Surah al-‘Alaq 96 ~ Tafsir al-Jalalain

Dari Buku:
Tafsir Jalalain.
(Jilid 4. Dari Sūrat-uz-Zumar sampai Sūrat-un-Nās)
Oleh: Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

096

SŪRAT-UL-‘ALAQ

Makkiyyah, 19 ayat

Mulai dari permulaan ayat sampai pada firman-Nya: “Mā lam ya‘lam” adalah ayat-ayat yang pertama kali diturunkan. Diturunkan di gua Hira’. Demikianlah menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ.

1. (اِقْرَأْ) “Bacalah” maksudnya mulailah membaca dan memulainya (بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ) “dengan menyebut nama Rabbmu yang menciptakan” semua makhluk.

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ.

2. (خَلَقَ الْإِنْسَانَ) “Dia telah menciptakan manusia” atau jenis manusia (مِنْ عَلَقٍ) “dari ‘alaq” lafal ‘alaq bentuk jamak dari lafal ‘alaqah, artinya segumpal darah yang kental.

اِقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ.

3. (اِقْرَأْ) “Bacalah” lafal ayat ini mengukuhkan makna lafal pertama yang sama (وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ) “dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah” artinya tiada seorang pun yang dapat menandingi kemurahan-Nya. Lafal ayat ini sebagai ḥāl dari dhamīr yang terkandung di dalam lafal iqra’.

الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ.

4. (الَّذِيْ عَلَّمَ) “Yang mengajar” manusia menulis (بِالْقَلَمِ.) “dengan qalam” orang pertama yang menulis dengan memakai qalam atau pena ialah Nabi Idrīs a.s.

عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.

5. (عَلَّمَ الْإِنْسَانَ) “Dia mengajarkan kepada manusia” atau jenis manusia (مَا لَمْ يَعْلَمْ) “apa yang tidak diketahuinya” yaitu sebelum Dia mengajarkan kepadanya hidayah, menulis dan berkreasi serta hal-hal lainnya.

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى.

6. (كَلَّا) “Ketahuilah” artinya memang benar (إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى) “sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas

أَنْ رَّآهُ اسْتَغْنَى.

7. (أَنْ رَّآهُ) “karena dia melihat dirinya” sendiri (اسْتَغْنَى) “serba cukup” dengan harta benda yang dimilikinya; ayat ini diturunkan berkenaan dengan sikap Abū Jahal. Dan lafal ra’ā tidak membutuhkan maf‘ūl kedua; dan lafal an ra’āhu berkedudukan sebagai maf‘ūl lah.

إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى.

8. (إِنَّ إِلَى رَبِّكَ) “Sesungguhnya hanya kepada Rabbmulah” hai Manusia (الرُّجْعَى) “tempat kembali” yakni kembali kalian nanti, karena itu Dia kelak akan memberi balasan kepada orang yang melampaui batas sesuai dengan dosa-dosa yang telah dilakukannya. Di dalam ungkapan ini terkandung ancaman dan peringatan buat orang yang berlaku melampaui batas.

أَرَأَيْتَ الَّذِيْ يَنْهَى.

9. (أَرَأَيْتَ) “Bagaimana pendapatmu” lafal ara’ayta dan dua lafal lainnya yang sama nanti mengandung makna ta‘ajjub (الَّذِيْ يَنْهَى) “tentang orang yang melarang” yang dimaksud adalah Abū Jahal.

عَبْدًا إِذَا صَلَّى.

10. (عَبْدًا) “Seorang hamba” yang dimaksud adalah Nabi Muḥammad s.a.w. (إِذَا صَلَّى) “ketika dia mengerjakan salat.”

أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى.

11. (أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ) “Bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang itu” (عَلَى الْهُدَى) “berada di atas kebenaran”.

أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى.

12. (أَوْ) “Atau” huruf au di sini menunjukkan makna taqsīm (أَمَرَ بِالتَّقْوَى) “dia menyuruh bertakwa.

أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَ تَوَلَّى.

13. (أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ) “Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakannya” yakni mendustakan Nabi s.a.w. (وَ تَوَلَّى) “dan berpaling” dari iman?

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى.

14. (أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى.) “Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat” apa yang dilakukannya itu; artinya Dia mengetahuinya, karena itu Dia kelak akan memberi balasan kepadanya dengan balasan yang setimpal. Maka sudah sepatutnya kamu hai orang yang diajak berbicara untuk merasa heran terhadap orang yang melarang itu, karena ia melarang Nabi melakukan salat, padahal orang yang dilarangnya itu berada dalam jalan hidayah dan memerintahkan untuk bertakwa. Yang amat mengherankan lagi ialah bahwa yang melarangnya itu mendustakannya dan berpaling dari iman.

كَلَّا لَئِنْ لَّمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ.

15. (كَلَّا) “Sekali-kali tidaklah demikian” kalimat ini mengandung makna hardikan dan cegahan baginya (لَئِنْ) “sungguh jika” huruf lām di sini menunjukkan makna qasam atau sumpah (لَّمْ يَنْتَهِ) “dia tidak berhenti” dari kekafiran yang dilakukannya itu (لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ) “niscaya Kami akan tarik ubunubunnya” atau Kami akan seret dia masuk neraka dengan cara ditarik ubun-ubunnya.

نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ.

16. (نَاصِيَةٍ) “Yaitu ubun-ubun” lafal nāshiyatan adalah isim nakirah yang berkedudukan menjadi badal dari isim ma‘rifat yaitu lafal an-nāshiyah pada ayat sebelumnya (كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ) “orang yang mendustakan lagi durhaka” makna yang dimaksud adalah pelakunya; dia disifati demikian secara majāz.

فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ

17. (فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ) “Maka biarlah dia memanggil golongannya” yakni teman-teman senadinya; Nadi adalah sebuah majelis tempat mereka memusyawarahkan sesuatu perkara. Sesungguhnya orang yang melarang itu mengatakan kepada Nabi s.a.w. sewaktu dia mencegahnya dari melakukan salat: “Sesungguhnya aku telah mengetahui bahwa tiada seseorang pun di Makkah ini yang lebih banyak teman senadinya daripada aku. Sesungguhnya jika kamu mau meninggalkan salat, aku benar-benar akan memberikan kepadamu, kuda-kuda yang tak berpelana dan laki-laki pelayan sepenuh lembah ini.”

سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ.

18. (سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ.) “Kelak Kami akan memanggil malaikat Zabāniyah” mereka adalah malaikat-malaikat yang terkenal sangat bengis lagi kejam, untuk membinasakannya, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam salah satu hadis, yaitu, “Seandainya dia benar-benar memanggil golongan senadinya, niscaya dia akan diazab oleh malaikat Zabāniyah secara terang-terangan.

كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَ اسْجُدْ وَ اقْتَرِبْ

19. (كَلَّا) “Sekali-kali tidaklah demikian” kalimat ini mengandung hardikan dan cegahan baginya (لَا تُطِعْهُ) “janganlah kamu patuhi dia” hai Muḥammad untuk meninggalkan salat (وَ اسْجُدْ) “dan sujudlah” maksudnya salatlah demi karena Allah (وَ اقْتَرِبْ) “dan mendekatlah” kepada-Nya dengan melalui amal ketaatan.

 

ASBĀB-UN-NUZŪL

SŪRAT-UL-‘ALAQ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Imām Ibnu Mundzir telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Abū Hurairah r.a. yang telah menceritakan, bahwa Abū Jahal telah berkata kepada teman-teman senadinya: “Apakah kalian menginginkan supaya muka Muḥammad dilumuri dengan pasir di hadapan kalian?” Mereka menjawab: “Ya”. Lalu Abū Jahal melanjutkan perkataannya: “Demi Lāta dan ‘Uzza, jika aku melihat dia sedang melakukan shalat, maka benar-benar aku akan injak lehernya dan menaburkan pasir-pasir pada mukanya.” Maka Allah menurunkan firman-Nya:

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas” (al-‘Alaq [96]: 6, dan seterusnya….).

Imām Ibnu Jarīr telah mengetengahkan sebuah hadits yang bersumber dari Ibnu ‘Abbās r.a. yang telah menceritakan sesungguhnya Rasulullah s.a.w. sedang melakukan shalat, tiba-tiba muncul Abū Jahal mendatanginya seraya mencegahnya. Maka Allah menurunkan firman-Nya:

Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan salat” (al-‘Alaq [96]: 9-10).

sampai dengan firman-Nya:

(yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.” (al-‘Alaq [96]: 16).

Imām Tirmidzī telah mengetengahkan sebuah hadits, demikian pula imām-imām ahli hadits lainnya bersumber dari Ibnu ‘Abbās r.a. yang telah menceritakan bahwa Nabi s.a.w. sedang melakukan shalat, tiba-tiba datanglah Abū Jahal menuju kepadanya seraya mengatakan: “Bukankah aku telah mencegah dan melarangmu mengerjakan hal ini (yakni shalat)?” Nabi s.a.w. menghardik dan mengusirnya; tetapi Abū Jahal malah berkata: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada seorang pun di kota Makkah ini yang memiliki teman senadi lebih banyak daripada diriku.” Maka Allah s.w.t. segera menurunkan firman-Nya:

Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah” (al-‘Alaq [96]: 17-18).

Imām Tirmidzī memberikan komentarnya, bahwa hadits ini berpredikat ḥasan lagi shaḥīḥ.