Asbab-un-Nuzul Surah al-Hasyr ~ Tafsir al-Jalalain

Dari Buku:
Tafsir Jalalain.
(Jilid 4. Dari Sūrat-uz-Zumar sampai Sūrat-un-Nās)
Oleh: Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Hasyr 59 ~ Tafsir al-Jalalain

ASBĀB-UN-NUZŪL
SŪRAT-UL-ḤASYR

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Imām Bukhārī telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Ibnu ‘Abbās r.a. yang telah menceritakan, bahwa surat al-Anfāl diturunkan di Badar, dan surat al-Ḥasyr diturunkan di Bani Nadhir.

Imām Ḥākim telah mengetengahkan sebuah hadits yang ia nilai sebagai hadits shaḥīḥ bersumber dari Siti ‘Ā’isyah r.a. Siti ‘Ā’isyah r.a. telah menceritakan, bahwa perang Bani Nadhir itu terjadi di awal bulan keenam seusai perang Badar. Bani Nadhir adalah segolongan kaum yang terdiri dari orang-orang Yahudi; tempat tinggal mereka dan perkebunan kurma mereka berada di salah satu daerah bawahan kota Madīnah.

Lalu Rasūlullāh s.a.w. mengepung mereka, sehingga mereka menyerah dan mau meninggalkan kampung halaman mereka dengan syarat yaitu, hendaknya mereka diperbolehkan membawa barang-barang dan harta benda sekuat apa yang dibawa oleh unta-unta mereka terkecuali senjata. Lalu Allah menurunkan firman-Nya:

Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi…..” (QA. al-Ḥasyr [59]: 1).

Imām Bukhārī dan lain-lainnya telah mengetengahkan sebuah hadits yang bersumber dari Ibnu ‘Umar r.a., bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. membakar pohon-pohon kurma milik orang-orang Bani Nadhir dan menebangi pohon-pohon kurma yang ada di lembah al-Buwarah. Maka Allah menurunkan firman-Nya:

Apa saja yang kalian tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kalian biarkan (tumbuh)….” (QA. al-Ḥasyr [59]: 5).

Abū Ya‘lā telah mengetengahkan sebuah hadits dengan sanad yang dha‘īf (lemah) melalui Jābir r.a. yang telah menceritakan, bahwa Rasūl s.a.w. memberikan kemudahan bagi kamu Muslimīn, yaitu boleh menebang pohon-pohon kurma, kemudian dia melarang hal tersebut. Lalu mereka datang menghadap Nabi s.a.w. seraya berkata: “Wahai Rasūlullāh, apakah kami berdosa mengenai pohon-pohon yang telah kami tebang atau pohon-pohon yang kami biarkan tumbuh?” Lalu Allah menurunkan firman-Nya:

Apa saja yang kalian tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kalian biarkan (tumbuh)….” (QA. al-Ḥasyr [59]: 5).

Ibnu Isḥāq telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Yazīd ibnu Raumān yang telah menceritakan, bahwa sewaktu Rasūlullāh s.a.w. turun menyerang Bani Nadhir, maka orang-orang Bani Nadhir berlindung ke dalam benteng-benteng mereka dari serangannya. Lalu Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan kaum muslimīn supaya menebangi dan membakar pohon-pohon kurma mereka yang ada di tempat itu juga. Maka orang-orang Bani Nadhir berseru: “Hai Muḥammad, sesungguhnya engkau telah melarang manusia melakukan pengrusakan dan engkau mencela perbuatan itu. Apakah artinya penebangan dan pembakaran pohon-pohon kurma itu?” Lalu turunlah ayat ini.

Hadits serupa telah diketengahkan pula oleh Imām Ibnu Jarīr melalui Qatādah dan Mujāhid.

Ibn-ul-Mundzir telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Yazīd al-Ashamm, bahwa orang-orang Anshār telah berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, bagikanlah tanah kami ini antara kami dan saudara-saudara kami dari kalangan Muhājirīn, menjadi dua bagian.” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Tidak, akan tetapi kalian boleh menanggung biaya penggarapannya dan merekalah yang akan menggarapnya, kemudian kalian saling berbagi hasil dengan mereka. Sesungguhnya tanah ini adalah milik kalian.” Para sahabat Anshār menjawab: “Kami rela (dengan keputusanmu).” Maka Allah menurunkan firman-Nya:

Dan orang-orang yang telah menempati kota (Madīnah)..…” (QA. al-Ḥasyr [59]: 9).

Imām Bukhārī dan lain-lainnya telah mengetengahkan sebuah hadits yang bersumber dari Abū Hurairah r.a. Abū Hurairah r.a. telah menceritakan, bahwa ada seorang lelaki datang menghadap Rasūlullāh s.a.w., lalu ia berkata: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya aku lelah sekali (karena bepergian).” Lalu Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan utusan kepada istri-istrinya, akan tetapi ternyata mereka tidak mempunyai apa-apa yang akan disuguhkan buat tamu itu. Maka Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Apakah ada seseorang (di antara kalian) yang akan menjamunya untuk malam ini; semoga Allah memberikan rahmat kepadanya.

Kemudian berdirilah seorang lelaki dari kalangan sahabat Anshār seraya berkata: “Akulah yang akan menjamunya, wahai Rasūlullāh.” Lalu lelaki itu pulang ke rumahnya dan berkata kepada istrinya: “Ia adalah tamu Rasūlullāh s.a.w. maka janganlah kamu menyimpan makanan apa pun demi untuk menjamunya.” Istrinya menjawab: “Demi Allah, saya tidak mempunyai makanan selain dari makanan untuk anak-anak kita.” Lelaki itu berkata: “Kalau begitu jika waktu makan malam hampir tiba, tidurkanlah mereka. Kemudian suguhkanlah makanan itu kepada tamu kita ini, lalu matikan lampu, biarlah kita mengencangkan perut malam ini.” Lalu si istri melakukan apa yang telah diperintahkan suaminya itu.

Selanjutnya pada keesokan harinya lelaki itu datang menemui Rasūlullāh s.a.w. maka Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepadanya: “Sesungguhnya Allah sangat takjub terhadap perilaku kamu berdua”, atau: “Allah telah ridhā terhadap si Fulān dan si Fulānah.” Maka Allah menurunkan firman-Nya:

dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QA. al-Ḥasyr [59]: 9).

Musaddad telah mengetengahkan sebuah hadits di dalam kitab Musnad-nya demikian pula Ibn-ul-Mundzir dengan melalui Abul-Mutawakkil an-Nājī, bahwa ada seseorang lelaki dari kalangan kaum Muslimīn; dan seterusnya sama dengan teks hadits yang telah disebutkan di atas. Hanya saja di dalam hadits ini disebutkan, bahwa lelaki yang bertamu itu disebutkan namanya, yaitu Tsābit ibnu Qais ibnu Syammas, kemudian turunlah ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut.

Imām Wāḥidī telah mengetengahkan sebuah hadits melalui jalur Muḥārib ibnu Ditsār yang bersumber dari Ibnu ‘Umar r.a. Ibnu ‘Umar r.a. telah menceritakan, bahwa ada seseorang dari kalangan sahabat Rasūlullāh s.a.w. diberi hadiah kepala kambing. Orang itu berkata: “Sesungguhnya saudaraku si Fulān dan anak-anaknya lebih membutuhkan ini daripada kami.” Lalu kepala kambing itu ia kirimkan kepada si Fulan yang dimaksud.

Orang yang dikiriminya itu pun memberikan apa yang diterimanya itu kepada orang lain yang lebih membutuhkannya, sehingga kepala kambing itu sempat berkeliling ke tujuh rumah, hingga kepala kambing itu kembali kepada penerima yang pertama. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya:

dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan…..” (QA. al-Ḥasyr [59]: 9).

Imām Ibnu Abī Ḥātim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui as-Suddī yang telah menceritakan, bahwa telah masuk Islam segolongan orang-orang dari Bani Quraizhah, dan di antara mereka terdapat orang-orang munāfiq. Orang-orang munāfiq itu selalu mengatakan kepada Bani Nadhir semuanya: “Jika kalian diusir, benar-benar kami akan keluar pula bersama kalian.” Maka turunlah ayat ini sehubungan dengan perihal mereka, yaitu firman-Nya:

Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang yang munāfiq berkata kepada saudara-saudara mereka……” (QA. al-Ḥasyr [59]: 11).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *