بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Imām Ḥākim dan Imām Nasā’ī telah mengetengahkan sebuah hadits dengan sanad yang shaḥīḥ melalui Anas r.a., bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. mempunyai hamba sahaya wanita yang beliau gauli, melihat hal itu Siti Ḥafshah mereka keberatan, akhirnya Rasūlullāh s.a.w. mengharamkan wanita sahayanya itu atas dirinya. Maka Allah menurunkan firman-Nya:
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu.….” (QS. at-Taḥrīm [66]: 1).
Adh-Dhiyā’ di dalam kitab al-Mukhtar-nya telah mengetengahkan sebuah hadits melalui haditsnya Ibnu ‘Umar yang diterima dari ‘Umar r.a. yang telah menceritakan, bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah berkata kepada Siti Ḥafshah: “Janganlah engkau beritakan kepada siapa pun, bahwa ibunya Ibrāhīm (Siti Mariyah) haram atas diriku.” Nabi s.a.w. sejak itu tidak mendekatinya lagi, hingga Siti Ḥafshah menceritakan hal tersebut kepada Siti ‘Ā’isyah. Lalu Allah menurunkan firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpah kalian.” (QS. at-Taḥrīm [66]: 3).
Imām Thabrānī telah mengetengahkan sebuah hadits dengan sanad yang dha‘īf (lemah) melalui hadits yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah r.a. yang telah menceritakan, bahwa Rasūlullāh s.a.w. menggauli Siti Mariyah di rumah Siti Ḥafshah. Ketika Siti Ḥafshah datang, ia menjumpai Nabi s.a.w. bersama dengan Siti Mariyah. Maka ia berkata: “Wahai Rasūlullāh, (mengapa hal itu dilakukan) di dalam rumahku, bukan di rumah istri-istrimu (yang lain)?” Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Sesungguhnya (sejak saat ini) haram bagiku menggaulinya, hai Ḥafshah, dan rahasiakanlah hal ini demi aku.” Lalu Siti Ḥafshah keluar dan menemui Siti ‘Ā’isyah r.a. lalu menceritakan hal tersebut kepadanya Maka Allah menurunkan firman-Nya:
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan.….” (QS. at-Taḥrīm [66]: 1 dan seterusnya).
Imām Bazzār telah mengetengahkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih melalui Ibnu ‘Abbās r.a. yang telah menceritakan, bahwa ayat ini yaitu firman-Nya:
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan.….” (QS. at-Taḥrīm [66]: 1).
diturunkan berkenan dengan rahasia Rasūlullāh s.a.w.
Imām Thabrānī telah mengetengahkan sebuah hadits dengan sanad yang shaḥīḥ melalui Ibnu ‘Abbās r.a. yang telah menceritakan, bahwa Rasūlullāh s.a.w. meminum madu di rumah Siti Saudah. Setelah itu Rasūlullāh s.a.w. masuk ke rumah Siti ‘Ā’isyah, Siti ‘Ā’isyah berkata: “Sesungguhnya aku mencium bau yang kurang menyenangkan darimu.” Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memasuki rumah Siti Ḥafshah, Siti Ḥafshah pun mengatakan hal yang sama. Nabi s.a.w. bersabda: “Kukira ini akibat dari pengaruh meminum yang telah kuminum di rumah Saudah. Demi Allah, aku tidak akan meminumnya lagi.” Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya:
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu.….” (QS. at-Taḥrīm [66]: 1).
Hadits ini memiliki Syāhid (saksi atau bukti) di dalam kitab Shaḥīḥain. Al-Ḥāfizh ibnu Ḥajar memberikan komentarnya, bahwa boleh jadi ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua penyebab itu secara bersamaan.
Imam Ibnu Sa‘d telah mengetengahkan sebuah hadits melalui ‘Abdullāh ibnu Rāfi‘ yang telah menceritakan, aku bertanya kepada Ummu Salamah tentang ayat ini, yaitu firman-Nya:
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu.….” (QS. at-Taḥrīm [66]: 1).
Ummu Salamah menjawab: “Adalah aku mempunyai semangkok madu putih, dan Nabi s.a.w. meminum sebagian daripadanya, beliau sangat menyukainya. Maka Siti ‘Ā’isyah berkata kepadanya: “Sesungguhnya tawon yang mengeluarkan madu ini menyedot inti sari bunga ‘Urfuth” Lalu beliau mengharamkannya, maka turunlah ayat ini”.
Al-Ḥārits ibnu Usāmah di dalam kitab Musnad-nya telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Siti ‘Ā’isyah r.a. yang telah menceritakan, bahwa sewaktu Abū Bakar bersumpah bahwa ia tidak akan memberi nafkah lagi kepada Misthah, lalu Allah menurunkan firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpah kalian.” (QS. at-Taḥrīm [66]: 2).
lalu Abū Bakar kembali memberikan nafkah lagi kepadanya. Hanya saja Asbāb-un-Nuzūl ayat ini aneh sekali.
Imām Ibnu Abī Ḥātim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Ibnu ‘Abbās r.a. yang telah menceritakan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang wanita yang menyerahkan dirinya kepada Nabi s.a.w. ,yaitu firman-Nya:
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu.….” (QS. at-Taḥrīm [66]: 1).
Hanya saja Asbāb-un-Nuzūl yang disebutkan dalam hadits ini sangat aneh, dan sanadnya pun dha‘īf (lemah).
Firman Allah s.w.t.:
“Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Rabbnya….” (QS. at-Taḥrīm [66]: 5).
Mengenai Asbāb-un-Nuzūl ayat ini telah disebutkan di dalam surat al-Baqarah, yaitu sehubungan dengan perkataan ‘Umar r.a.