Asbab-un-Nuzul Surah al-Mujadilah ~ Tafsir al-Jalalain

Dari Buku:
Tafsir Jalalain.
(Jilid 4. Dari Sūrat-uz-Zumar sampai Sūrat-un-Nās)
Oleh: Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Mujadilah 58 ~ Tafsir al-Jalalain

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Imām Ḥākim telah mengetengahkan sebuah hadits yang menurut penilaiannya sebagai hadits shaḥīḥ, bersumberkan dari Siti ‘Ā’isyah r.a. Siti ‘Ā’isyah r.a. menceritakan: Maha Suci Allah Yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu, sesungguhnya aku benar-benar telah mendengar perkataan Khaulah binti Tsa‘labah, hanya saja sebagian dari perkataannya itu kurang begitu jelas aku dengar (karena masalahnya pribadi sekali, pent.) Pada saat itu Khaulah mengadu kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang perihal suaminya; ia berkata: “Wahai Rasūlullāh, dia telah menghabiskan masa mudaku, dan aku merelakan diriku untuknya, hingga ketika usiaku telah tua dan sudah tidak dapat melahirkan anak lagi, ia mengzhihārku. Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu.”

Khaulah masih tetap tidak beranjak dari situ hingga turunlah malaikat Jibrīl dengan membawa ayat-ayat ini yaitu firman-Nya:

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya…..” (QS. al-Mujādilah [58]: 1 dan seterusnya).

suami yang dimaksud adalah Aus Ibn-ush-Shāmit.

Ibnu Abī Ḥātim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Muqātil yang ia terima dari Ibnu Ḥibbān yang telah menceritakan, bahwa adalah antara Nabi s.a.w. dan antara orang-orang Yahudi saling berdamai. Tetapi orang-orang Yahudi itu apabila ada seseorang dari kalangan para sahabat lewat di hadapan mereka, maka mereka duduk di antara semasa mereka seraya mengadakan pembicaraan rahasia di antaranya, sehingga orang mu’min yang melewati mereka menduga, bahwa mereka sedang membuat pembicaraan rahasia untuk membunuhnya atau melakukan tindakan yang tidak disukainya.

Lalu Nabi s.a.w. mencegah atau melarang mereka melakukan pembicaraan rahasia, akan tetapi mereka tidak juga mau berhenti dari perbuatan itu. Maka Allah menurunkan firman-Nya:

Apakah tidak kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia….” (QS. al-Mujādilah [58]: 8).

Imām Aḥmad, Imām Bazzār dan Imām Thabrānī semuanya telah mengetengahkan sebuah hadits dengan sanad yang Jayyid, melalui ‘Abdullāh ibnu ‘Amr, bahwa orang-orang Yahudi selalu mengucapkan salam kepada Rasūlullāh s.a.w. dengan kata-kata: “As-Sāmu ‘alaikum”, semoga kematian atas kamu. Kemudian mereka berkata kepada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tidak meng‘adzāb kami atas apa yang telah kami katakan ini.” Lalu Allah menurunkan ayat ini, yaitu firman-Nya:

Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan sebagai yang ditentukan Allah untukmu” (QS. al-Mujādilah [58]: 8).

Dan dalam bab yang sama telah diriwayatkan pula melalui sahabat Anas r.a. dan Siti ‘Ā’isyah r.a.

Imām Ibnu Jarīr telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Qatādah yang telah menceritakan, bahwa adalah orang-orang munāfiq selalu mengadakan pembicaraan rahasia di antara sesama mereka. Hal ini membuat kamu mu’minin merasa jengkel dan dirasakan amat berat oleh mereka. Maka Allah segera menurunkan firman-Nya:

Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syaithān” (QS. al-Mujādilah [58]: 10).

Imām Ibnu Jarīr telah mengetengahkan sebuah hadits lainnya yang juga melalui Qatādah. Qatādah telah menceritakan, bahwa kaum Muslimīn apabila melihat seseorang datang kepada mereka (pada saat itu sedang berada di hadapan Nabi s.a.w.) dengan menghadapkan diri, mereka merapatkan tempat duduknya di hadapan Rasūlullāh s.a.w. (sehingga orang yang baru datang itu tidak kebagian tempat duduk, pent.). Lalu turunlah ayat ini yaitu firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian: Berlapang-lapanglah maka lapangkanlah” (QS. al-Mujādilah [58]: 11).

Ibnu Abī Ḥātim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Muqātil, bahwa ayat ini diturunkan pada hari Jum‘at. Pada hari itu datanglah segolongan orang-orang yang pernah ikut perang Badar, akan tetapi tempat duduk yang ada sangat terbatas lagi sempit, dan mereka yang hadir tidak mau melapangkan tempat duduknya buat orang-orang yang baru datang itu. Akhirnya orang-orang yang baru datang itu berdiri. Lalu Rasūlullāh s.a.w. menyuruh berdiri beberapa orang yang jumlahnya sama dengan mereka, lalu beliau mempersilakan duduk ahli Badar yang baru datang itu menempati tempat duduk mereka yang disuruh berdiri. Maka orang-orang yang disuruh berdiri itu merasa tidak senang akan hal tersebut, lalu turunlah ayat ini.

Imām Ibnu Abī Ḥātim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui jalur Ibnu Abī Thalḥah yang bersumberkan dari Ibnu ‘Abbās r.a. Ibnu ‘Abbās r.a. telah menceritakan, bahwa sesungguhnya orang-orang Muslim banyak sekali pertanyaan mereka yang diajukan kepada Rasūlullāh s.a.w. sehingga beliau merasa keberatan dengan hal tersebut. Lalu Allah bermaksud meringankan beban Nabi-Nya, untuk itu Dia menurunkan firman-Nya:

Apabila kalian mengadakan pembicaraan khusus dengan rasūl hendaklah kalian mengeluarkan sedekah sebelum pembicaraan itu…..” (QS. al-Mujādilah [58]: 12).

Setelah ayat itu diturunkan maka banyak sekali dari kalangan para sahabat yang menahan diri dan tidak lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Nabi s.a.w. Maka Allah menurunkan pula firman-Nya yang lain, yaitu:

Apakah kalian takut…..” (QS. al-Mujādilah [58]: 13).

Imām Tirmidzī telah mengetengahkan sebuah hadits yang ia nilai sebagai hadits Ḥasan, demikian pula Imam-imam ahli hadits lainnya telah mengetengahkan pula hadits ini yang bersumberkan dari ‘Alī. ‘Alī k.w. telah menceritakan, bahwa sewaktu ayat ini diturunkan yaitu, firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian mengadakan pembicaraan khusus dengan rasūl hendaklah kalian mengeluarkan sedekah sebelum pembicaraan itu…..” (QS. al-Mujādilah [58]: 12).

Lalu Nabi s.a.w. bertanya kepadaku: “Bagaimana pendapatmu dengan sedekah satu Dīnār?” Aku menjawab: “Mereka tidak akan mampu”. Nabi s.a.w. berkata: “Bagaimana dengan setengah Dinar?”. Aku kembali menjawab: “Mereka tidak akan mampu membayarnya.” Maka akhirnya Nabi s.a.w. bertanya: “Kalau begitu, berapakah yang mereka mampu membayarnya?” Aku menjawab: “Sebiji gandum.” Lalu Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya kamu ini adalah orang yang sangat zuhud (menjauhi keduniawian).” Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya:

Apakah kalian takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan rasul?…..” (QS. al-Mujādilah [58]: 13).

‘Alī k.w. mengatakan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan aku, sehingga Allah memberikan keringanan terhadap umat ini berkat jawabanku. Imām Tirmidzī mengatakan, bahwa hadits ini berpredikat Ḥasan.

Imām Ibnu Abī Ḥātim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui as-Suddī, sehubungan dengan firman-Nya:

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan temannya suatu kaum…...” (QS. al-Mujādilah [58]: 14).

Selanjutnya as-Suddī mengatakan, bahwa telah sampai berita kepada kami, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan ‘Abdullāh ibnu Nabtal.

Imām Aḥmad dan Imām Ḥākim keduanya telah mengetengahkan sebuah hadits yang dinilai shahih oleh Imām Ḥākim dengan bersumberkan dari Ibnu ‘Abbās r.a. yang telah menceritakan, bahwa Rasūlullāh s.a.w. pada suatu hari sedang bernaung di bawah naungan kamarnya, sedangkan pada saat itu bayangan kami hampir hilang. Lalu Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya sebentar lagi akan datang kepada kalian seorang laki-laki; ia melihat kalian dengan kedua mata syaithannya. Apabila dia datang kepada kalian, janganlah kalian berbicara dengannya.

Tidak lama kemudian muncullah di hadapan mereka seorang lelaki yang bermata biru lagi juling matanya. Lalu lelaki itu dipanggil oleh Rasūlullāh s.a.w. dan Rasūlullāh berkata kepadanya sewaktu ia sampai di hadapannya: “Mengapa kamu dan teman-teman kamu mencaci-maki aku, apakah sebabnya?” Lalu lelaki itu menjawab: “Biarkanlah aku pergi untuk membawa mereka (teman-temannya).” Maka lelaki itu dibiarkannya pergi, dan ia memanggil teman-temannya; setelah itu mereka datang dan bersumpah di hadapan Nabi s.a.w. bahwa mereka tidak mengatakan apa-apa dan tidak pula melakukan apa-apa. Maka Allah menurunkan firman-Nya:

(Ingatlah) hari (ketika) mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu mereka bersumpah kepada-Nya” (bahwa mereka bukan orang musyrik) sebagaimana mereka bersumpah kepada kalian…..” (QS. al-Mujādilah [58]: 18).

Imām Ibnu Abī Ḥātim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Syaudzab yang telah menceritakan, bahwa ayat berikut ini diturunkan berkenaan dengan Abū ‘Ubaidah ibn-ul-Jarrāḥ r.a. sewaktu ia membunuh ayanya dalam perang Badar, yaitu firman-Nya:

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayangdengan orang-orang yang menentang Allah …..” (QS. al-Mujādilah [58]: 22).

Hadits ini diketengahkan pula oleh Imām Thabrānī dan Imām Ḥākim di dalam kitab Mustadrak-nya yang konteksnya berbunyi: Bahwa di waktu perang Badar orang tua Abū ‘Ubaidah ibn-ul-Jarrāḥ r.a. menghalang-halanginya supaya jangan ikut berperang, akan tetapi Abū ‘Ubaidah menentangnya. Ketika orang tuanya itu terlalu banyak menghambatnya lalu Abū ‘Ubaidah memeranginya dan berhasil membunuhnya. Lalu turunlah ayat ini.

Imām Ibn-ul-Mundzir telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Ibnu Juraij yang telah menceritakan, bahwa pada suatu hari Abū Quḥāfah (ayah Abū Bakar) mencaci-maki Nabi s.a.w. Lalu Abū Bakar memukulnya dengan keras sehingga jatuh terpelanting. Lalu hal itu dilaporkan kepada Nabi s.a.w., maka Nabi s.a.w. bertanya: “Apakah benar engkau telah melakukan hal itu, hai Abū Bakar?” Abū Bakar menjawab: “Demi Allah seandainya didekatku ada pedang, niscaya ia akan kupukul dengan pedang itu.” Lalu turunlah firman-Nya:

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum ….. ” (QS. al-Mujādilah [58]: 22).