Hati Senang

Suratu ‘Abasa 80 ~ Tafsir Ibni ‘Arabi

Tafsir Ibni 'Arabi - Isyarat Ilahi

Dari Buku:
Isyarat Ilahi
(Tafsir Juz ‘Amma Ibn ‘Arabi)
Oleh: Muhyiddin Ibn ‘Arabi

Penerjemah: Cecep Ramli Bihar Anwar
Penerbit: Iiman
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU)

عَبَسَ

‘ABASA

Surah Ke-80: 42 Ayat

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

عَبَسَ وَ تَوَلَّى. أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى. وَ مَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى. أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى. أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى. فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى. وَ مَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى. وَ أَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى. وَ هُوَ يَخْشَى. فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى.

80:1. Dia (Muḥammad) bermuka masam dan berpaling,

80:2. karena telah datang seorang buta kepadanya.

80:3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa)

80:4. atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?

80:5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,

80:6. maka kamu melayaninya.

80:7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).

80:8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),

80:9. sedang ia takut kepada (Allah),

80:10. maka kamu mengabaikannya.

‘Abasa wa tawallā (Dia [Muḥammad] bermuka masam dan berpaling – ayat 1). Nabi s.a.w. selalu berada dalam pangkuan pendidikan Tuhan, karena ia adalah kekasih-Nya. Maka, setiap kali sifat ego beliau melambung tinggi sampai menghijabnya dari cahaya Allah, sehingga ia tidak lagi bergerak dengan Allah melainkan dengan egonya sendiri, maka beliau pun segera ditegur dan dididik-Nya. Ini seperti disebutkan beliau: Allah mendidik adabku lalu memperbaiki adabku sebaik-baiknya. Begitu rupa sehingga Nabi s.a.w. akhirnya berakhlak dengan akhlak Allah (takhalluq).

Sesungguhnya, ego beliau selalu ditempa dan digembleng-Nya disebabkan oleh kenyataan bahwa beliau tak akan bisa ber-takhalluq kecuali setelah mencapai penyatuan (al-wushūl) dan fanā’ (yang meleburkan egoisme beliau). Kemudian, beliau juga tak akan bisa mencapai tahaqquq kecuali dalam keadaan baqā’ (11) Yang dimaksud dengan tahaqquq adalah istiqamah atau keteguhan di dalam-Nya tanpa keberpalingan sedikit pun terhadap ego diri (talwīn). (22). Karena itu, ketika Rasulullah melihat para tokoh besar (Kaum ‘Arab) hanya dari segi penampilan luarnya saja, mengagungkan mereka, merasa cukup untuk mendakwahi mereka saja dan mengabaikan orang-orang fakir – karena terlalu mengandalkan tokoh-tokoh besar dan ingin memperkuat Islam dengan keberimanan mereka; juga karena meremehkan keimanan kaum fakir – ; maka Allah segera memperingatkannya bahwa orang sekaliber beliau tak sepatutnya bersikap demikian. Sebab jika beliau melihat orang hanya dari penampilan luarnya saja, maka ia akan mengabaikan orang-orang lemah yang justru memiliki kesiapan-ruhani untuk beriman dan mencari kebenaran. Sebaliknya, wajiblah beliau melihat orang hanya dari segi kesiapannya untuk beriman, sehingga ia hanya menilai orang dari segi kesiapan iman itu, bukan dari yang lainnya. Allah juga memperingatkan beliau agar jangan sampai silau (terhijab) oleh penampilan luar itu, sebab boleh jadi malah orang fakir yang terabaikan itulah yang ingin membersihkan dan menghiasi diri hingga sampai sempurna akhlaknya. Jika sudah demikian, maka orang fakirlah yang akan mendapat petunjuk dan sekaligus bisa memberi petunjuk kepada orang lain (memperkuat Islam sesuai dengan keinginan beliau – pen.). Sementara orang kaya yang diperhatikan tak akan pernah beriman karena tidak adanya kesiapan mereka, kesombongan dan pembangkangannya.

Wa mā ‘alaika (padahal bagimu tidak ada – ayat 7) dosa jika mereka enggan memeluk Islam.

كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ. فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ. فِيْ صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ. مَّرْفُوْعَةٍ مُّطَهَّرَةٍ. بِأَيْدِيْ سَفَرَةٍ. كِرَامٍ بَرَرَةٍ. قُتِلَ الْإِنْسَانُ مَا أَكْفَرَهُ. مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ. مِنْ نُّطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ. ثُمَّ السَّبِيْلَ يَسَّرَهُ. ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ. ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنْشَرَهُ. كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ. فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ. أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا. ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا. فَأَنْبَتْنَا فِيْهَا حَبًّا. وَ عِنَبًا وَ قَضْبًا. وَ زَيْتُوْنًا وَ نَخْلًا. وَ حَدَائِقَ غُلْبًا. وَ فَاكِهَةً وَ أَبًّا. مَّتَاعًا لَّكُمْ وَ لِأَنْعَامِكُمْ.

80:11. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,

80:12. maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya,

80:13. di dalam kitab-kitab yang dimuliakan,

80:14. yang ditinggikan lagi disucikan,

80:15. di tangan para penulis (malaikat),

80:16. yang mulia lagi berbakti.

80:17. Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya?

80:18. Dari apakah Allah menciptakannya?

80:19. Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya.

80:20. Kemudian Dia memudahkan jalannya,

80:21. kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur,

80:22. kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali.

80:23. Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya,

80:24. maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.

80:25. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit),

80:26. kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya,

80:27. lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu,

80:28. anggur dan sayur-sayuran,

80:29. Zaitun dan pohon kurma,

80:30. kebun-kebun (yang) lebat,

80:31. dan buah-buahan serta rumput-rumputan,

80:32. untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.

Kallā (sekali-kali jangan [demikian]! – ayat 11). Kata kallā adalah teguran kepada Nabi untuk tidak bersikap demikian. Karena itu diriwayatkan bahwa sejak turunnya ayat ini, Nabi tak lagi bermuka masam kepada orang fakir dan ia tidak lagi melayani orang kaya.

Fī shuḥufin mukarramah (di dalam kitab-kitab yang dimuliakan – ayat 13) di sisi Allah. Yang dimaksud dengan kitab-kitab itu adalah “lembaran-lembaran jiwa samawi” yang kepada al-Qur’ān diturunkan untuk pertama kalinya dari lauḥ-ul-maḥfūzh (lembaran yang terjaga). Hal ini telah kami singgung di bagian lain.

Marfū‘atin muthahharah (yang ditinggikan lagi disucikan – ayat 14). Jelasnya, ditinggikan kemuliaan dan tempatnya, serta disucikan dari kotoran-kotoran alam rendah berikut berbagai perubahannya.

Bi aydī safarah (di tangan para penulis adalah akal-akal murni (al-qaul-ul-muqadasah) yang menjadi penyebab (al-mu’atstsirah) bagi turunnya al-Qur’ān (dari lauḥ-ul-maḥfūzh) ke “lembaran-lembaran jiwa samawi” itu.

Kirāmin bararah (yang mulia lagi berbakti – ayat 16). Mereka mulia karena kemuliaan dan kedekatannya dengan Allah, dan berbakti atau suci karena kesuciannya dengan Allah, dan berbakti atau suci karena kesuciannya dari segala macam materi, dan karena kesucian substansinya dari berbagai keterkaitan.

Selanjutnya, sementara Allah menjelaskan bahwa al-Qur’ān adalah peringatan yang hanya akan berlaku bagi mereka yang mau menerimanya saja (mutadzakkirīn) (ayat 11-16 – pen.); Allah terheran-heran dengan kekufuran manusia dan keterhijabannya yang membutuhkan peringatan, aneh dengan tidak adanya nikmat lahir yang bisa mengantarkannya kepada Pemberi segala nikmat Allah telah memberinya kebaikan mulai dari awal penciptaannya, perasaan-perasaan ruhani (aḥwāl) dalam jiwanya, ruh yang berada di luar dirinya yang tanpanya ia tak akan hidup. Selain itu, Allah juga menegaskan bahwa manusia sebenarnya selalu bersamaan dengan dua petunjuk (dalīl): pertama adalah perenungan tentang berbagai kebaikan itu yang mesti mengantarkannya kepada Sang Pencipta dan Pemberi nikmat, mensyurkurinya, dan mendengar nasihat; dan kedua adalah turunnya al-Qur’ān sebagai peringatan baginya.

Lammā yaqdhi mā amarah (manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya – ayat 23). Jelasnya, sudah sekian lama manusia belum juga mematuhi perintah Allah: mensyukuri nikmat, memakainya untuk kesempurnaan diri (kamāl) dan mencapai Sang Pemberi nikmat. Sebaliknya, manusia malah terhijab oleh berbagai nikmat dan (ego) dirinya dari Tuhan.

فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ. يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيْهِ. وَ أُمِّهِ وَ أَبِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ بَنِيْهِ. لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيْهِ. وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ مُّسْفِرَةٌ. ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ. وَ وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ. تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ. أُولئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ.

80:33. Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua),

80:34. pada hari ketika manusia lari dari saudaranya,

80:35. dari ibu dan bapaknya,

80:36. dari istri dan anak-anaknya.

80:37. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.

80:38. Banyak muka pada hari itu berseri-seri,

80:39. tertawa dan gembira ria,

80:40. dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu,

80:41. dan ditutup lagi oleh kegelapan,

80:42. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.

Fa idzā jā’at-ish-shākhkhah (dan apabila datang suara yang memekakkan – ayat 33). Yang dimaksud suara yang memekakkan adalah tiupan sangkakala pertama yang membingungkan akal dan pancaindra.

Yauma (pada hari ketika – ayat 34) setiap manusia sibuk dengan urusan dirinya sendiri dan tak sempat memikirkan orang lain, karena dahsyatnya apa yang dialaminya dan terlalu sibuk dengan apa yang menimpa dirinya. Pada hari itu manusia terbagi dua: pertama adalah golongan bahagia yang wajah-wajahnya berseri-seri dan cemerlang dengan cahaya diri dan kesuciannya, yang merasa senang dengan bentuk-bentuk amal mereka yang baru dijumpai dan kenikmatan-kenikmatan surga mereka; Kedua, golongan malang (al-asyqiyā’) yang wajahnya hitam kelam dengan kegelapan kekufuran mereka, gelapnya diri mereka yang dilumuri “debu-debu” berbagai bentuk dosa mereka serta hitamnya efek-efek amal mereka.

Ulā’ika hum-ul-kafarat-ul-fajarah (mereka itulah orang-orang kafir dan durhaka – ayat 42). Jelasnya, rangkapnya kekufuran mereka dan keberdosaan mereka itulah yang menyebabkan hitam kelam dan sekaligus debu di atas wajah mereka.

Catatan:


  1. 1). Baqā’ adalah menetap dalam Allah untuk selamanya. Sesudah tahap fanā’ atau peleburan diri di dalam Allah, Allah menetapkan hamba-Nya untuk kembali ke dunia guna menyempurnakan mereka yang belum sempurna. Baqā’ adalah kembalinya sang hamba pada alam manusia tetapi dalam “jubah” kehormatan, kemuliaan, cinta dan kemurahan. Kini ada melihat Allah ada dalam segala sesuatu dan setiap saat. Amatullah Armstrong, op.cit., h. 48 – pen. 
  2. 2). Agaknya, taḥaqquq lebih tinggi dari takhalluq. Untuk memahami lebih lanjut, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu tingkatan perjalanan-ruhani secara umum. Menurut Mulla Sadra, perjalanan ruhani terbagi ke dalam empat tahap: pertama adalah perjalanan dari makhluk menuju Allah; kedua perjalanan di dalam Allah; ketiga perjalanan dari Allah turun ke makhluk; dan terakhir perjalanan di dalam makhluk bersama Allah. Buat para nabi, bukan hanya takhalluq yang harus dicapai, yang bisa dicapai segera setelah meleburkan diri di dalam Allah (segera setelah fanā’ atau kira-kira segera setelah perjalanan kedua); tetapi juga tahaqquq, yakni menetapnya diri di dalam Allah sembari benar-benar merealisasikan takhalluq itu secara teruji di alam makhluk (baqā’, yang kira-kira sejajar dengan perjalanan keempat). Karena itu, al-Kasysyani mengartikan tahaqquq sebagai “menyaksikan (atau bersama) Allah di dalam makhluk yang tak lain adalah cermin dari nama-namaNya,” yang dengan begitu maka sang muhaqqiq (orang yang bertahaqquq) tak terhijab oleh al-Ḥaqq dari makhluk (seperti pada perjalanan kedua: lebur atau hanyut di dalam Allah sehingga abai akan makhluk); tidak pula terhijab oleh makhluk dari al-Ḥaqq (seperti kebanyakan orang yang tak peduli dengan perjalanan-ruhani: larut dan terpesona oleh alam tanpa melirik kepada Penguasa di baliknya). Al-Kasysyani, op.cit., h. 156 – pen. 
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.