Surah ke 80; 42 ayat
‘Abasa
(orang yang bermuka masam).
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Pembuka Suratu ‘Abasa
Orang yang tinggal di tempat keesaan yang terhormat dan bermukim di sebagian besar alam ketuhanan; pasti mengetahui kalau tanda-tanda kemapanan dan kekukuhan adalah tidak adanya sesuatu pun dari alam watak kemanusiaan yang tersisa dalam diri orang yang mengesakan dan mengimani Allah s.w.t. Ia tidak berlaku sombong kepada orang yang berada di bawahnya dan tidak meratapi orang yang berada di atasnya. Bahkan dalam mata penyaksiannya, tidak tersirat sama sekali kalung dualisme maupun abu keunggulan dan pujian. Dalam pandangannya, semua manusia memiliki kedudukan yang sama. Ia tidak melihat adanya perbedaan pada makhluk Sang Raḥmān, apalagi mengunggulkan orang yang berharta dan lalai – menurut pandangan orang bijak dan alim – atas orang yang memiliki keinginan dan martabat, meskipun di antara mereka ada yang kehilangan panca indera zhahir.
Ketika Nabi s.a.w. diliputi perasaan menggebu-gebu dalam rangka mengajak para pemuka Mekkah, para petingginya, dan orang-orang yang menjadi juru bicara mereka untuk beriman; suatu hari beliau duduk bersama mereka untuk beramah-tamah, dengan harapan mereka mau beriman dan bersedia menerima dakwahnya.
Nabi s.a.w. terus menemani dan memberi perhatian kepada mereka sampai Ibnu Ummi Maktūm r.a. yang buta menemuinya. Karena ia tidak tahu siapa saja orang-orang yang berada di sekeliling beliau, ia langsung berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku sesuatu yang telah diajarkan Allah s.w.t. kepadamu.” Namun beliau tidak menghiraukannya dan tetap menyibukkan diri dengan orang-orang kaya. Maka Ibnu Ummi Maktūm r.a. bertanya kembali sampai akhirnya Nabi s.a.w. marah dan mengernyitkan dahinya sehingga jadilah beliau sebagai orang yang bermuka masam. Akhirnya dalam dialog tersebut muncul berbagai celaan dari para pemuka Mekkah yang menyatakan bahwa para pengikut beliau tidak lain hanyalah orang-orang yang lemah, buta, dan miskin. Inilah yang dialami Nabi s.a.w. sampai akhirnya Allah s.w.t. memberi wahyu kepada-Nya, sebagai bentuk teguran sekaligus pelajaran bagi beliau s.a.w. atas sikapnya terhadap Ibnu Ummi Maktūm r.a. Allah s.w.t. berfirman:
(بِسْمِ اللهِ) [Dengan menyebut nama Allah] yang menampakkan diri dalam hati para wali-Nya sesuai dengan rahmat-Nya yang luas, (الرَّحْمنِ) [Yang Maha Pemurah] kepada mereka dengan menjaga martabat mereka, (الرَّحِيْمِ) [lagi Maha Penyayang] kepada mereka dengan cara membangunkan mereka dari kelalaian mereka.
Ayat 1.
(عَبَسَ) [Dia (Muhammad) bermuka masam] wajahnya karena tidak senang kepada orang yang meminta petunjuk, yaitu Ibnu Ummi Maktūm r.a., (وَ تَوَلَّى) [dan berpaling] serta mengalihkan raut muka darinya karena merasa tidak suka saat:
Ayat 2.
(أَنْ جَاءَهُ) [telah datang kepadanya] seorang peminta petunjuk yang berada dalam keadaan (الْأَعْمَى) [buta]. Allah s.w.t. mengungkapkan pernyataan ini kepada kekasih-Nya, Nabi s.a.w., dengan cara meng-ghibah untuk menunjukkan kecemburuan yang sempurna dan penjagaan Ilahi dari kelalaian yang tidak diridhai-Nya.
Kemudian Allah s.w.t. berpaling pada pernyataan lain untuk menyempurnakan pendidikan dan celaan-Nya. Dengan nada menyudutkan, Dia bertanya:
Ayat 3.
(وَ مَا يُدْرِيْكَ) [Tahukah kamu] yang maksudnya: apa saja yang telah kamu ketahui dari keadaan dan hatinya? Sebab (لَعَلَّهُ يَزَّكَّى) [barangkali ia ingin membersihkan dirinya] dan menyucikannya dari dosa, lalu mendapat petunjuk menuju agama Islam atas hidayah dan petunjukmu. Berbeda halnya dengan orang-orang bodoh dan lalai itu, yang membuatmu menaruh simpati dan merasa senang berdakwah kepada mereka. Padahal mereka tidak mendapat petunjuk dan tidak pula mensucikan diri mereka;
Ayat 4.
(أَوْ يَذَّكَّرُ) [atau ia (ingin) mendapatkan pengajaran] maksudnya: murid yang fakir ini ingin mendapat nasehat dan peringatan dari perkataanmu, (فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى) [lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya] dan mengarahkannya menuju kepada Sang Penguasa dikarenakan pengajaran tersebut.
Ayat 5.
(أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى) [Adapun terhadap orang yang merasa dirinya serba cukup] yakni: orang yang merasa tidak membutuhkan Allah s.w.t. dan berpaling dari peringatan dan dakwahmu dengan menunjukkan kesombongannya karena harta, kekayaan, kekuasaan, dan sempurnanya kehormatan yang dimilikinya:
Ayat 6.
(فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى) [maka kamu melanyaninya], condong kepadanya, dan membuka diri untuk menerimanya, serta bersimpati kepadanya dengan perasaan cinta yang begitu besar.
Ayat 7.
(وَ مَا عَلَيْكَ) [Padahal tidak ada (celaan) atasmu] maksudnya: kesialan apa saja yang mungkin menimpamu (أَلَّا يَزَّكَّى) [kalau ia tidak membersihkan diri] dan menyucikannya dari berbagai macam kotoran dosa dan najis kemaksiatan sehingga ia mendorongmu untuk berpaling dari ahli kebenaran dan tidak menaruh perhatian kepada mereka, padahal tugasmu tidak lain hanya memberitahukan dan menyampaikan?
Ayat 8.
(وَ أَمَّا مَنْ جَاءَكَ) [Adapun orang yang datang kepadamu] dari kalangan peminta dan orang yang ikhlas, (يَسْعَى) [dengan bersegera] dan secepatnya untuk meminta kebaikan dan hidayah:
Ayat 9.
(وَ) [sedang] keadaannya, (هُوَ يَخْشَى) [ia takut kepada] kemarahan Allah s.w.t. dan mengharapkan pahala dari-Nya;
Ayat 10.
(فَأَنْتَ) [namun kamu], dengan kedudukanmu sebagai orang yang diutus untuk memberi hidayah dan petunjuk kepada orang-orang yang memiliki keinginan dan penerimaan, malah (عَنْهُ تَلَهَّى) [mengabaikannya] dan pura-pura sibuk serta menghindar darinya, seakan-akan kamu meremehkannya dan tidak peduli dengan keadaan dan keimanannya karena keadaannya yang dekil dan miskin.
Selanjutnya Allah s.w.t. semakin keras dalam mendidik kekasih-Nya, Muḥammad s.a.w., dan menegaskannya dengan berfirman:
Ayat 11.
(كَلَّا) [Sekali-kali jangan (demikian)!] maksudnya: janganlah kamu melakukan perbuatan semacam itu! Janganlah kamu condong kepada orang-orang yang menyimpang dan sesat dengan cara berpaling dari kalangan yang mendapatkan hidayah dan kesempurnaan, karena kamu tidak memiliki kebebasan untuk memilih. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan dan memberi peringatan. (إِنَّهَا) [Sesungguhnya ajaran-ajaran Rabb itu], yakni dakwah dan pengajaranmu yang disampaikan melalui berbagai ayat, (تَذْكِرَةٌ) [adalah suatu peringatan] yang turun dari Rabbmu di mana kamu diperintahkan untuk menyampaikannya kepada manusia.
Ayat 12.
(فَمَنْ شَاءَ) [Maka barang siapa yang dikehendaki] Allah s.w.t. mendapat nasehat, (ذَكَرَهُ) [tentulah Dia memperhatikannya] dan menasehatinya dengan al-Qur’an, baik ia orang kaya maupun orang miskin.
Ayat 13.
Bagaimana mungkin ia tidak bisa dinasehati dengan ajaran Allah s.w.t., sedang ajaran itu sendiri diturunkan dari-Nya dan terdapat (فِيْ صُحُفٍ) [di dalam kitab-kitab] yang diturunkan kepada para rasul (مُّكَرَّمَةٍ) [yang dimuliakan] di sisi-Nya.
Ayat 14.
(مَّرْفُوْعَةٍ) [Yang ditinggikan] lagi didekatkan derajat dan posisinya ke sisi-Nya, serta dilemparkan dari sisi-Nya kepada para rasul-Nya (مُّطَهَّرَةٍ) [yang disucikan].
Ayat 15.
(بِأَيْدِيْ سَفَرَةٍ) [Di tangan para penulis] yaitu: para malaikat yang menjadi media antara Allah s.w.t. dengan para rasul-Nya.
Ayat 16.
(كِرَامٍ) [yang mulia] lagi agung posisinya di sisi-Nya dan memiliki kemuliaan atas orang-orang beriman, (بَرَرَةٍ) [lagi berbakti] dan membersihkan diri mereka di mana mereka berbakti kepada para hamba-Nya dengan kemuliaan Ilahi yang agung dan kasih sayang dari-Nya serta rahmat yang umum dari-Nya.
Ayat 17.
(قُتِلَ الْإِنْسَانُ) [Binasalah manusia] maksudnya: terlaknat dan tertolaklah manusia dari tempat penerimaan yang terhormat, (مَا أَكْفَرَهُ) [alangkah amat sangat kekafirannya] maksudnya: hal apakah yang mendorong dan menyebabkannya berpaling dari Allah s.w.t. yang memberi kenikmatan dan kemuliaan, dan tidak mau mentaati dan menyembah-Nya. Padahal Dia Maha Tahu dengan kemuliaan-Nya yang sempurna, Maha Mengenal ciptaan-Nya yang menakjubkan, Maha Mengingat Diri-Nya, dan Maha Mengetahui keadaan dan perkembangan ciptaan-Nya yang telah lalu.
Ayat 18.
Tentang manusia yang hina dan rendah, (مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ) [dari apakah Allah menciptakannya] dan mewujudkannya berdasarkan kekuasaan-Nya?
Ayat 19.
(مِنْ نُّطْفَةٍ) [Dari setetes mani] yang hina dan kotorlah (خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ) [Allah menciptakannya lalu menentukannya] maksudnya: Allah s.w.t. menciptakan organ dan anggota tubuhnya dari air mani, lalu menyeimbangkan dan meluruskan tulang-belulangnya. Jadi mengapa manusia malah berlaku takabur, congkak, dan tidak mau berterima kasih?
Ayat 20.
(ثُمَّ السَّبِيْلَ) [Kemudian jalan] yang menyatukan dan mengantarkan kepada Allah s.w.t. menciptakannya pertama kali dan menjadi tempat kembali baginya, (يَسَّرَهُ) [Dia mudahkan] dan gampangkan baginya dengan cara Dia menuangkan dan menitipkan kepadanya akal fitrah yang menjadi cabang dari akal Ilahi, supaya dengan akal tersebut ia mengetahui tempat asal dan tempat kembalinya.
Ayat 21.
(ثُمَّ أَمَاتَهُ) [Kemudian Dia mematikannya] dari kehidupan yang dipenuhi ujian dan cobaan demi untuk membebaskan dan mendekatkannya kepada Allah s.w.t., (فَأَقْبَرَهُ) [dan memasukkannya ke dalam kubur] di alam barzakh.
Ayat 22.
(ثُمَّ إِذَا شَاءَ) [Kemudian bila Dia menghendaki] dan mengaitkan kehendak-Nya untuk menghidupkan, (أَنْشَرَهُ) [Dia akan membangkitkannya kembali] dari kubur dan menggiringnya ke padang Maḥsyar. Lalu menghisab dan membalasnya sesuai dengan hasil penghisaban dirinya – baik maupun buruk – berdasarkan keutamaan dan keadilan dari-Nya.
Ayat 23.
Kalimat (كَلَّا) [sekali-kali jangan] merupakan bentuk pencegahan dan celaan terhadap manusia. Maksudnya: betapa besar kelalaian dan kekufuran atas berbagai nikmat yang besar dan kemuliaan yang agung, saat (لَمَّا يَقْضِ) [manusia itu belum melaksanakan] dan belum menjalankan (مَا أَمَرَهُ) [apa yang diperintahkan Allah kepadanya] di mana perintah tersebut mengiringi keberadaan dan kemunculannya di dunia. Memang tidak ada seorang pun yang terbebas dari kekufuran, pengingkaran, dosa, maupun penentangan. Hanya saja sebagian dari mereka ada yang mengetahui kesalahannya, lalu memperbaiki diri dengan pertobatan dan keimanan yang tidak bisa dihancurkan oleh kekufuran. Sebagian lagi tetap tenggelam dalam kemaksiatan dan kelalaiannya sampai tidak bisa diperingatkan sama sekali.
Ayat 24.
Jadi intinya: (فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ) [hendaknya manusia memperhatikan] – di mana manusia memiliki kecenderungan alami pada kekufuran dan kelalaian –, (إِلَى طَعَامِهِ) [kepada makanannya] yang diberikan kepadanya dari sisi Kami sebagai bentuk karunia dan kemuliaan, demi untuk menguatkan dirinya dan memperbaiki struktur tubuhnya.
Ayat 25.
(أَنَّا) [Sesungguhnya Kami] dari maqam yang agung ini, telah bermurah hati, di mana Kami (صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا) [benar-benar telah mencurahkan air] dan menurunkannya dari langit sebagai bentuk dukungan baginya dan sebagai persiapan untuk menghadapi kehidupannya.
Ayat 26.
(ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ) [Kemudian Kami belah bumi] setelah Kami mencurahkan air kepadanya, (شَقًّا) [dengan sebaik-baiknya] dan dengan cara yang sangat menakjubkan:
Ayat 27.
(فَأَنْبَتْنَا فِيْهَا) [Lalu Kami tumbuhkan di bumi itu] berbagai macam (حَبًّا) [biji-bijian] yang berfungsi sebagai makanan yang mengenyangkan bagi manusia.
Ayat 28.
(وَ عِنَبًا) [dan anggur] yang mengandung berbagai macam rasa dan bisa dibuat menjadi berbagai macam minuman, (وَ قَضْبًا) [dan sayur-sayuran] yang bisa dipetik berkali-kali sebagai makanan tambahan, serta:
Ayat 29.
(وَ زَيْتُوْنًا وَ نَخْلًا) [zaitun dan pohon kurma].
Ayat 30.
(وَ حَدَائِقَ غُلْبًا) [Dan kebun-kebun lebat] yang dipenuhi dengan berbagai macam pepohonan:
Ayat 31.
(وَ فَاكِهَةً) [Dan buah-buahan] yang bermacam-macam jenisnya (وَ أَبًّا) [serta rumput-rumputan] yang berfungsi sebagai makanan bagi hewan ternak dan hewan tunggangannya yang dapat menyempurnakan kesenangan dan kenikmatan yang diperolehnya.
Ayat 32.
Ringkasnya, Allah s.w.t. telah memberikan dan menganugerahkan berbagai kenikmatan dan kemuliaan yang berlimpah kepadamu (مَّتَاعًا) [untuk kesenangan] dan kenikmatan (لَّكُمْ وَ لِأَنْعَامِكُمْ) [bagimu dan untuk binatang-binatang ternakmu] yang menjadi penyempurna bagi kesenangan dan kenikmatan yang kamu dapatkan. Allah s.w.t. memberikan kenikmatan kepadamu supaya kamu mengenal Sang Pemberi Nikmat dan senantiasa mensyukurinya. Namun ternyata kamu malah mengingkari kenikmatan dan yang memberikannya sekaligus.
Ayat 33.
Padahal ingatlah (فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ) [ketika datang suara yang memekakkan], yakni teriakan yang mengetuk gendang telinga jadi berat dan sangat mengerikan bagi kalian karena saat itu tidak ada lagi pertolongan maupun bantuan yang bisa diharapkan dari seorang pun.
Ayat 34.
Sebab (يَوْمَ) [pada hari] itu, (يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيْهِ) [manusia lari dari saudaranya] yang sekandung dan penuh kasih sayang.
Ayat 35.
Lari (وَ أُمِّهِ) [dari ibu] yang menjadi tempatnya berlindung, (وَ أَبِيْهِ) [dan dari bapaknya] yang menolong dan membanggakannya.
Ayat 36.
Serta lari (وَ صَاحِبَتِهِ) [dari istri] yang menjadi pihak paling dicintainya dibandingkan dengan rekan-rekannya yang lain; (وَ بَنِيْهِ) [dan dari anak-anaknya] yang menjadi pihak yang terhormat dibandingkan kerabatnya yang lain.
Adapun yang menyebabkan mereka semua menjauh dan berpaling darinya adalah karena masing-masing pihak sibuk dengan keadaan dan urusannya sendiri-sendiri sehingga tidak ada kesempatan untuk memperhatikan keadaan pihak lain.
Ayat 37.
Sebab (لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيْهِ) [setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya], yang membuatnya melupakan urusan orang lain, dan menjadikannya merasa cemas karena memperhatikan keadaannya sendiri. Meski demikian, tindakan semacam ini tetap tidak dirasakan cukup baginya.
Ayat 38.
Bagaimana ia tidak merasa cemas kalau (وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ مُّسْفِرَةٌ) [banyak muka pada hari itu berseri-seri], bercahaya, dan disinari oleh sinar keimanan dan pengetahuan.
Ayat 39.
(ضَاحِكَةٌ) [Tertawa] senang dan bahagia karena dapat bertemu Sang Raḥmān; (مُّسْتَبْشِرَةٌ) [serta gembira ria] karena meraih derajat dan maqam yang tinggi, yang berisi berbagai macam kebahagiaan dan kemuliaan.
Ayat 40.
Sedangkan di sisi lain, (وَ وُجُوْهٌ) [banyak (pula) muka] yang lain (يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ) [pada hari itu tertutup debu] dan kesuraman yang berasal dari keruhnya kekufuran, pengingkaran, dosa, dan kemaksiatan yang menyesatkan sampai akhirnya muka itu:
Ayat 41.
(تَرْهَقُهَا) [Ditutup] dan diselimuti (قَتَرَةٌ) [oleh kegelapan] yang menyusahkan, menghinakan, merendahkan, dan merugikan.
Ayat 42.
Ringkasnya, (أُوْلئِكَ) [mereka itulah], yakni orang-orang yang jauh dari daerah penerimaan dan terkotori oleh keruhnya kekufuran, kemusyrikan, kefasikan, dan kekejian: (هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ) [orang-orang kafir lagi durhaka]. Mereka adalah orang-orang yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan ilahiyah dan dari cahaya makrifat dan keimanan, dengan cara mengikuti kekuatan-kekuatan yang berasal dari syahwat dan kemarahan. Sebab syahwat dan kemarahan adalah sumber keburukan dan kerugian. Semoga Allah s.w.t. melindungi kami dan semua hamba-Nya dari keburukan keduanya.
Penutup Suratu ‘Abasa
Wahai orang-orang yang bermaksud menyampaikan kebenaran dan memudahkannya, kamu harus mendengarkan seruan kabar gembira dan taufiq Ilahi dari lisan semua rasul dan kitab-kitab Allah s.w.t. Kamu juga harus mengikuti jejak mereka dan menaati semua perintah, larangan, hukum yang mutlak, pelajaran, dan peringatan-peringatan yang terkandung dalam kitab-Nya, di mana semua itu bertujuan untuk menyucikan zhahir dan bathin dari kecenderungan dan penyimpangan menuju perkara-perkara yang dapat merusak akidah dan melahirkan penentangan.
Kamu harus lari dari orang-orang yang melakukan penyelewengan dan kesesatan, serta tidak bercampur-baur maupun berteman dengan mereka dalam kondisi apa pun, sehingga kamu tergolong sebagai orang yang diberi kenikmatan di surga Na‘īm, bukan tergolong sebagai orang yang sesat dan pendusta, yang kekal di dasar neraka Jaḥīm dan diazab dengan azab yang sangat menyakitkan.
“Kami memohon keberuntungan dengan meraih kenikmatan yang bertingkat-tingkat dari-Mu, wahai Dzat Pemilik kekuatan dan berlindung dari dasar neraka Jahim, wahai Dzat Yang keutamaan dan kemuliaan-Nya mencakup seluruh alam.”