Surah al-‘Alaq 96 ~ Tafsir al-Qur’an-ul-Majid an-Nur (1/2)

Judul Buku:
TAFSĪR AL-QUR’ĀNUL MAJĪD AN-NŪR

JILID 4

Penulis: Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
Diterbitkan oleh: Cakrawala Publishing

Rangkaian Pos: Surah al-'Alaq 96 ~ Tafsir al-Qur'an-ul-Majid an-Nur

Surat Ke-96
AL-‘ALAQ

Surat al-‘Alaq bermakna segumpal darah. Diturunkan di Makkah, Surat-ul-‘Alaq juga dinamakan surat Iqra’ dan al-Qalam, terdiri dari 19 ayat.

 

A. SEJARAH TURUN

Menurut jumhur ulama, inilah permulaan surat-ul-Qur’ān yang diturunkan. Yang mula-mula diturunkan adalah lima ayat pertama. Adapun ayat-ayat berikutnya diturunkan kemudian.

Ada yang mengatakan bahwa lima ayat yang pertama dari surat ini diturunkan sesudah sūrat-ul-Fātiḥah, ketika Nabi s.a.w. sedang berkhalwat (menyendiri) di gua Ḥirā’. (11).

 

B. KANDUNGAN ISI.

Isinya mengandung perintah membaca dan menerangkan kenyataan kodrat (kekuasaan) Allah terhadap manusia. Allah menjadikan manusia dari setetes mani (nuthfah), yang secara berangsur-angsur menjadilah manusia yang sempurna dan dapat menguasai (menundukkan) makhluk-makhluk yang lain.

Tuhan memberikan kemampuan membaca kepada manusia dan menjadikan qalam (pena) sebagai sarana mengembangkan ilmu dan pengetahuan. Allah pun berkuasa menjadikan Muḥammad yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) sanggup menghafal al-Qur’ān. Allah berkuasa mengajari Muḥammad menghafal al-Qur’ān tanpa mempergunakan qalam dan kertas.

Sebagian manusia mengingkari nikmat yang besar ini, dan merasa cukup dengan kekuatan (kemampuan) yang ada padan dirinya. Mereka lupa kepada Allah, Tuhan semesta alam. (22).

 

C. KAITAN DENGAN SURAT SEBELUMNYA

Dalam surat yang telah lalu dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik, sedangkan dalam surat ini Allah menerangkan bahwa manusia dijadikan dari segumpal darah. Selain itu, dalam surat ini juga dijelaskan tentang keadaan akhirat, yang merupakan penjelasan terhadap surat yang telah lalu.

 

D. TAFSIR SURAT AL-‘ALAQ

1. Nikmat-nikmat Allah bagi hamba-Nya. Sebab-sebab manusia durhaka.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ.

Iqra’ bismi rabbikal ladzī khalaq.
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.”
(al-‘Alaq [96]: 1).

Kamu, hai Muḥammad, hendaklah menjadi seorang yang dapat membaca dengan kodrat Allah, yang telah menciptakan kamu dan dengan iradat-Nya. Sebelum ini, kamu memang seorang yang buta huruf.

Yang dimaksudkan dengan “Nama Tuhanmu” adalah “kodrat-Nya dan iradat-Nya.” Nama adalah sebutan bagi suatu dzāt (bendanya). Kita mengetahui Allah hanya melalui sifat-sifatNya, sedangkan kita tidak membahasnya dari segi dzāt-Nya, karena tiadanya keterangan untuk itu.

Diriwayatkan oleh Bukhārī dalam hadits shaḥīḥ-nya dari ‘Ā’isyah: “Pada mulanya, Rasūlullāh menerima wahyu melalui mimpinya yang benar. Setiap beliau bermimpi, pada siangnya mimpi itu menjadi kenyataan. Sejak saat itu, beliau sangat ingin menyendiri (berkhalwat). Beliau pun pergi ke gua Ḥirā’ yang berada di luar kota Makkah (sekitar 6 km dari pusat kota), duduk beberapa malam di dalamnya dengan membawa bekal yang diperlukan. Ketika perbekalan habis. Muḥammad pulang ke rumah istrinya, Khadījah, untuk kembali mengambil bekal. Begitu seterusnya dilakukan hingga menerima wahyu yang tidak disangka-sangka. Pada saat dia duduk di dalam gua, datanglah malaikat Jibrīl, seraya memerintahkan Muḥammad untuk membaca. “Bacalah”, kata Jibrīl. Muḥammad menjawab: “Aku tidak bisa membaca.” Maka, Jibrīl pun memeluknya erat-erat, sehingga Dia merasa payah. Setelah melepas pelukannya, Jibrīl kembali memerintahkan Muḥammad untuk membaca, dan Dia pun menjawab sama: “Aku tidak bisa membaca.” Jibrīl kembali memeluknya dengan sangat erat. Setelah pelukannya dilepaskan, Jibrīl membacakan lima ayat pertama surat-ul-‘Alaq ini: “Iqra’ bismi rabbik-al-ladzī khalaq. Khalaq-al-insāna min ‘alaq. Iqra’ wa rabbuk-al-akram. Alladzī ‘allama bil-qalam. ‘Allam-al-insāna mā lam ya‘lam.”

Para perawi hadits mengatakan bahwa setelah Jibrīl pergi meninggalkan Muḥammad, diapun segera kembali ke rumahnya dengan tubuh gemetar. Sesampai di rumah, beliau menyuruh Khadījah untuk menyelimuti badannya. Sehingga rasa gemetar hilang. Barulah kemudian Muḥammad mengisahkan apa yang dialami ketika berada di gua.

“Aku khawatir terhadap diriku ini,” tutur Muḥammad. Khadījah berusaha menenangkan hati Nabi, seraya berkata: “Gembirakanlah hatimu. Demi Allah, Dia tidak akan menghinakan kamu. Kamu adalah orang yang menghubungi rahim (menjalin persaudaraan), orang yang benar tutur katanya, orang yang mau memikul beban orang lain, orang yang menjamu tamu, dan orang yang suka memberikan pertolongan.”

Sesudah itu, Khadījah membawa suaminya itu ke rumah Waraqah ibn Naufal, pamannya yang beragama Nashrani pada masa jahiliyyah. Waraqah dikenal pandai menulis dengan tulisan ‘Arab dan menulis banyak Injīl dalam bahasa Hebrew, yang telah lanjut usia dan buta.

Khadījah menuturkan apa yang dialami Muḥammad kepadanya. Kata dia: “Wahai pamanku, dengarlah kisah yang akan dituturkan anak saudaramu ini.”

“Hai anak saudaraku, apakah yang terjadi?” tanya Waraqah. Setelah Muḥammad selesai menceritakan apa yang dialami, Waraqah berkata: “Inilah Namus yang diturunkan kepada ‘Īsā. Alangkah baiknya jika aku masih muda dan masih hidup sewaktu engkau diusir oleh kaummu.” Mendengar komentar Waraqah, maka Muḥammad pun bertanya: “Apakah kaumku akan mengusir aku?”

Jawab Waraqah: “Tidak seorang pun yang membawa apa yang kamu bawa itu yang tidak dimusuhi oleh masyarakatnya. Jika aku masih hidup ketika kamu menjalankan tugas sebagai rasul, pasti akan menolongmu dengan sekuat tenaga yang ada padaku.” Namun tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia, dalam usia lanjut.

Dari riwayat ini kita mengetahui bahwa permulaan surat ini merupakan wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah dan awal rahmat yang dicurahkan. Adapun sambungan surat ini diturunkan sesudah dikenal luas dalam masyarakat Makkah bahwa Muḥammad adalah seorang nabi serta setelah beliau mengajak kaumnya di Makkah untuk beriman kepada Allah. Ada beberapa orang yang mengimaninya.

Kesimpulan makna ayat ini adalah: Tuhan yang telah menjadikan alam berkuasa menjadikan kamu seorang yang pandai membaca, walaupun kamu tidak mempelajarinya sebelum ini.

Sebagian ahli tafsir mengatakan: “Makna Iqra’ bismi rabbika adalah “Bacalah apa yang diterangkan kepadamu dengan menyebut nama Allah pada waktu memulai membaca”. Maka maknanya: Bacalah al-Qur’ān dengan nama Tuhanmu. Bisa pula kata bi (bismi) diartikan ‘alā sehingga berarti: (atas nama Tuhanmu).

 

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ.

Khalaqal insāna min ‘alaq.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”
(al-‘Alaq [96]: 2).

Tuhan menjadikan manusia, makhluk yang paling mulia, dari segumpal darah. Dia juga yang memberikan kekuasaan kepada manusia untuk menundukkan apa yang ada di permukaan bumi, sehingga karenanya berkuasa pula menjadikan manusia yang sempurna, seperti Muḥammad, dapat membaca tanpa mempelajari huruf terlebih dahulu.

 

اِقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ.

Iqra’ wa rabbukal akram.
Bacalah, dan Tuhanmu itu paling pemurah (paling dapat menahan amarah-Nya).”
(al-‘Alaq [96]: 3).

Laksanakan tugasmu: membaca. Allah mengulangi perintah ini, karena menurut kebiasaan, seseorang baru bisa membaca sesuatu dengan lancar setelah beberapa kali mengulangnya. Mengulang-ulangi perintah di sini sebagai ganti mengulangi pembacaan.

Tuhanmu adalah Tuhan yang paling pemurah untuk semua orang yang mengharapkan pemberian-Nya. Maka amat mudah bagi Allah untuk melimpahkan nikmat membaca dan menghafal al-Qur’ān kepadamu, walaupun kamu tidak terlebih dahulu mempelajari bagaimana membaca huruf.

 

الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ.

Alladzī ‘allama bil qalam.
Yang mengajarkan manusia mempergunakan qalam.”
(al-‘Alaq [96]: 4).

Tuhan yang paling akram (pemurah) itu adalah Tuhan yang telah menjadikan pena (qalam) sebagai alat untuk melahirkan (mengungkapkan) buah pikiran melalui tulisan dan untuk memberikan pengertian kepada orang lain, sebagaimana halnya lisan yang juga merupakan alat untuk mengemukakan buah pikiran dengan ucapan (oral).

 

عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.

‘Allamal insāna mā lam ya‘lam.
Dia mengajarkan kepada manusia tentang apa yang belum diketahuinya.”
(al-‘Alaq [96]: 5).

Allah yang telah memerintahkan Nabi-Nya supaya membaca dan memberi kekuatan (kemampuan) untuk bisa membaca. Dialah, Allah yang telah mengajari manusia dengan segala macam ilmu, dan dengan ilmu-ilmu itulah manusia berbeda dari binatang, walaupun pada mulanya mereka tidak mengetahui dan tidak mengerti apa-apa. Dengan demikian, tidak heranlah jika Allah mengajari kamu untuk membaca dan mengajarkan ilmu.

Ayat ini menjadi dalil yang tegas, yang menunjukkan tentang keutamaan belajar membaca, menulis, dan keutamaan ilmu pengetahuan.

Catatan:

  1. 1). Baca Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir.
  2. 2). Baca Bukhārī 1: 3 No. 4; Muslim 1, hal. 252.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *