الْعَادِيَات
AL-‘ĀDIYĀT
Surah Ke-100; 11 Ayat.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
وَ الْعَادِيَاتِ ضَبْحًا.
فَالْمُوْرِيَاتِ قَدْحًا.
فَالْمُغِيْرَاتِ صُبْحًا.
فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا.
فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا.
100:1. Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah.
100:2. dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya),
100:3. dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi,
100:4. maka ia menerbangkan debu,
100:5. dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,
Wal-‘ādiyāt dhabḥā (Demi kuda perang yang berlari kencang – ayat 1). Jelasnya, demi jiwa-jiwa yang berupaya keras dalam menempuh jalan Allah. Mereka seperti lari kencang karena cepatnya perjalanan mereka dan latihan-latihannya, serta kesungguhannya dalam upaya keras seperti kuda perang yang lari kencang. Jiwa-jiwa itu “terengah-engah” karena demam rindu.
Fal-mūriyāti qadḥā (dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan [kuku kakinya] – ayat 2). Lalu jiwa-jiwa itu mencetuskan api dengan “korek” berbagai buah perjuangan ruhani, menyibukkan diri dengan cahaya akal aktif, memantikkan korek kontemplasi dan menyistemisasikan berbagai pengetahuan dengan pikiran.
Fal-mughīrāti shubḥā (dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi – ayat 3). Lalu jiwa-jiwa itu menyerang bagian-bagian luar yang terpaut dengan dirinya, seperti hal-hal yang bersifat kebendaan, dan juga bagian-bagian dalamnya seperti bentuk-bentuk sifat jiwa, dampak-dampak perbuatan dan kecenderungan syahwat, bisikan wahm dan khayalan, dengan “cahaya subuh” penampakan diri Ilahi (tajalli), dan efek-efek terbitnya cahaya dan prinsip-prinsip penempuhan ruhani, seperti pemusatan diri kepada-Nya semata (tajrīd).
Fa atsarna bihi naq‘a (maka ia menerbangkan debu – ayat 4) dengan cahaya tajalli itu dan “subuh” hari kiamat besar; serta dengan debu “tanah” tubuh yang telah dihaluskan oleh riyādhah (latihan ruhani), dilembutkan oleh pencegahan tubuh untuk menikmati jatah-jatahnya karena tawajjuh kepada Al-Ḥaqq semata, menghadap kepada-Nya dengan gelora cinta, resah gelisahnya daya-daya jiwa dalam mengikuti hati dan ruh, juga karena sibuknya jiwa menerima berbagai cahaya. Tentang penghalusan debu “tanah” itu, orang-orang Arab biasa berkata: Dia telah menghamburkan debu-debu seseorang. Maksudnya, dia telah membinasakannya dan menjadikannya seperti debu dalam kemusnahan.
Fa wasathna bihi jam‘a (dan menyerbu ke tengah-tengah – ayat 5) hakikat Dzat dengan “subuh” dan cahayanya itu, lalu ia hanyut di dalam-Nya. Lebih jelasnya, jiwa-jiwa itu melembutkan kekasaran “tanah” tubuh sampai menjadi seperti debu dalam hal kehalusannya, lalu dengan debu yang amat halus itu jiwa menembus Kesatuan Dzat. Hal ini karena sesungguhnya pencapaian (kepada Kesatuan itu) hanya mungkin dengan tubuh, seperti mi‘rajnya Rasulullah s.a.w. yang sesungguhnya bermi‘raj dengan tubuhnya pula. Tegasnya, jiwa-jiwa (seperti itulah) yang tahu dan beramal, yang meninggalkan segala yang patut ditinggalkan dan menarik diri sepenuhnya dari segala sesuatu selain Allah dengan pertolongan cahaya Allah, yang menghaluskan tubuh dengan riyādhah sehingga akhirnya sampai kepada-Nya.
إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُوْدٌ.
وَ إِنَّهُ عَلَى ذلِكَ لَشَهِيْدٌ.
وَ إِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ.
أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُوْرِ.
وَ حُصِّلَ مَا فِي الصُّدُوْرِ.
إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيْرٌ
100:6. sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya,
100:7. dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya,
100:8. dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.
100:9. Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur,
100:10. dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada,
100:11. sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.
Innal-insāna li rabbihi lakanūd (Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar (tidak berterima kasih) kepada Tuhannya – ayat 6). Allah bersumpah dengan kehormatan orang-orang yang bersyukur atas berbagai nikmat-Nya, yang sampai ke haribaan-Nya melalui perantaraan nikmat-nikmat itu; bersumpah bahwa sesungguhnya manusia kufur kepada Tuhannya karena terhijab oleh berbagai nikmat itu, karena hanyut dalam gelimang nikmat itu dan tak pernah memakainya untuk keperluan mencapai-Nya.
Wa innahu ‘alā dzālika lasyahīd (dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan [sendiri] keingkarannya – ayat 7); karena dengan pengetahuannya tentang keterhijaban dirinya, kesaksian akal dan cahaya fitrahnya, sebenarnya ia tahu bahwa dirinya dan cahaya fitrahnya, sebenarnya ia tahu bahwa dirinya tidak memenuhi hak-hak nikmat Allah, dan bersambalewa (lalai) di sisi Allah karena kekufurannya.
Wa innahu li ḥubb-il-khairi lasyadīd (Dan sesungguhnya manusia sangat bakhil karena cintanya kepada harta – ayat 8). Jelasnya, sesungguhnya ia sangat cinta dunia dan karenanya ia sangat bakhil. Karena itu, ia terhijab oleh harta itu, membanting tulang (memutar otak) untuk meraih dan mengumpulkannya serta enggan bersedekah; terabaikan olehnya dari Al-Ḥaqq dan berpaling dari sisi-Nya. Atau ayat ini bisa juga berarti: Sesungguhnya ia sangat berpegang teguh (munqabidh) pada kebaikan yang mengantarkannya kepada Al-Ḥaqq, tanpa sikap lembek dan kenal kompromi (munbasith).
Afalā ya‘lamu idzā bu‘tsira mā fil-qubūr wa ḥushshila mā fish-shudūr (Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada – ayat 9-10). Maksudnya, setelah keterhijaban dan pelanggaran akal ini, apakah ia masih tidak tahu juga dengan cahaya fitrah dan kekuatan akalnya tentang apa yang ada di dalam “kubur” tubuhnya ketika dibangkitkan, berupa jiwa-jiwa dan ruh? Dan ketika ditampakkan apa yang dikandung dada atau hati berupa bentuk-bentuk amal, sifat, rahasia, niat yang tersembunyi.
Inna rabbahum bihim yauma’idzin lakhabīr (Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka – ayat 11); Maha Tahu rahasia mereka, hati, amal bāthin dan amal lahir. Lalu mereka akan dibalas sesuai dengan perhitungan-Nya yang adil.