021 Rahasia Penampakan Tuhan Bagi Nabi – Pancaran Spiritual – al-Qunawi (3/3)

PANCARAN SPIRITUAL
TELAAH 40 HADITS SUFISTIK

(Diterjemahkan dari: Syarḥ-ul-Arba‘īna Ḥadītsan)
Oleh: SHADR-UD-DĪN Al-QUNĀWĪ

Penerjemah: Irwan Kurniawan
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

Rangkaian Pos: 021 Rahasia Penampakan Tuhan Bagi Nabi - Pancaran Spiritual - al-Qunawi

Penggabung (Washl)

Ketahuilah, bahwa kifarat memiliki rahasia-rahasia agung yang tersembunyi. Sebagiannya lebih tersembunyi dari sebagian yang lain. Yang pertama adalah bahwa hukum sesuatu yang hendak dihapus dengan penghapusannya adalah seperti hukum racun dengan penawar yang menolak bahayanya, dengan kekuatannya yang menghilangkan bahaya secara universal. Atau, yang menolak bahaya sampai pada tingkat kesempurnaannya dengan kekuatan perlawanan dan kekuatan yang sebanding dengan kekuatan racun yang berbahaya. Sebagaimana bahaya racun berbeda-beda karena perbedaan kekuataannya, demikian pula kekuatan-kekuatan penawar yang melawannya dan menolak bahayanya. Demikian halnya kebaikan-kebaikan yang menghapuskan kejelekan atau yang menolak bahayanya dan menggantikan sifat-sifatnya yang jelek dengan sifat-sifat yang terpuji di mana esensinya tidak berubah. Sebagaimana hal itu disebutkan di dalam al-Kitab dan sunah berupa penggantian kejelekan dengan kebaikan, penghapusan kejelekan dengan kebaikan, dan sebagainya. Selain itu, engkau harus ketahui bahwa tidak setiap yang dinamai penawar dapat menolak atau melawan bahaya setiap racun, kecuali apabila kekuatan penawar lebih besar daripada kekuatan racun. Maka ketika itu kekuatan penawar dapat menghilangkan kekuatan bahaya atau menyamainya, sehingga menghentikan pengaruhnya. Demikian pula, tidak setiap yang disebut kebaikan dapat menutupi bahaya setiap kejelekan. Bahkan hal itu tergantung—setelah karunia Allah—pada unggulnya kekuatan kebaikan atas kekuatan kejelekan, atau sebanding, sebagaimana yang saya misalkan dengan penawar dan racun. Maka unggulnya kekuatan kebaikan menyebabkan—dengan rahmat Allah—masuk surga. Sementara unggulnya kekuatan kejelekan menyebabkan—dengan tidak adanya pertolongan Ilahi—masuk neraka untuk penyucian dan pembersihan jika kejelekan-kejelekan itu merupakan akibat dari sifat-sifat yang tidak esensial. Keseimbangan dalam kekuatan-kekuatan kejelekan dan kebaikan adalah dalam ihwal penghuni tempat-tempat tinggi (al-a’rāf), di mana syafaat mereka kepada orang lain merupakan hukum maqām kesatuan tindakan. Yang bertindak dari segi kesatuan perbuatan dalam pokok masalah. Di antara sesuatu yang harus diingat di antara hukum-hukum maqām perbuatan di mana tidak ada permulaan dalam penjelasannya, adalah agar engkau tahu bahwa waktu dan tempat di dalam menghapus kejelekan dan menguasai jalan-jalan kebaikan dan bentangannya, serta mengingatkan dan melemahkannya, tidak diketahui rahasia-rahasianya kecuali oleh para pemuka dan yang memahami apa yang ditunjukkan Rasulullah s.a.w. dengan sabdanya, “Allah s.w.t. mengampuni penghuni tempat-tempat tinggi dan menjamin pengikut mereka. Dia turun ke langit dunia pada hari ‘Arafah.” (201) (Hadis). Demikianlah yang beliau sebutkan dalam mengingatkan keutamaan bulan Ramadan, sepuluh Zulhijah, dan pertengahan bulan Sya’bān (nishf-usy-sya‘bān).

Salat di Masjid al-Ḥarām memiliki seratus ribu keutamaan; Salat di Masjid Nabi s.a.w. memiliki seribu keutamaan; dan salat di Masjid al-Aqshā memiliki lima ratus keutamaan, pahamilah apa yang saya tunjukkan kalau pun belum sampai pada tingkatan para muaqqiq yang melakukan pengkajian. Kemudian, agar engkau tahu bahwa induk martabat-martabat pemikiran, penggantian, penghapusan, dan penegasan perbuatan-perbuatan yang disifati dengannya adalah sidrah al-muntahā-nya yang merupakan cermin roh-rohnya, dan sebagai tempat penampakannya yang meninggikan roh-rohnya. Rujukan hukum-hukum sidrah al-muntahā perbuatan-perbuatan itu adalah tingkatan-tingkatan pelakunya dalam akhir urusannya dan gambaran keadaan batin mereka ketika mulai melakukan perbuatan dan kehadiran ilmu atau keyakinan dan sebagainya dari bentuk-bentuk pandangan yang benar dan kaitan-kaitan keinginan mereka, sebagaimana yang saya jelaskan sebelumnya. Kunci yang membuka apa yang saya sebutkan kini dalam hal martabat dan sidrah al-muntahā adalah mengetahui bahwa al-Ḥaqq mengikat alam-alam dan segala maujud, baik yang kecil maupun yang besar, yang mulia maupun yang hina, yang tinggi maupun yang rendah, sebagiannya dengan sebagian yang lain. Ia juga menggantungkan kemunculan sebagiannya pada sebagian yang lain. Pada semuanya itu, Dia mempercayakan dua sifat, yaitu memberikan dan menerima pengaruh. Maka tidak ada sesuatu wujud disifati dengan dapat memberikan pengaruh saja tanpa menerima pengaruh kecuali al-Ḥaqq dengan martabat keagungan dan kekayaan-Nya. Tidak diragukan, alam terendah beserta isinya dijadikan cermin bagi alam lebih tinggi dalam hal penampakan dan penggabungan bagi pengaruh-pengaruhnya. Demikian pula alam lebih tinggi dijadikan cermin yang tertempel padanya cap perbuatan-perbuatan makhluk dan mazhhar(penampilan)-nya yang dihasilkan dari Percampuran antara kekuatan alami (jasmani) dan kekuatan rohani yang terlebih dahulu turun dari alam lebih tinggi dan bahan penciptaan penghuni alam terendah, khususnya manusia yang merupakan materi yang dituju. Padanya terkumpul segala kekuatan dan pengaruh. Dengannya dan darinya ia kembali ke sumbernya tempat ia turun dan tersebar. Namun, tidak dalam bentuk dan sifat yang merupakan tempat turun. Pusat-pusat roh perbuatan dalam penampakannya yang dinamakan sidrah al-muntahā merupakan ikatan-ikatan alam arwah mutlak. Hubungan ikatan-ikatan ini yang dihasilkan dari bentuk alam yang lebih tinggi dengan kemutlakan alam arwah adalah seperti hubungan selokan dengan sungai yang besar, di mana dari sungai itu bercabang selokan-selokan.

Alam roh, dari sisi ikatan tersebut dan dari sisi universal dan keumuman hikmahnya, adalah cermin bagi setiap perbuatan, maujūd, dan martabat yang diketahui dalam suatu bentuk. Maka penampakan roh-roh perbuatan, di mana ia dikenali, hanyalah merupakan simbol. Maka pahamilah. Yang khusus bagi al-Ḥaqq adalah penampakannya dengan penampakan-diri eksistensi dan pelimpahan kemurahan-Nya. Setiap sesuatu di dalam martabat-Nya berada dalam batas pengetahuan-Nya terhadapnya. Apabila engkau memahami apa yang saya jelaskan dalam pasal ini, niscaya engkau tahu bahwa sebab perdebatan penghuni alam arwah tentang kifarat adalah kekeliruan yang dihasilkan oleh sebab hukum-hukum, percampuran-percampuran, dan karakteristik terperinci yang saya telah jelaskan rahasia-rahasianya. Saya telah jelaskan penyandaran sebagiannya terhadap Sidrah al-Muntahā, sebagian yang lain pada tujuan pelaku perbuatan, dan sebagiannya lagi pada bentuk ihwal mereka ketika mulai melakukan perbuatan. Sementara sebagian lainnya disandarkan pada waktu dan tempat tertentu. Dan sebagian yang lain lagi disandarkan pada martabat-martabat asal yang merupakan tempat tinggal para pelaku perbuatan ketika mereka sampai pada tujuan sebagai akhir mereka dan sebagainya berupa sebab-sebab terperinci yang saya tunjukkan. Semuanya adalah urusan-urusan terperinci yang bercabang dari berbagai asal dan ilmu penghuni alam arwah secara universal.

Karena itu, sulit membebaskan asal perbuatan yang telah bercampur dan meneguhkannya pada martabatnya, terutama disebabkan tempat istimewa asal perbuatan Ilahi dalam hal keesaan-Nya dan sandarannya pada al-Ḥaqq yang tidak dipengaruhi pada hakikat oleh selain-Nya. Karena, keberbilangan yang dihasilkan tindakan al-Ḥaqq hanya menghasilkan keberbilangan dan sifat-sifat tidak esensial, yang tidak menghilangkan intinya. Maka pahamilah prinsip ini, karena itu termasuk inti makrifat. Jika engkau mengetahuinya, niscaya engkau tahu rahasia syafaat Arham ar-Rāhimīn dan sebab al-Ḥaqq mengeluarkan dari neraka suatu kaum yang tidak mengenal kebaikan sedikit pun. Selain itu, engkau pun akan tahu rahasia unggulnya kasih sayang terhadap kebencian. Dan, engkau tahu rahasia diterimanya tobat, maaf, dan ampunan, serta rahasia pertolongan yang menghasilkan penggantian kejelekan dengan kebaikan, rahasia jaminan terhadap pertanggungjawaban dan rahasia “supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang”. (QS. al-Fath: 2)

Itu termasuk buah penyaksian kesatuan tindakan dan dominasi karakteristik kesatuan perbuatan terhadap karakteristik keberbilangan yang tidak esensial. Engkau pun akan mengetahui selain itu yang akan menjadi pembahasan yang panjang jika disebutkan. Bahkan, tidak mudah untuk menjelaskannya. Hanya Allah saja yang memberi petunjuk.

Saya telah sebutkan di dalam pasal ini rahasia-rahasia pemberian kifarat, motif-motif perdebatan penghuni alam arwah dalam hal itu, dan yang semisalnya yang Allah takdirkan menyebutkannya dengan tambahan-tambahan yang mulia dan ilmu yang sangat tersembunyi dan halus. Saya sebutkan induk martabat-martabat perbuatan yang seperti jenis-jenisnya. Saya ingatkan sidrah al-muntahā-nya. di alam-alam lebih tinggi. Maka hendaklah kita pun mengingat jenis-jenis martabatnya yang ditampakkan oleh al-Ḥaqq s.w.t. kepadaku sebagai karunia dan anugerah.

Ketahuilah, bahwa perbuatan kebanyakan pelaku, karena bangunannya didasarkan pada perintah dan larangan yang disyariatkan, maka ia menjadi tetap dengan cara menghasilkan rahbah (rasa takut yang ditimbulkan oleh adanya ancaman yang menakutkan) dan raghbah (sangat berharap tercapainya apa yang diinginkan) dari salah satu dua motif, yaitu motif ilmu dan motif iman. Motif raghbah adalah pembenaran (kepercayaan) yang sempurna terhadap segala yang dijanjikan maupun pemahaman yang pasti melalui pengabaran dari Muhammad s.a.w. Sementara motif rahbah adalah pembenaran (kepercayaan) sempurna terhadap segala yang diperingatkan sehingga menghasilkan rasa takut, seperti keyakinan orang sakit kepada dokter tentang bahaya-bahaya yang diperingatkannya dan yang berhubungan dengan sakitnya. Ini disebut takut.

Adapun pengetahuan yang pasti terhadap bahaya dan manfaat adalah seperti keadaan dokter yang mengetahui makanan dan minuman yang berbahaya atau yang bermanfaat. Kepercayaan itu menghasilkan takut (khawf). Sementara ilmu membuahkan khasyyah. Al-Khasyyah adalah takut yang lebih spesifik, tidak dirasakan kecuali oleh orang yang mengetahui akibat-akibat perbuatan. Bahwa al-Ḥaqq menampakkannya dengan karunia padanya bukanlah suatu hal yang mustahil. Karena, tidak ada penghalang dan ikatan pada Eksistensi Mutlak kecuali dari segi penerima (qābil). Prinsipnya telah ada, yaitu perbuatan. Perbuatan itu menuntut kemunculan akibat dari setiap pelakunya. Maka khasyyah seorang alim kepada al-Ḥaqq adalah dari segi ini. Buah khasyyah adalah tidak melakukan suatu perbuatan yang dia ketahui bahwa akibatnya yang muncul tidak layak baginya atau tidak disukainya. Pada al-khawf tidak disyaratkan adanya ilmu untuk mengetahui setiap perbuatan dan akibatnya. Melainkan hanya disyaratkan percaya terhadap segala yang dikabarkan melalui bahasa peringatan dan memandang sebab-sebab keselamatan. Ketahuilah, sebagaimana ilmu menyebabkan adanya khasyyah dan menahan diri dari melakukan perbuatan yang diketahui akibatnya berbahaya dan tidak disukai, kadang-kadang yang mengetahui bahaya dan manfaatnya dapat melakukan hal-hal yang diduga oleh orang yang takut (al-khā’if) akibat-akibatnya yang membahayakan bersifat merata bagi setiap pelakunya. Padahal masalahnya tidak demikian. Akibat-akibat berbahaya yang muncul dari sebagian perbuatan hanyalah muncul pada aspek tersebut dan membahayakan apabila tempat amalan siap menerimanya dan sekedar menerimanya. Mestilah dianggap tidak ada perlawanan dan penolakan. Tidakkah engkau perhatikan bahwa banyak makanan dan minuman yang buruk, bahkan juga racun, dimakan oleh suatu kaum, memiliki campuran yang kuat atau jiwa yang aktif yang bercampur dengan iman yang sempurna atau yang benar, atau berserah diri, menghadap kepada al-Ḥaqq, dan meyakini-Nya. Mereka tidak mendapat bahaya sedikit pun dari hal itu. Sesungguhnya api itu walaupun sifatnya membakar, namun ia tidak membakar setiap benda yang bersentuhan dengannya. Melainkan hal itu terjadi dengan syarat benda yang disentuhkan itu memiliki potensi untuk terbakar.

Karena itu, api tidak berpengaruh terhadap salamander dan yakut, serta pada sekumpulan orang yang memiliki jiwa yang agung, sebagaimana telah disebutkan. Bahkan pada pakaian mereka pun, berlaku kekhususan seperti itu. Api tidak dapat membakarnya. Hal ini dipersaksikan dalam syariat Nabi s.a.w. Beliau bersabda, “Api tidak membakar tempat-tempat sujud dari orang yang ditakdirkan masuk neraka di antara kaum mukmin.” (212) Padahal, tempat-tempat tersebut termasuk bagian tubuh mereka yang dapat terbakar, dan walaupun api bertambah kuat dan besar di neraka dengan 99 bagian, berdasarkan yang dikabarkan oleh Rasulullah s.a.w. Di antara yang beliau kabarkan adalah seperti yang kami sebutkan. Neraka berkata, “Masuklah, wahai orang mukmin, cahayamu dapat memadamkan kobaran apiku.” (223) Ketahuilah, sebagaimana kebaikan menghilangkan kejelekan, seperti itu pula rahasia rabbānī yang terdapat pada diri hamba. Itu merupakan sumber kebaikan yang pengaruhnya dinamakan khāthir rabbānī, di mana kemampuannya menghapus kejelekan adalah lebih kuat dan lebih besar.

Penghapusan, menurut kami, ada dua macam. Yaitu, penghapusan bahaya kejelekan serta akibatnya dan penghapusan bentuk atau sifatnya, sebagaimana kami telah tunjukkan. Kedua jenis penghapusan ini kadang-kadang merupakan keadaan pelaku setelah penciptaan dan kehidupan di dunia ini. Kadang-kadang pula, pada beberapa orang, terjadi di alam barzakh, di mahsyar, dan di dalam Jahannam—kami berlindung kepada Allah darinya. Kadang-kadang penyebab keduanya adalah esensi dalam diri manusia, dan kadang-kadang pula penyebabnya adalah perbuatan baik yang muncul setelah perbuatan tercela, sebagaimana kami telah jelaskan dan seperti sabda Rasulullah s.a.w., “Iringilah kejelekan dengan kebaikan, karena kebaikan itu akan menghapus kejelekan.” (234)

Saya lihat di dalam maqām ini, ketika saya masuk dan diperlihatkan hat (???) rahasia-rahasianya, perbedaan antara akibat-akibat perbuatan lahir dan batin, dan ke mana ia akan berakhir.

Di dalam hal itu, saya lihat sidrah al-muntahā yang sebelumnya telah saya sebutkan. Saya diperlihatkan hakikat hukuman, pemaafan, dan ampunan. Maka saya lihat pengaruh sesuatu bertentangan dengan pengaruh sesuatu yang lain. Saya lihat rahasia penggantian dan penghilangan bentuk-bentuk perbuatan hingga kembali seperti yang difirmankan Allah s.w.t., “[Bagaikan] debu yang berterbangan.” (QS. al-Furqān: 23) Saya lihat perbuatan-perbuatan ikhlas dalam kejahatan dan kebaikan. Masing-masing dari keduanya bercampur dengan dominasi yang baik dan yang jelek. Saya lihat kebajikan dibinasakan di dalam kebaikan dan berubah karena tambahan kekuatan atau ketinggian kedudukannya. Kadang-kadang kebaikan pertama mengalahkan kebaikan kedua dalam hal ketinggian dan kekuatan. Maka kebaikan pertama berpengaruh terhadap kebaikan kedua. Yang lebih kuat kadang-kadang mengangkat kebaikan yang lain, tetapi kadang-kadang merintanginya karena ketakutan menguasai maqām-nya. Kemudian naik yang berhak mendapat ketinggian. Kadang-kadang kedua kebaikan itu naik bersama-sama. Saya lihat sebagian perbuatan yang dinamakan kejelekan menghapus kejelekan-kejelekan yang lain. Saya lihat masing-masing dari penggantian dan penghapusan kadang-kadang terjadi sekaligus, dan kadang-kadang terjadi secara bertahap, sedikit demi sedikit dalam suatu jangka waktu seperti perubahan yang terjadi di alam kita ini. Saya lihat roh-roh perbuatan terbentuk di antara induk ilmu dan keyakinan dari pelaku perbuatan, dan di antara induk kehadiran atau penghadirannya. Saya lihat bahwa sebagian perbuatan, apabila datang dari pelaku pada tempat yang mulia atau dengan dihadiri oleh pelaku yang didekatkan, terutama apabila hal itu terjadi dalam bentuk bersama-sama melakukan perbuatan itu, maka sekalipun rohaninya lemah, ia memperoleh keberkahan tempat itu dan berkah kehadiran orang itu atau bersama-sama dalam memperoleh cahaya, kekuatan, dan ketinggian kedudukan yang menghapus hukum niat yang rusak. Niat yang rusak itu mengotori rohani perbuatan tersebut Dengan perbaikan rohani perbuatan, bentuk perbuatannya menjadi baik. Juga dengan berkah kehadiran, pelaku yang muaqqiq, amalnya, niat baiknya, dan bersama-sama dengannya, serta dengan berkah kemuliaan tempat dan rohaninya. Saya lihat perbuatan baik Zaid sebagai perbuatan jelek Umar. Kadang-kadang tampak dominasi amal jelek, sehingga mempengaruhi keadaan pemilik amal saleh. Maka ia pun mendapat bahaya (kerugian) kendati bahaya itu tidak melampaui kepada perbuatan-perbuatannya. Hal tersebut ditunjukkan dalam firman Allah s.w.t., “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang lalim saja di antara kamu.” (QS. al-Anfāl: 25) Ini tidak bertentangan dengan prinsip yang ditafsirkan dari firman Allah, “Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. al-An‘ām: 164)

Pengaruh ini tidak mempengaruhi hukum yang membedakan yang baik dari yang buruk. Melainkan hanya menyebabkan hukum yang menegaskan kesatuan dan kebersamaan di antara keduanya. Firman Allah s.w.t., “Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. al-An‘am: 164) adalah untuk menjelaskan dominasi hukum yang membedakannya.

Tindakan al-Ḥaqq, dalam hal kemunculannya dari sisi-Nya Yang Maha Esa, adalah universal dan komprehensif, tidak ada penghkhususan di dalamnya. Melainkan pengkhususan itu berlaku pada potensi-potensi yang berpengaruh. Ini bersifat umum dalam hal kejelekan dan kebaikan. Dalam hal kejelekan adalah apa yang disebutkan dalam firman-Nya, “Dan peliharalah dirimu dari siksaan ….” Sedangkan dalam hal kebaikan adalah sabda Rasulullah s.a.w. mengenai hak orang-orang yang berkumpul untuk berzikir kepada Allah dan keberadaan al-Ḥaqq yang membanggakan mereka kepada para malaikat, “Aku persaksikan kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.” (245) Serta perkataan sebagian malaikat, “Pada mereka terdapat si fulan yang bukan bagian dari mereka. Ia datang kepada mereka karena suatu keperluan.” Maka al-Ḥaqq menjawab, “Dia pun telah Aku ampuni. Mereka adalah kaum yang tidak disengsarakan oleh majelis mereka.” (256)

Ini merupakan pengaruh keumuman hukum dari sisi al-Ḥaqq secara universal dan pengaruh baiknya keadaan orang yang buruk dengan berdekatan dengan orang yang memiliki keadaan dan perbuatan baik, serta hadir bersamanya. Maka ingatlah. Saya lihat sebagian perbuatan hilang, lalu muncul perbuatan lain, baik dari pelaku tersebut yang perbuatannya hampir hilang maupun dari yang lainnya. Lalu dia meneguhkannya. Yang terjadi dari selain pelaku perbuatan tersebut kadang-kadang dengan tujuan meneguhkan perbuatan tersebut. Tetapi kadang-kadang tidak dimaksudkan untuk hal itu, melainkan pengaruh itu diperoleh dengan sebab adanya kesesuaian antara dua individu dari segi hal, sifat, perbuatan, diri, atau martabatnya.

Prinsip-prinsip yang sesuai di antara makhluk terbatas pada lima induk ini. Maka pahamilah. Saya lihat dalam ikatan jenis-jenis perbuatan, sebagiannya terhadap sebagian yang lain, terdapat rahasia yang asing. Yaitu, bahwa kadang-kadang muncul dari pelaku itu suatu perbuatan yang dimaksudkan untuk sesuatu tertentu. Namun, melalui waktu, ḥāl, dan maqām, ia dikuasai hukum perbuatan yang lain dengan bentuk yang lain. Maka muncul akibat yang sebabnya tidak diketahui. Sedikit orang yang mengetahui apa yang terjadi dan bagaimana kemunculannya. Hal itu disebabkan hilangnya karakteristik suatu perbuatan menjadi perbuatan yang lain dengan sebab ikatan dan kekuatan pengaruh perbuatan yang mempengaruhi itu, serta keyakinannya terhadap hukum waktu dan keadaan. Saya lihat keseluruhan rahasia-rahasia kemaksiatan dan rahasia-rahasia ketaatan. Dari tempat yang dimuliakan, saya perhatikan pendahuluannya dan akibat-akibatnya, serta ihwal para pelakunya. Maka saya menyatukannya berkaitan dengan sebagiannya adalah hujah-hujah rahasia qadar agar di kemudian hari al-hubr (pengetahuan terhadap sesuatu) mempercayai pengabaran itu dan menjadi jelas hikmah-hikmah yang terpendam di dalam penyakit dan obat, rahasia mengabaikan dan memberi perhatian, rahasia keseimbangan yang berlaku pada ganjaran dan balasan. Saya melihatnya, berkaitan dengan sebagiannya, sebagai perangkap dan tali-tali yang tempat permulaannya adalah maqām pengabaian dan pemberian perhatian.

Sebagian mereka terperangkap dengannya dari dunia untuk akhirat, dan sebagian lain dari akhirat untuk berhias dengan kesempurnaan-kesempurnaan dunia dan akhirat. Sebagian lainnya terperangkap untuk memperoleh makrifat terhadap apa yang ada di dalamnya dan mengetahui hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang ada padanya. Saya lihat sebagian mereka melampaui dari situ ke kebahagiaan mutlaknya dengan menampakkan kesempurnaan kebaikan yang tersimpan pada semua itu menembus ke kesaksian kesatuan perbuatan Ilahi serta kesatuan tindakan dan pelaku. Telah dijelaskan pada bagian terdahulu dan saya ingatkan bahwa keberbilangan yang dihasilkan tindakan al-Ḥaqq menghasilkan sifat-sifat yang dihubungkan dengan sebagian tempat menjadi ketaatan dan dihubungkan dengan tempat yang lain menjadi kemaksiatan. Hal-hal itu selalu disertai kebaikan dan kejelekan, akibat-akibat yang sesuai dan yang tidak sesuai, yang sementara dan yang abadi.

Kemudian, sekembalinya saya dari penyaksian ini, ketika turun, saya lihat akibat-akibat perbuatan orang yang tidak dirintangi untuk mengetahui al-Ḥaqq s.w.t. dan agar menjadi ahli-Nya. Akibat-akibat itu merupakan buah-buah keimanan dan kejujuran dalam bermuamalah. Saya lihat perbuatan-perbuatan lain yang merupakan sebab-sebab kesiapan untuk menghias diri (taḥaliyah), mengosongkan diri (takhaliyah), menolak bahaya dari kelalaian tabiat dan keterhijaban, mengilangkan kesedihan, atau mencari anugerah. Ketika sampai di ujung daerah perjalanan perbuatan yang berhubungan dengan awal tempat perjalanannya dan yang paling tinggi, saya lihat perbuatan-perbuatan sekumpulan pemuka. Perbuatan-perbuatan itu berjalan pada maqām-maqām keagungan keadilan dan keridaan al-Ḥaqq, dan bercampur dengan hukum-hukum ihwal zat-Nya yang menampakkan rahasia tidakan-Nya. Ia bolak-balik, masuk dan keluar, dalam martabat-martabat ilmu, kebodohan, penggabungan (washal) dan pemisahan (fashl) dalam pengawasan-Nya. Ini merupakan sebagian yang saya lihat dari jenis-jenis dan martabat-martabat amalan, martabat-martabat para pelakunya, dan buah amalan mereka di alam nyata (syahādah), barzakh, mahsyar, neraka, dan surga, serta melihat dari dekat, tanpa cara dan tempat. Yang saya lihat dalam penyaksian agung ini lebih besar dari apa yang dijelaskan walaupun saya telah membentangkannya dan telah menjelaskan apa yang belum jelas. Walhamdu lillāh.

Khabar yang Lain

Kami kembali menjelaskan apa yang tersisa dari makna dan rahasia hadis ini.

Sabda Rasulullah s.a.w., “Maka saya tahu ilmu orang-orang terdahulu dan terkemudian,” atau, “Saya tahu apa yang ada di langit dan di bumi,” yang disebutkan dalam riwayat yang lain, rahasianya adalah bahwa yang dimaksud dengan orang-orang terdahulu dan terkemudian di sini adalah setiap orang mengambil dari Allah dengan perantara. Ilmu-ilmu itu adalah ilmu-ilmu syariat, nasihat, dan ilham yang dengannya orang-orang khusus dari ahli Allah menyembah-Nya. Saya kaitkan ilmu ini dan orang yang mengambil dengan perantara karena ada pintu khusus di mana tidak ada perantara di antara hamba dan Tuhannya. Pintu itu terbuka bagi orang yang dibukakan baginya. Adapun rahasia riwayat lain yang disebutkan, “Maka saya tahu apa yang ada di langit dan bumi,” maka itu merupakan ilmu yang datang dari kehadiran nama Tuhan yang tersebar di langit dan bumi. Ada yang mengira bahwa saya mengatakan, “Ilmu Rasulullah s.a.w. tidak melampaui kehadiran ini.” Saya berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang bodoh. Bagaimana orang berakal mengatakan seperti perkataan itu setelah mengetahui apa yang dikabarkan Rasulullah s.a.w. tentang rahasia-rahasia surga yang ada di atas langit, serta rahasia-rahasia ‘Arsy, Lawḥ, dan pena. Saya hanya mengatakan, “Yang dikhususkan dan yang diperoleh dengan pukulan ini.” Karena, sebagaimana saya telah tunjukkan bahwa perujukan hukum-hukum mimpi ini adalah pada nama Tuhan. Saya telah jelaskan bahwa cermin dan pelaminan penampakan merupakan bentuk dan roh tempat-tempat tinggi, dari sisi apa yang kami jelaskan. Maka ingatlah.

Rahasia mengapa derajat-derajat itu adalah berupa penyebaran salam, memberi makan, dan salat malam sementara manusia tertidur. Muamalah manusia terbatas dalam dua pokok, yaitu muamalah dengan makhluk maupun dengan al-Ḥaqq. Setiap muamalah ini terbagi ke dalam perkataan dan perbuatan. Muamalah yang dikhususkan bagi makhluk yang berupa perkataan adalah salam. Ini adalah prinsip. Memberi makan adalah perbuatan, dan merupakan sebagus-bagus perbuatan baik pada orang lain. Tidak diragukan bahwa kebaikan pada orang lain memiliki derajat yang lebih tinggi dari yang melampaui batas adalah derajat kebaikan yang hanya untuk diri pelakunya. Sebagaimana salam adalah sebaik-baik perkataan yang melampaui batas pelakunya.

Salat malam merupakan muamalah dengan al-Ḥaqq yang mencakup perkataan dan perbuatan. Bacaan, kalam Allah, dan berzikir kepadanya dengan tasbih, tahlil, dan takbir merupakan perkataan. Karena itu dikabarkan, “Orang yang salat adalah bermunajat kepada Tuhannya.” (267) Berdiri dalam salat, rukuk, sujud, dan sebagainya merupakan perbuatan. Maka berlakulah batasan yang saya tunjukkan dan saya jelaskan, bahwa ini merupakan pokok-pokok yang berkaitan dengan cabang-cabang perbuatan. Maka pahamilah.

Adapun pengajaran al-Ḥaqq kepada Nabi s.a.w. di akhir kisah ini agar mengucapkan, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk memperbuat kebaikan dan meninggalkan kemungkaran…” (hingga akhir doa), rahasianya yang saya tunjukkan sebelum ini adalah bahwa penampakan ini datang dari kehadiran nama ar-Rabb. Ia merupakan sumber dan orbit syariat melalui perintah dan larangan. Allah s.w.t. telah mengingatkan pengajaran atas syariat ini dengan sabda Nabi, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu memperbuat kebaikan dan meninggalkan kemunkaran.” Maka pahami dan kajilah rahasia-rahasia hadis yang komprehensif ini dan yang saya bentangkan di dalam syarahnya berupa ilmu-ilmu asing, niscaya engkau melihat keajaiban. Hanya Allah-lah Pemberi petunjuk.

Catatan:

  1. 20). Saya tidak menemukannya di dalam sumber-sumber rujukan.
  2. 21). Diriwayatkan oleh an-Nasā’ī di dalam bab at-Tathbīq, hal. 81.
  3. 22). Saya tidak menemukannya di dalam sumber-sumber rujukan.
  4. 23). Diriwayatkan oleh at-Tirmīdzī di dalam bab al-Birr, hal. 55; ad-Dārimī di dalam bab ar-Riqāq, hal. 74; dan Ibn Hanbal, V/153, 158,16, 228 dan 236.
  5. 24). Diriwayatkan oleh al-Bukhārī di dalam bab ad-Da’wāt, hal. 66.
  6. 25). Ibid
  7. 26). Diriwayatkan oleh Imām Mālik di dalam al-Muwaththa’dalam kitab Al-Qur’ān, hal. 40.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *