093
Sūrat-udh-Dhuḥā adalah surat Makkiyyah. Surat ini membahas pribadi Nabi Muḥammad s.a.w., anugrah dan nikmat yang diberikan Allah kepada beliau di dunia dan akhirat agar beliau mensyukuri nikmat-nikmat yang agung itu.
Sūrat-udh-Dhuḥā dimulai dengan sumpah bahwa Muḥammad adalah orang besar dan bahwa Allah tidak meninggalkannya dan tidak membencinya sebagaimana perkiraan orang kafir. Sebaliknya Muḥammad di sisi Allah kedudukannya tinggi dan pangkatnya mulia. “Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci padamu, dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.”
Kemudian surat ini memberitahukan berita gembira kepada Nabi s.a.w. berupa anugrah yang besar di akhirat dan apa yang disiapkan oleh Allah untuk beliau berupa bermacam-macam kemuliaan. Di antaranya adalah syafaat ‘uzhmā (syafaat beliau kepada seluruh umatnya). “Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.”
Kemudian surat ini mengingatkan beliau akan peristiwa masa kecil beliau ketika dalam keadaan yatim, melarat, tersia-sia. Maka Allah memberi beliau, melindunginya, memberi kecukupan dan mengelilingi beliau dengan perlindungan: “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”
Surat ini ditutup dengan memberi wasiat tiga hal kepada Nabi s.a.w. sebagai perbandingan ketiga nikmat di atas; agar beliau belas kasih kepada anak yatim, menyayangi orang yang memerlukan dan mengusap air mata si miskin: “Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).”
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.
وَ الضُّحَى. وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى. وَ لَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَى. وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى. أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَآوَى. وَ وَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى. وَ وَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى. فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ. وَ أَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ. وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
093: 1. Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
093: 2. dan demi malam apabila telah sunyi,
093: 3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci padamu,
093: 4. dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.
093: 5. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
093: 6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.
093: 7. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
093: 8. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
093: 9. Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.
093: 10. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya.
093: 11. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
(سَجَى): sangat gelap.
(قَلَى): membenci. Ar-Rāghib berkata: “Yakni sangat benci.” (10531)
(آوَى): memberikan perlindungan.
(عَائِلًا): miskin dan tidak berada, sangat melarat. Jarīr berkata:
“Allah dalam al-Qur’an menurunkan kewajiban,
Untuk ibnu sabil dan miskin yang melarat.” (10542).
(تَقْهَرْ): menghinakan dan meremehkan.
(تَنْهَرْ): membentak dan kasar bicara.
Ketika Nabi s.a.w. sakit, beliau tidak bangun malam selama dua atau tiga malam. Datanglah seorang wanita bernama Ummu Jamīl istri Abū Lahab berkata: “Hai Muḥammad, kami sungguh berharap setanmu meninggalkanmu. Kami tidak melihatnya dia di dekatmu selama dua atau tiga malam.” Maka Allah menurunkan ayat: “Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci padamu” (10553).
“Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi”; Allah bersumpah demi waktu dhuha, yaitu permulaan siang ketika matahari naik. Allah bersumpah demi malam ketika sangat gelap dan menutupi segala sesuatu di alam semesta. Ibnu ‘Abbās berkata: “Yakni kegelapannya tiba.” (10564) Ibnu Katsīr berkata: “Ini sumpah Allah dengan waktu dhuha dan cahaya terang-benderang yang ada padanya dan dengan malam hari jika tenang lalu gelap dan pekat. Hal itu merupakan bukti jelas kekuasaan Allah.” (10575) “Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci padamu”; Tuhanmu hai Muḥammad tidak meninggalkanmu sejak Dia memilihmu sebagai Rasul dan tidak membencimu sejak Dia mencintaimu. Ini bantahan terhadap orang kafir ketika mereka berkata: “Muḥammad ditinggalkan Tuhannya. Ayat ini adalah jawab dan isi sumpah. “dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan”; negeri akhirat lebih baik bagimu hai Muḥammad daripada kehidupan duniawi ini, sebab akhirat baqā’ dan dunia fanā’. Itulah sebabnya Nabi s.a.w. bersabda: “Ya Allah, tidak ada hidup kecuali hidup akhirat.”
“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas”; Tuhanmu di akhirat kekal akan memberimu pahala, kemuliaan, syafaat dan lainnya sampai kamu ridha. Ibnu ‘Abbās berkata: “Karunia yang dimaksud adalah syafaat kepada umatnya sampai beliau ridha.” Sebab, ada riwayat bahwa Nabi s.a.w. ingat umatnya, lalu berkata: “Ya Allah, umatku, umatku,” Dan beliau menangis.” Maka Allah berfirman: “Hai Jibril, pergilah kamu kepada Muḥammad dan tanyalah dia, apa yang membuatmu menangis?” Padahal Allah lebih tahu dari Jibril. Jibril mendatangi Nabi s.a.w. dan bertanya kepadanya. Lalu Nabi s.a.w. memberitahu Jibril apa yang beliau ucapkan. Maka Allah berfirman: “Hai Jibril, pergilah kamu kepada Muḥammad dan katakan kepadanya: “Sesungguhnya Kami meridhaimu pada umatmu dan Kami tidak menyusahkanmu.” (10586) Dalam hadits disebutkan: “Bagi setiap nabi ada doa yang dikabulkan, lalu setiap nabi menyegerakan doanya. Dan sesungguhnya kami menyimpan doaku, syafaatku kepada umatku pada hari kiamat.” (10597). Al-Khāzin berkata: “Yang paling tepat memaknai ayat ini pada lahirnya agar mencakup kebaikan dunia dan akhirat sekaligus. Sebab di dunia Allah memberi Nabi s.a.w. kemenangan, mengalahkan musuhnya, memberikan banyak pengikut dan memperluas wilayah, meninggikan agama Islam dan menjadikan umatnya sebagai umat terbaik. Sedangkan di akhirat, Allah memberi Nabi s.a.w. syafaat umum, kedudukan terpuji dan anugrah dunia akhirat lainnya.” (10608).
Setelah memberikan janji agung kepada Nabi s.a.w., Allah mengingatkan beliau terhadap nikmat-nikmat yang Dia berikan kepada beliau semasa kecil agar beliau bersyukur kepada Allah. Allah berfirman: “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu”; hai Muḥammad, bukankah kamu adalah anak yatim pada masa kecilmu, lalu Allah memberimu perlindungan dari pamanmu Abū Thālib? Ibnu Katsīr berkata: “Sebab ayahanda Nabi meninggal dunia ketika beliau dalam kandungan. Lalu, Ibunda beliau wafat ketika beliau berumur enam tahun. Kemudian beliau diasuh oleh sang Kakek, ‘Abd-ul-Muththalib sampai sang Kakek wafat ketika beliau berumur delapan tahun. Lalu, Nabi diasuh oleh sang Paman Abū Thālib yang melindungi dan menjaga, membela dan menolong beliau, sampai beliau diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun. Abū Thālib memang penyembah berhala sebagaimana kaumnya, namun dia membela Nabi s.a.w. Semua itu termasuk perlindungan dan perhatian Allah kepada beliau.” (10619).
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk”; Allah menjumpai kamu tidak tahu syariat dan agama. Lalu, Dia menunjukkanmu kepadanya. Ini semakna dengan ayat: “Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitāb (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu.” (asy-Syura: 52). Imām Jalāluddīn berkata: “Maknanya, Allah mendapati kamu sesat dari syariat yang sekarang ada padamu. Lalu, Dia menunjukkanmu kepadanya.” (106210) Pendapat lain menegaskan, Nabi s.a.w. tersesat di sebagian jalan-jalan bukit Makkah ketika kecil. Lalu, Allah mengembalikannya ke jalan yang benar. Abū Ḥayyān berkata: “Tidak mungkin mengarahkan kata sesat di sini dengan sesat kebalikan hidayah, sebab para nabi ma‘shum dari hal itu. Ibnu ‘Abbās berkata: “Nabi s.a.w. sesat ketika kecil di jalan-jalan di bukit Makkah.” Pendapat lain menyatakan, beliau tersesat ketika bersama sang Paman di jalan Syam: “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan”; Allah menjumpai kamu dalam keadaan fakir miskin dan perlu. Lalu, Dia membuatmu tidak memerlukan orang lain dengan usaha dagang yang Dia mudahkan kepadamu.
Setelah mengingatkan ketiga nikmat tersebut, Allah berwasiat tiga hal kepada beliau sebagai konsekwensinya dengan berfirman: “Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang”; janganlah kamu menghina anak yatim dan jangan kamu kuasai harta bendanya. Mujāhid berkata: “Yakni janganlah kamu menghina anak yatim.” Sufyān berkata: “Janganlah kamu menzhaliminya dengan menyia-nyiakan harta bendanya. Maksudnya, hendaknya kamu seperti ayah yang sayang kepada anak yatim. Sebab, kamu dulu yatim, lalu Allah memberi kamu perlindungan. “Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya”; janganlah kamu membentak orang yang meminta karena dia fakir dan membutuhkan dan janganlah berkata kasar kepadanya. Berilah dia atau tolaklah orang miskin dengan lemah-lembut.” “Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”; ceritakanlah kepada umat manusia anugrah dan nikmat Allah kepadamu, sebab menceritakan nikmat berarti mensyukurinya. Al-Alūsī berkata: “Kamu dulu yatim yang tersesat dan miskin. Lalu Allah memberimu perlindungan, petunjuk dan kecukupan. Maka janganlah kamu lupa akan nikmat Allah kepadamu pada ketiga hal tadi. Karena itu, sayanglah kepada anak yatim dan belas-kasihanlah kepada peminta. Sebab, kamu sudah pernah merasakan keyatiman dan kemisikinan. Tunjukkanlah hamba-hamba ke jalan kebenaran sebagaimana Tuhanmu memberi kamu petunjuk.” (106311).
Dalam Sūrat-udh-Dhuḥā terdapat sejumlah keindahan bahasa sebagaimana berikut ini:
Pertama, thibāq antara (الْأَخِرَةُ) (yang terakhir; akhirat) dan (الْأُولَى) (yang pertama; dunia), sebab yang dimaksudkan adalah dunia dan akhirat.
Kedua, perbandingan yang lembut:
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَآوَى. وَ وَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى.
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.”
Allah membuat bandingannya yaitu:
فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ. وَ أَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ.
“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya.”
Ketiga, jinās nāqish antara: (تَقْهَرْ) dan (تَنْهَرْ) karena perbedaan huruf kedua dari kedua kata.
Keempat, saja‘ murashsha‘ bagaikan untaian mutiara yang indah.
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَآوَى. وَ وَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى. وَ وَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى.