu. Dalam hadits disebutkan: “Paling dekatnya hamba kepada Tuhannya adalah ketika dia sujud.” (10937).

Aspek Balaghah:

Dalam sūrat-ul-‘Alaq terdapat sejumlah keindahan bahasa sebagaimana berikut ini:

Pertama, ithnāb dengan mengulang-ulang fi‘il amr (kata kerja perintah).

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu

Lalu Allah berfirman:

اِقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah

Tujuannya, agar masalah membaca dan ilmu pengetahuan lebih diperhatikan.

Kedua, jinās nāqish (dua kata mirip tapi berbeda makna): antara (خَلَقَ) (menciptakan) dan (عَلَقٍ) (segumpal darah).

Ketiga, thibāq salab (dua kata yang disesuaikan maknanya):

عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya

Keempat, kināyah (sindiran):

أَرَأَيْتَ الَّذِيْ يَنْهَى عَبْدًا

Tahukah kamu siapa yang melarang seorang hamba.”

Yang dimaksudkan hamba adalah Muḥammad. Allah tidak berfirman: melarangmu karena memuliakan kedudukan beliau dengan menyebut hamba.

Kelima, istifhām (pertanyaan) untuk menyuruh heran kepada sikap orang yang melarang itu:

أَرَأَيْتَ الَّذِيْ يَنْهَى. أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى

Tahukah kamu siapa yang melarang seorang hamba.” “Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran,”

Keenam, majāz ‘aqli:

نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ.

(yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka”. Dalam ayat ini disebutkan: “ubun-ubun yang mendustakan” namun yang dimaksud adalah pemilik ubun-ubun yang berdusta.

Ketujuh, saja‘ murashsha‘. Misalnya:

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ

Catatan:

  1. 1087). Lihat Ḥāsyiyat-ush-Shāwī (4/336), Tafsīr-ul-Qurthubī (19/123).
  2. 1088). Tafsīru Abī Su‘ūd (5/274).
  3. 1089). Lihat asbāb-un-nuzūl di muka.
  4. 1090). Inilah tafsir yang benar; bahwa orang yang menyuruh takwa dan di atas kebenaran adalah Muḥammad s.a.w. Ini pilihan Ibnu ‘Athiyyah dan jumhur ulama. Az-Zamakhsyarī berpendapat, bahwa orang tersebut adalah orang yang melarang. Pendapat ini dha‘īf.
  5. 1091). At-Tasḥīl (4/209).
  6. 1092). Tafsīr-ul-Qurthubī (19/127).
  7. 1093). Diriwayatkan Muslim dalam Shaḥīḥ.