Surah adh-Dhuha 93 ~ Tafsir Ibni ‘Arabi

Dari Buku:
Isyarat Ilahi
(Tafsir Juz ‘Amma Ibn ‘Arabi)
Oleh: Muhyiddin Ibn ‘Arabi

Penerjemah: Cecep Ramli Bihar Anwar
Penerbit: Iiman
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU)

الضُّحَى

ADH-DHUḤĀ

Surah Ke-93: 11 Ayat

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

وَ الضُّحَى. وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى.

093: 1. Demi waktu matahari sepenggalahan naik,

093: 2. dan demi malam apabila telah sunyi,

093: 3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci padamu,

Allah bersumpah dengan cahaya dan kegelapan murni yang ajeg (al-qārrah ‘alā ḥālihā), yang keduanya merupakan pangkal wujud insani dan bergabungnya dua alam (ruhani dan jasmani); sumpah-Nya sebagai berikut. Sesungguhnya Tuhanmu tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan terhijab dan Dzat-Nya di alam Cahaya dan kehadiran al-Quddūs, sementara cinta dan rindumu (kepada-Nya) di maqam sifat tetap menyala-nyala. Sebab, orang yang ditinggalkan di alam cahaya dan kehadiran kudus itu tentu cinta dan rindunya akan menggebu-nggebu.

Wa mā qalā (dan Dia tidak membencimu – ayat 2). Jelasnya, Dia tidak membencimu di alam kegelapan, dan mencampakkanmu hanyut (wuqūf) bersama makhluk tanpa ada gelora cinta dan rindu di dalam jiwa, terhijab dari Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya. Kalaupun Dia seperti meninggalkanmu, maka itu sekadar untuk membakar rindumu saja. Yang demikian itu prosesnya begini: Sesungguhnya seorang kekasih yang upaya kerasnya (ijtihād) telah membuahkan penyingkapan, ketika hijabnya disibakkan dengan tauḥīd dzātī maka cintanya bergelora. Lalu agar cintanya semakin bergelora, rindunya semakin menjadi-jadi, rahasianya semakin halus, dan egoismenya menjadi-jadi, rahasianya semakin halus, dan egoismenya menjadi lebur dengan api rindu; maka ia dibalut kembali oleh hijabnya, dan jalannya ke haribaan penampakan Dzat ditutup.

Setelah itu, jalan itu dibuka kembali dan lenyaplah seluruh hijab serta tersibaklah Kebenaran murni. Ini berlaku agar beliau mencapai derajat cita-rasa dan ketersibakan yang paling sempurna. Dalam keadaan terhijab seperti itu, biasanya beliau naik ke atas gunung untuk melihat dirinya. Ketika kekuatannya telah habis, maka hijab tersibak dan ayat pun turun.

 

وَ لَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَى. وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى. أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَآوَى. وَ وَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى. وَ وَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى. فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ. وَ أَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ. وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

093: 4. dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.

093: 5. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.

093: 6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.

093: 7. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.

093: 8. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.

093: 9. Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.

093: 10. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya.

093: 11. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).

Wa lal-ākhiratu khairun laka min-al-ūlā (Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan – ayat 4). Jelasnya, keadaan akhir – yang tak lain adalah penampakan (tajalli) setelah melalui liku-liku hijab dan rindu yang sangat – itu lebih baik bagimu daripada keadaan pertama. Sebab, dalam keadaan kedua engkau aman dari perubahan ke arah munculnya “sisa-sisa” wujud dan egoisme.

Wa lasaufa yu‘thīka rabbuka fa tardhā (dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu [hati] kamu menjadi puas – ayat 5). Artinya, Dia akan memberimu wujud ḥaqqāni, untuk membimbing makhluk dan menyerukan al-Ḥaqq. Ini semua dilimpahkan setelah kamu mengalami fana murni, sehingga kamu ridha (puas) dengan wujud ḥaqqāni itu, seperti halnya engkau ridha dengan wujud manusia biasa (busyrā) (1) Hal ini karena ridha tak mungkin diraih kecuali pada saat wujud (yang diperoleh setelah mengalami fana murni).

Alam yajidka yatīman faāwā (Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu – ayat 6). Jelasnya, bukankah Dia mendapatimu sendirian dalam keadaan terhijab oleh sifat-sifat jiwa dan cahaya Bapakmu yang hakiki yang tak lain adalah ruh al-Quddūs, terputus darinya dan telantar. Lalu Allah menarikmu ke sisi-Nya, mendidikmu dalam pangkuan-Nya, dan melindungi Bapakmu supaya ia mengajari dan membersihkanmu.

Wa wajadaka dhāllan (dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung – ayat 7) dari tauhīd dzātī ketika kamu berada di alam Bapakmu, dalam keadaan terhijab oleh sifat-sifat dari Dzat-Nya, lalu Allah sendiri yang membimbingmu ke arah hakikat Dzat.

Wa wajadaka ‘ā’ilan (dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan – ayat 8), fakir dan tak memiliki apa-apa, fanā’ di dalam-Nya; Semua itu adalah karena kefakiran yang tak lain adalah “wajah tergelap di antara dua alam,” yaitu fanā’ murni setelah mengalami fanā’ di dalam sifat-sifatNya – yang merupakan kefakiran yang menjadi kebanggaannya. Ini seperti disabdakannya: kefakiranku adalah kebanggaanku. Lalu Allah mencukupkanmu dengan memberimu wujud-anugerah yang mencapai kesempurnaan ḥaqqāni dan berakhlak dengan akhlak ketuhanan. Karena itu, ketika telah sempurna kesempurnaanmu, maka berakhlaklah dengan akhlak-Ku dan berlakulah kepada hamba-Ku seperti halnya Aku berlaku kepadamu, supaya engkau menjadi hamba yang bersyukur. Lebih jelasnya mensyukuri nikmat-Ku.

Fa amm-al-yatīma falā taqhar (Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang – ayat 9). Maksudnya, terhadap orang sendirian yang hatinya remuk redam, yang terputus dari cahaya al-Quddūs, yang terhijab oleh hijab jiwa, maka janganlah kamu berlaku kasar, sayanglah ia dengan lemah lembut dan arahkanlah ia dengan dakwah, dengan hikmah dan nasihat lembut (mau‘izhah ḥasanah) seperti halnya Aku melindungimu.

Wa ammā sā’ila (Dan adapun kepada orang yang meminta-minta – ayat 10), yang memiliki kesiapan-ruhani tapi terhijab dan telantar, yang tak henti-hentinya mencari arah tujuan; maka janganlah kamu menghardiknya, dan janganlah kamu mencegahnya untuk bertanya dan berilah ia petunjuk sebagaimana Aku memberi petunjuk kepadamu.

Wa ammā bi ni‘mati rabbika fahaddits (Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebutnya [dengan bersyukur] – ayat 11). Yakni, terhadap nikmat seperti ilmu dan hikmah yang dianugerahkan kepadamu di maqam baqā’, maka bicarakanlah ia dengan cara mengajarkannya kepada orang-orang dan mencukupi mereka dengan kebaikan hakiki sebagaimana aku telah mencukupkanmu. Wallāhu A‘lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *