Surah ke 87; 19 ayat
Al-A‘lā
(yang paling tinggi).
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Pembuka surah al-A‘lā
Orang yang mengimani keesaan Allah s.w.t dan telah sampai di maqam kemapanan tanpa mengalami kebimbangan maupun perubahan sama sekali; pasti mengetahui bahwa ketika seorang ‘ārif telah sampai di maqam kefanā’an dengan Allah s.w.t. dan meraih puncak ketauhidan dzat dan kekekalan abadi yang mulia, maka tidak ada sesuatu pun yang terlihat di hadapannya selain hanya keesaan dzat-Nya semata yang terbebas dari keberbilangan nama dan sifat.
Sebab berubah-ubahnya sifat dan banyaknya nama termasuk bagian dari hijab dan penghalang bagi ahli mahabbah dan para wali yang telah berada di alam keesaan, di mana alam tersebut tidak mungkin dijabarkan sama sekali karena lenyapnya hijab dan media yang digunakan untuk menjabarkan, mengisyaratkan, memperlihatkan, dan menandainya.
Ringkasnya, pada saat itu tidak ada kesempatan selain untuk ber-taqdīs dan bertasbih, sebab yang bertasbih dan ber-taqdīs tidak membutuhkan media sama sekali.
Karena itulah, setelah Nabi s.a.w. sampai di maqam kedekatan dan penyaksian, Allah s.w.t. memerintahkannya untuk bertasbih dan mengajarinya taqdīs yang dibarengi dengan nama-Nya yang tertinggi, bukan hanya sekadar penamaan, penambahan, maupun pensifatan semata. Sebab nama, sifat, dan semua kedudukan tidak bisa menjangkau maqam tersebut. Begitu pula halnya dengan “kata” yang memiliki makna lebih unggul atau lebih tinggi, “kata” tersebut justru mengindikasikan adanya kelemahan dam keterbatasan dalam memahami, mengubah, dan mengisyaratkan berbagai hal yang mengantarkan seseorang pada pengetahuan tentang diri Allah s.w.t.
Sebab pada waktu itu, lisan akan terasa kelu untuk mengungkapkan berbagai isyarat secara bebas. Begitu pula halnya dengan pemahaman dan akal, keduanya akan menjadi tumpul. Maka semuanya menjadi terdiam, bingung, takut, bahkan binasa dan lenyap sehingga tidak ada lagi tulisan, nama, berita maupun bekas-bekas yang tersisa.
Setelah sesuatu yang memang harus terjadi sudah menjadi kenyataan, maka balasannya berada di sisi Allah s.w.t. sesuai dengan ketentuan hikmah dan ilmu-Nya, serta keinginan dan kehendak-Nya. Setelah memberikan keberkahan, Allah s.w.t. berfirman: (بِسْمِ اللهِ) [Dengan menyebut nama Allah] yang ketinggian dzat-Nya tidak dapat dijangkau oleh wawasan manusia maupun pemahaman kaum khawwash dan awam: (الرَّحْمنِ) [Yang Maha Pemurah] kepada makhluk-Nya dengan mengajak mereka semua menuju rumah keselamatan, (الرَّحِيْمِ) [lagi Maha Penyayang] kepada orang-orang khusus-Nya dengan memberi petunjuk kepada mereka untuk menuju ke tempat yang paling mulia dan maqam yang paling tinggi.
Ayat 1.
(سَبِّحِ) [Sucikanlah] wahai orang yang tenggelam dalam gelombang lautan wujud yang meluap dan lenyap dalam kilauan sinar matahari penyaksian, (اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى) [nama Rabbmu Yang Paling Tinggi] meskipun kamu tidak lagi dapat berhubungan dengan nama-namaNya setelah kamu berada dalam kefanaan dengan diri-Nya. Kemudian, sesuai dengan ibadahmu, ingatlah semua kenikmatan-Nya yang sampai kepadamu setalah kamu meraih toga (jubah) kekekalan, dengan menghadirkan semua keadaan yang telah terjadi kepadamu dalam kehidupan watak kemanusiaanmu. Sebab Allah s.w.t. adalah Dzat Maha Kuasa.
Ayat 2.
(الَّذِيْ خَلَقَ) [Yang Menciptakan] dan mewujudkan semua yang diciptakan dan ditampakkan-Nya: (فَسَوَّى) [Lalu menyempurnakan] semua ciptaan-Nya beserta hal-hal yang terkait dengannya dan yang dihasilkan olehnya dalam kehidupan dunia dan akhiratnya, dengan daya dan kekuatan-Nya.
Ayat 3.
(وَ) [Dan] Dialah (الَّذِيْ قَدَّرَ) [yang menentukan kadar], mengatur urusan, memperbagus tampilan, dan menitipkan berbagai kesiapan dan kemampuan pada ciptaan-Nya tersebut yang dapat menarik berbagai macam kesempurnaan. Setelah Allah s.w.t. menyeimbangkan dan mempersiapkannya, Dia pun (فَهَدَى) [memberi petunjuk]. Maksudnya, Dia memberi petunjuk kepada semua makhluk yang diciptakan demi diri-Nya dengan menetapkan berbagai macam taklif (tanggungjawab) yang mencakup semua perintah, larangan, hukum-hukum yang wajib dan sunnah, akhlak yang diridhai, dan adab yang luhur; supaya mereka terbiasa dengan taklif tersebut dan mendalaminya dengan penuh ketulusan hingga diperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan dzat yang Esa, yang dapat menyelamatkan mereka dari kebinasaan akibat watak kemanusiaan, dan mengantarkan mereka menuju jagat raya ketuhanan.
Ayat 4.
(وَ) [Dan] Dialah Allah s.w.t (الَّذِيْ أَخْرَجَ الْمَرْعَى) [yang menumbuhkan rerumputan] dengan kekuasaan-Nya yang sempurna. Maksudnya, Dialah yang menumbuhkan dan memunculkan berbagai macam jenis rerumputan di seluruh jengkal tanah yang sebur di dunia sebagai pelengkap, demi untuk mendidik tabiat hewani dan elemen dasar manusia yang dapat menerima berbagai pengaruh alam nama dan sifat, supaya mereka bermukim di alam itu dan siap menerima limpahan berbagai macam pengetahuan dan hakikat serta kesempurnaan yang pantas, di mana mereka diciptakan demi kesempurnaan tersebut.
Ayat 5.
Setelah Allah s.w.t. memberikan kesempurnaan yang ditunggu-tunggu dalam kehidupan watak kemanusiaan mereka, (فَجَعَلَهُ) [lalu Dia menjadikan] rerumputan alam beserta keindahan dan keelokannya yang sempurna dalam pandangan orang-orang berakal, yang melihat dengan cahaya Allah s.w.t. dari balik tirai nama dan sifat, (غُثَاءً) [itu kering]. Bahkan menjadi bayang-bayang palsu setelah mereka memastikan tempat keberadaan tauhid dan menghilangkan berbagai perantaraan sifat dan nama dari tempat tersebut. Pada saat itu, semuanya menjadi debu yang berwarna (أَحْوَى) [kehitam-hitam], yang tidak meninggalkan sisa sedikit pun setelah sebelumnya berwarna kehijauan dan terlihat menyenangkan.
Ayat 6.
Selanjutnya, Allah s.w.t. berpaling kepada kekasih-Nya Muḥammad s.a.w., dengan penuh kelembutan dan perhatian. Lalu dengan nada mengingatkan dan menasehati, Dia s.w.t. berkata: (سَنُقْرِؤُكَ) [Kami akan membacakan (al-Qur’an) kepadamu] dan menjadikanmu orang yang dapat membaca dan mengawal wahyu beserta ilham yang Kami turunkan kepadamu, padahal kamu adalah seorang ummi (buta huruf) yang tidak bisa mendatangkan hal semacam itu, (فَلَا تَنْسَى) [maka kamu tidak akan lupa]. maksudnya: kamu harus mengontrol kenikmatan ini dan menjaganya serta senantiasa mensyukurinya tanpa mengurangi menambahi, maupun mengubahnya.
Ayat 7.
(إِلَّا مَا شَاءَ اللهُ) [Kecuali kalau Allah menghendaki] hal itu terlupakan darimu dengan cara menghapus bacaan atau hukumnya, atau menghapus kedua-duanya sesuai ketentuan hikmah-Nya yang unggul dan kemaslahatan yang dininginkan-Nya.
Setelah kamu mendengarkan apa yang harus kamu dengarkan, wahai Rasul yang paling sempurna, maka teruslah kamu membaca dan menjaganya. Janganlah kamu melalaikannya dalam keadaan dan kondisi apapun, baik pada saat sedang sendiri maupun saat bersama orang lain. Sebab (إِنَّهُ يَعْلَمُ) [sesungguhnya Dia mengetahui] sesuatu dari dirimu. (الْجَهْرَ وَ مَا يَخْفَى) [yang terang dan yang tesembunyi], yakni yang ada di zhahir dan bathinmu. Maksudnya, Allah s.w.t. mengetahui semua ketentuan wahyu dan ilham yang dikerjakan oleh zhahirmu, dan mengetahui keikhlasan dalam niat dan keadaan serta kejernihan hati yang terbesit dalam bathinmu.
Ayat 8.
(وَ) [Dan] ketahuilah, wahai Rasul yang paling sempurna bahwa, sesuai dengan kedermawanan Kami yang begitu besar kepadamu, (نُيَسِّرُكَ) [Kami akan memberimu taufiq] dan anugerah untuk bisa menjadi shaleh dan selalu berhati-hati sesuai dengan ketentuan wahyu: (لِلْيُسْرَى) [kepada jalan yang mudah], gampang, lapang, dan lurus.
Ayat 9.
Setelah Kami memberikan kemudahan dan kegampangan dalam menempuh jalan hidayah dan petunjuk, maka (فَذَكِّرْ) [berikanlah peringatan]. Maksudnya, nasehatilah manusia dengan al-Qur’an dan jelaskanlah hukum-hukum yang terkandung di dalamnya kepada mereka. (إِن نَّفَعَتِ الذِّكْرَى) [karena peringatan itu bermanfaat] bagi mereka. Kalau pun tidak bermanfaat bagi mereka, kewajibanmu hanya menyampaikannya dan Kami-lah yang akan menghisabnya.
Wahai Rasul yang paling sempurna, janganlah kamu merasa putus asa menghadapi begitu besarnya perlawanan dan keberpalingan mereka dari peringatan yang kamu sampaikan.
Ayat 10.
Sebab (سَيَذَّكَّرُ) [akan mendapat pelajaran] dan ternasehati oleh peringatan yang kamu sampaikan, (مَنْ يَخْشَى) [orang yang takut] pada kerasnya pembahasan Allah s.w.t. dan kekuasaan-Nya yang sempurna.
Setelah kamu mencermati al-Qur’an dan merenungkan maknanya berkali-kali, maka kamu akan memahami hakikatnya, teringatkan olehnya, dan melaksanakan isinya.
Ayat 11.
Adapun orang-orang yang (وَ يَتَجَنَّبُهَا) [menjauhinya], yakni menjauhi peringatan dan nasehat dari al-Qur’an serta tidak mau mendengarkannya, adalah (الْأَشْقَى) [orang-orang yang celaka] dari kalangan kaum kafir yang diciptakan dalam fitrah kesengsaraan, kebodohan, dan ketololan.
Ayat 12.
Mereka adalah (الَّذِيْ يَصْلَى) [orang yang akan memasuki] dan sampai di akhirat dengan disambut oleh (النَّارَ الْكُبْرَى) [api yang besar (neraka)], yang pembakaran dan rasa panasnya jauh melebihi api dunia. Karena itulah di sini Allah s.w.t. menggunakan kata (الْكُبْرَى) [yang besar], atau berada di lapisan neraka yang paling bawah dan paling besar kobaran apinya.
Ayat 13.
(ثُمَّ) [Kemudian] setelah masuk ke dalam neraka yang berisi berbagai macam keburukan, kejelekan, dan kehinaan: (لَا يَمُوْتُ فِيْهَا) [ia tidak mati di dalamnya], maksudnya tidak beristirahat, (وَ لَا يَحْيَى) [dan tidak pula hidup] dengan kehidupan yang bermanfaat dan baik, sebagaimana halnya kehidupan penduduk suatu daerah yang tenggelam dalam kobaran api syahwat dan berada dalam lapisan angan-angan yang paling bawah. Mereka tidak mengalami kematian sampai mereka beristirahat, tidak bisa hidup tanpa dibayang-bayangi oleh kematian dan terbelenggu oleh berbagai angan-angan dan harapan.
Ringkasnya, mereka diadzab sepanjang waktu dan tidak ada keselamatan bagi mereka selama mereka dalam kondisi hidup. Lalu setelah mereka mati dengan diiringi berbagai macam penyesalan, mereka akan dijebloskan di lapisan neraka paling bawah dan paling berat hukumannya.
“Ya Allah, nyalakanlah bara api mahabbah bagi kami,
Selamatkan kami dari api kesengsaraan di dunia dan akhirat.”
Selanjutnya, dengan nada mengingatkan, Allah s.w.t. berfirman:
Ayat 14.
(قَدْ أَفْلَحَ) [Sesungguhnya beruntunglah] dan sukseslah – karena mendapat derajat tertinggi dan martabat termulia – (مَنْ تَزَكَّى) [orang yang membersihkan] dan mensucikan diri dari kotoran tabiat dan kekeruhan hati dengan cara berpaling dari dunia dan dari kelezatan dan syahwatnya yang fanā’, untuk menuju kepada Allah s.w.t. dengan niat yang tulus.
Ayat 15.
(وَ ذَكَرَ) [Dan ia ingat] di awal permintaan dan permohonannya, (اسْمَ رَبِّهِ) [nama Rabbnya], yakni macam-macam nama Ilahi – disertai dengan pemahaman akan makna-maknanya – dalam keadaan sadar, senang, dan rindu. (فَصَلَّى) [Lalu ia shalat] dan melangkah menuju Allah s.w.t. berdasarkan waktu-waktu yang telah ditetapkan seraya menjauhkan dirinya dari semua hasrat duniawi.
Ayat 16.
(بَلْ تُؤْثِرُوْنَ) [Tetapi kamu lebih memilih] dan memprioritaskan, wahai orang-orang yang bodoh dan binasa, yang tersesat dalam kegelapan dan terbelenggu oleh rantai angan-angan dan harapan: (الْحَيَاةَ الدُّنْيَا) [kehidupan duniawi] yang palsu dan fanā’, daripada kehidupan akhirat yang nyata dan kekal. Ini terjadi karena mereka mengumpulkan segala hal yang dapat mengakibatkan kebinasaan dan kehancuran, dan tidak mau mempersiapkan bekal untuk menghadapi hari yang telah dijanjikan.
Ayat 17.
(وَ) [Padahal] keadaan (الْآخِرَةُ) [kehidupan akhirat] dan hal-hal yang telah dijanjikan dari berbagai macam kelezatan rohani yang terdapat di dalamnya, (خَيْرٌ) [adalah lebih baik] dibandingkan dengan hal-hal yang ada di dunia, (وَ أَبْقَى) [dan lebih kekal] serta lebih langgeng karena kelezatan tersebut tidak akan terputus.
Ayat 18.
(إِنَّ هذَا) [Sesungguhnya ini], yaitu hal-hal yang telah dinasehatkan dan diwasiatkan Allah s.w.t. kepadamu beserta dengan kebahagiaan yang dijanjikan-Nya, (لَفِي الصُّحُفِ الْأُولَى) [benar-benar terdapat dalam kitab-kitab terdahulu], tercatat dan tertulis di dalamnya.
Ayat 19.
Kitab-kitab itu adalah (صُحُفِ) [kitab-kitab] nenek moyangmu, wahai Rasul Allah yang paling sempurna; yaitu Nabi (إِبْرَاهِيْمَ) [Ibrāhīm] a.s. yang mengungguli semua orang shaleh dan sukses dalam hal persaudaraan dan kesuksesan: (وَ مُوْسَى) [dan Mūsā] a.s. yang meraih kesuksesan besar dari sisi-Nya, yaitu kedudukan dapat berbicara dengan Dzat Yang Maha Mulia lagi Maha Mengetahui.
Semoga Allah s.w.t. menjadikan kita sebagai pembantu dan debu telapak kaki mereka.
Penutup Surah al-A‘lā
Wahai pencari kebahagiaan akhirat yang hakiki dan kesuksesan maknawi, hal pertama yang harus dilakukan adalah: kamu harus membersihkan jiwamu terlebih dahulu dari segala macam sifat hina yang dapat menghalangimu untuk menghadap kepada Allah s.w.t. secara benar, dan menyucikan sirr-mu dari kecenderungan kepada semua perhiasan dunia yang hina dan angan-angannya yang tampak lezat.
Kamu harus senantiasa berkhalwat dan menjauhi golongan orang-orang kaya dan memiliki keunggulan duniawi, sampai Allah s.w.t. membantumu untuk bisa menerima sesuatu yang dapat membuatmu meraih kebahagiaan dan menggapai kesuksesan.
“Bukakanlah semua pintu rahmat-Mu bagi kami, ya Allah. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Membuka pintu rahmat.”