Surah al-A’la 87 ~ Tafsir al-Qur’an-ul-Majid an-Nur

Judul Buku:
TAFSĪR AL-QUR’ĀNUL MAJĪD AN-NŪR

JILID 4

Penulis: Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
Diterbitkan oleh: Cakrawala Publishing

Surat Ke-87
AL-A‘LĀ

Surat al-A‘lā bermakna yang paling tinggi. Diturunkan di Makkah sesudah surat at-Takwīr, terdiri dari 19 ayat.

A. KANDUNGAN ISI

Surat ini mengandung tasbīḥ dan tanzīh (menyucikan Allah dari sifat-sifat kekurangan), serta memberikan peringatan. Selain itu menjelaskan bahwa kemenangan (kebahagiaan) pada hari akhirat diperoleh oleh mereka yang menyucikan diri mereka dari perbuatan maksiat dan membersihkan jiwa mereka dari sifat mencintai dunia dengan berlebihan.

B. KAITAN DENGAN SURAT SEBELUMNYA

Persesuaian antara surat yang telah lalu (ath-Thāriq) dan surat ini bahwa dalam surat yang telah lalu, Tuhan menjelaskan penciptaan manusia dan mengisyaratkan tentang penciptaan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan dalam surat ini Tuhan menjelaskan penciptaan manusia dan penciptaan tumbuh-tumbuhan dengan lebih jelas.

Diriwayatkan oleh Aḥmad, Muslim, Abū Dāūd, dan at-Tirmidzī dari an-Nu‘mān ibn Basyīr bahwa Rasūlullāh s.a.w. ketika shalat hari raya dan shalat hari Jum‘at membaca surat al-A‘lā dan surat al-Ghāsyiyah. (11)

*Missing: (22)

C. TAFSĪR SURAT AL-A‘LĀ

1. Tuhan memerintahkan menyucikan nama-Nya dari segala yang tidak layak dengan keagungan-Nya.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya.

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى.

Sabbiḥisma rabbikal a‘lā.
“Sucikanlah dan muliakanlah nama Tuhanmu yang paling tinggi. (al-A‘lā [87]: 1).

Sucikanlah nama Tuhanmu, hai Muḥammad, dari semua yang tidak layak dengan keagungan-Nya, baik yang mengenai Dzāt-Nya, sifat-Nya, nama-Nya, perbuatan-Nya, dan hukum-hukumNya. Janganlah kamu menyebut nama Allah, kecuali dengan cara membesarkan dan memuliakan-Nya. Jangan pula kamu mempergunakan nama Allah untuk sesuatu makhluq dan menganggap mempunyai sifat yang dimiliki oleh Allah.

Sebagian sahabat menyukai supaya kita membaca “subḥāna rabbikal-a‘lā” sesudah membaca ayat ini.

الَّذِيْ خَلَقَ فَسَوَّى.

Alladzī khalaqa fa sawwā.
“Yang menciptakan dan menyempurnakan penciptaan alam.” (al-A‘lā [87]: 2).

Tuhan Yang Maha Tinggi adalah Tuhan yang telah menciptakan semua alam dan telah menyusunnya dalam keadaan yang paling sempurna, yang satu dengan lainnya mempunyai perimbangan-perimbangan tertentu.

وَ الَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى.

Wal ladzī qaddara fa hadā.
“Yang menentukan ukurannya dan menyalurkan semua alam kepada tujuannya.” (al-A‘lā [87]: 3).

Dialah Tuhan yang mengukur dan menentukan jangka-jangka segala sesuatu hingga masing-masing makhluq dapat memberikan manfaat kepada makhluq yang lain. Allah telah menakdirkan langit dan menakdirkan bumi beserta segala isinya masing-masing, baik yang tampak di permukaan bumi maupun yang tersimpan di dalam perutnya. Masing-masing binatang yang melata di atas bumi diberi tuntunan untuk mempergunakan apa yang mendatangkan kebaikan baginya dan apa yang menjadi kebutuhannya. Pada tiap binatang diciptakan naluri dan kecenderungan-kecenderungan (instink) untuk memperoleh apa yang diinginkan sesuai dengan kepentingan masing-masing.

وَ الَّذِيْ أَخْرَجَ الْمَرْعَى.

Wal ladzī akhjaral mar‘ā.
“Dan yang mengeluarkan tumbuh-tumbuhan.” (al-A‘lā [87]: 4).

Dialah Tuhan yang telah menumbuhkan berbagai macam tumbuhan untuk menjadi sumber makanan bagi hewan dan manusia. Jelasnya, tidak ada suatu jenis tumbuhan yang tidak berguna. Jika tidak berguna bagi kepentingan manusia, maka berguna bagi kepentingan makhluq-makhluq yang lain.

فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَى.

Fa ja‘alahū ghutsā’an aḥwā.
“Dan kemudian menjadikan tumbuh-tumbuhan itu kering dan berwarna hitam.” (al-A‘lā [87]: 5).

Sesudah Allah menumbuhkan tanaman-tanaman, Dia pun menjadikan tanaman itu kering dan berwarna hitam untuk menjadi pakan binatang. Memang hanya Allah-lah yang berkuasa menumbuhkan tanaman-tanaman dan menukar keadaannya dari hijau basah menjadi kering dan hitam.

Adapun penyebabnya kita diperintah menyucikan nama, tidak menyucikan Dzāt, untuk memberi pengertian bahwa kesanggupan manusia paling tinngi hanyalah mengetahui sifat-sifat Allah yang menunjuk kepada Dzāt-Nya. Sedangkan mengenai Dzāt-Nya, manusia tidak akan mampu memikirkan dan mengetahui hakikat-Nya. Ilmu manusia tidak mampu mencapainya, karena hal itu memang di luar kesanggupan manusia.

Kita, manusia, hanya mengetahui bahwa Allah, Tuhan yang berilmu, yang berkuasa, yang berkehendak, yang Esa, yang tunggal, yang dituju oleh semua makhluq, yang suci dari segala kekurangan, dan yang tidak bersekutu.

سَنُقْرِؤُكَ فَلَا تَنْسَى.

Sanuqri’uka falā tansā.
“Kami akan menjadikan kamu seorang pembaca al-Qur’ān dan kamu tidak akan melupakan sesuatu daripadanya.” (33) (al-A‘lā [87]: 6).

Kami (Allah) akan menurunkan kepadamu, hai Muḥammad, sebuah kitab yang akan kamu baca dan tidak akan kamu lupakan sedikit pun. Setelah al-Qur’ān diturunkan, Nabi memang selalu menggerakkan lisannya untuk segera membacanya, karena takut tidak akan tertangkap oleh ingatannya. Karena itu Allah menjanjikan bahwa Nabi tidak akan lupa kepada hafalannya.

إِلَّا مَا شَاءَ اللهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَ مَا يَخْفَى.

Illā mā syā’allāhu, innahū ya‘lamul jahra wa ma yakhfā.
“Kecuali jika Allah menghendakinya. Sesungguhnya Allah mengetahui sesuatu yang terang dan sesuatu yang tersembunyi.” (al-A‘lā [87]: 7).

Jika Allah bermaksud menjadikan kamu lupa, tentu Dia dapat melaksanakannya. Tetapi Allah tidak berkeinginan membuat kamu lupa terhadap sesuatu ayat al-Qur’ān.

Allah yang telah berjanji akan menjadikan kamu sebagai seorang yang dapat menghafal al-Qur’ān dan tidak lupa sedikit pun. Dia berkuasa membuat kamu hafal dan tidak pernah lupa kepada apa yang telah diberikan kepadamu.

وَ نُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَى.

Wa nuyassiruka lil yusrā.
“Dan Kami mudahkan bagimu untuk melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan.” (al-A‘lā [87]: 8).

Kami menaufiqkan kepadamu syarī‘at yang mudah, lapang, yang mudah diterima oleh segala jiwa dan akal tidak sukar memahaminya. Ayat ini memberi pengertian bahwa manusia memang dibuat merasa ringan (mudah) untuk melakukan perbuatan, bukan perbuatan yang dimudahkan bagi manusia. Maka, apabila terdapat kemauan yang kuat akan terjadilah perbuatan yang diingini dengan taufīq Allah.

Dalam ayat-ayat ini Allah memerintahkan kita untuk menyucikan nama-namaNya dari semua apa yang tidak layak. Nama Allah adalah sesuatu yang dengan nama itu kita mengetahui Allah. Allah hanya dapat diketahui melalui sifat-sifatNya, seperti yang berkuasa, yang Maha Ḥakīm; dan nama itulah yang bersifat dengan yang mempunyai keagungan dan kemuliaan. Kemudian Allah menyuruh Nabi membaca al-Qur’ān yang diturunkan kepadanya, yang menjelaskan sifat-sifat Allah dan hukum-hukum syarī‘at. Tuhan berjanji bahwa Nabi tidak akan lupa kepada al-Qur’ān.

2. Nabi Diperintahkan Memperingatkan Manusia terhadap Apa yang Berguna dalam Agama dan Dunia. Ada Tiga Macam Dakwah Rasūl. Orang yang Menyucikan Dirinya akan Mendapat Kejayaan.

 

فَذَكِّرْ إِنْ نَّفَعَتِ الذِّكْرَى.

Fa dzakkir in nafa‘atidz dzikrā.
“Maka berikanlah pelajaran, baik yang memberikan manfaat atau tidak. Sesungguhnya pelajaran itu memberi manfaat.” (44) (al-A‘lā [87]: 9).

Hai Muḥammad, ingatkanlah manusia dengan wahyu yang telah Kami turunkan kepadamu dan tunjukilah mereka dengan semua hukum agama. Jika orang-orang yang ingkar dan keras kepala itu tetap menolak dan menampik wahyu, maka janganlah kamu bersedih hati. Ketahuilah, manusia itu terbagi dalam dua golongan. Ada yang dapat memanfaatkan pelajaran dan ada yang tidak dapat memanfaatkan pelajaran.

سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى.

Sayadzdzakkaru may yakhsyā.
“Kelak pelajaran itu akan diterima oleh orang yang takut kepada Allah.” (al-A‘lā [87]: 10).

Pelajaran mau‘izhah yang kamu berikan akan diterima oleh orang yang takut kepada Allah dan takut kepada siksa-Nya, serta beriman kepada sesuatu yang ghaib.

وَ يَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى. الَّذِيْ يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى.

Wa yatajannabuhal asyqā. Alladzī yashlan nāral kubrā.
“Dan akan dijauhi oleh orang celaka. Yaitu orang yang akan tertimpa api neraka yang sangat besar”. (al-A‘lā [87]: 11-12).

Orang yang keras kepala, yang tetap ingkar, menyangkal dan menampik kebenaran wahyu Allah, dialah yang akan merasakan panasnya api neraka yang sangat besar di dalam perut Jahannam. Dia tentu akan selalu menjauhkan diri dari pelajaran dan peringatan.

Terhadap dakwah Nabi s.a.w., manusia terbagi menjadi tiga golongan:

Pertama, golongan yang mengetahui bahwa dakwah Nabi itu benar dan mereka mengimaninya dengan sempurna.

Kedua, golongan yang ragu-ragu, yang memerlukan keterangan dan bukti. Golongan ini lebih rendah derajatnya daripada golongan yang pertama.

Ketiga, golongan yang berkepala batu, yang hatinya tidak dapat dilunakkan oleh peringatan dan da‘wah. Petunjuk dan nasihat tidak mampu menembus hatinya. Inilah bagian yang paling celaka, dan yang paling jauh dari kebajikan.

ثُمَّ لَا يَمُوْتُ فِيْهَا وَ لَا يَحْيَى.

Tsumma lā yamūtu fīhā wa lā yaḥyā.
“Di dalamnya tidak mati dan tidak hidup.” (55) (al-A‘lā [87]: 13).

Orang yang mendapat nasib celaka dan menerima ‘adzab yang berat akan kekal selama-lamanya di dalam keadaan seperti itu. Tidak mati hingga dapat terlepas dari ‘adzab dan tidak pula hidup secara wajar.

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى.

Qad aflaḥa man tazakkā.
“Sungguh beruntunglah orang yang bersih dirinya.” (al-A‘lā [87]: 14).

Orang yang suci jiwanya dan membersihkan diri dari semua kotoran kufur, karat syirik dan dosa adalah orang yang akan mendapatkan kemenangan (kebahagiaan) di akhirat nanti.

وَ ذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى.

Wa dzakarasma rabbihī fa shallā.
“Dan mengingat nama Tuhannya, lalu tunduklah jiwanya kepada Allah.” (66) (al-A‘lā [87]: 15).

Di dalam hatinya dia selalu menghadirkan sifat-sifat Tuhan yang agung dan sempurna. Selalu shalat dengan menundukkan jiwanya kepada kekuasaan Allah. Orang yang mengingat Tuhannya, lalu melelehkan air matanya, tentulah mengerjakan amalan shāliḥ yang memberikan manfaat kepada dirinya.

بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَ الْآخِرَةُ خَيْرٌ وَ أَبْقَى.

Bal tu’tsirūnal ḥayātad dunyā. Wal ākhiratu khairun wa abqā.
“Sebenarnya kamu lebih mengutamakan kehidupan dunia. Padahal di negeri akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (77) (al-A‘lā [87]: 16-17).

Pengakuanmu adalah dusta. Sebab, jika kamu merupakan orang yang benar, tentulah kamu mengutamakan hidup akhirat atas kehidupan dunia. Akhirat itulah yang kekal dan nikmatnya tidak lenyap. Sebaliknya, kenikmatan dunia akan cepat berakhir.

إِنَّ هذَا لَفِي الصُّحُفِ الْأُوْلَى. صُحُفِ إِبْرَاهِيْمَ وَ مُوْسَى.

Inna hādzā lafish-shuḥufil ūlā. Shuḥufi ibrāhīma wa mūsā.
“Sesungguhnya itu benar-benar telah ada di dalam buku-buku purbakal. Yaitu buku Ibrāhīm dan Mūsā.” (88) (al-A‘lā [87]: 18-19).

Apa yang disampaikan oleh Muḥammad tentang agama Allah sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Syarī‘at yang dibawa oleh Muḥammad itu juga terdapat dalam kitab-kitab yang dibawa Nabi Ibrāhīm dan Nabi Mūsā. Sebab, para rasūl itu mempunyai asas yang sama, yaitu mengesakan Allah, menyucikan-Nya dari semua kekurangan, menetapkan adanya hari bangkit, dan membenarkan semua rasūl.

D. KESIMPULAN SURAT

Dalam ayat-ayat ini, Allah memperingatkan hamba-Nya dengan hal-hal yang memberikan manfaat kepada mereka dan menyalurkan tujuan hidupnya kepada kebajikan. Selain itu menerangkan bahwa peringatan itu hanyalah berguna bagi hati yang tunduk dan takut kepada Allah. Bagi hati yang ingkar, tentulah peringatan itu tidak akan berguna. Allah mengemukakan janji-Nya kepada orang-orang yang menyucikan dirinya dari kotoran syirik. Mereka itu akan diberi kemenangan dan kebahagiaan di akhirat. Pada akhirnya Allah menjelaskan pokok-pokok agama yang disampaikan kepada Ibrāhīm dan Mūsā.

Catatan:

  1. 1). Baca Bukhārī 65: 87: 1 No. 1831, Aḥmad 1 No. 96, 742, Muslim 2 No. 12. Baca QS. al-Wāqi‘ah [56]: 95-96, QS. ath-Thūr [52]: 48-49, QS. ash-Shāffāt [37]: 180.
  2. 2). Kaitkan dengan QS. Thāhā [20], QS. as-Sajdah [32], QS. al-Ḥasyr [59], bagian akhir QS. adz-Dzāriyāt [51], QS. an-Najm [53], QS. al-Kahfi [18]: 45, QS. al-Qadr [97], QS. al-Lail [92], dan QS. al-Qiyāmah [75].
  3. 3). Baca QS. Thaha [20]: 114, QS. al-Qiyamah [75]: 16.
  4. 4). Kami tidak menterjemahkan kata “in” dengan “karena”, tetapi dengan “sesungguhnya”. Baca al-Qurthubī 10: 20.
  5. 5). Baca QS. Fāthir [35]: 36.
  6. 6). Kami telah menterjemahkan shallā di sini dengan shalat. Surat ini turun di Makkah sesudah surat al-Isrā’.
  7. 7). Baca QS. Thāhā [20]: 20, QS. al-Qiyāmah [75]: 31, QS. Yūnus [10]: 7.
  8. 8). Baca QS. asy-Syu‘arā’ [26]: 192-196 dan 14.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *