017 Asmā’ul Ḥusnā dan Ismul A‘zham – Pancaran Spiritual – al-Qunawi

PANCARAN SPIRITUAL
TELAAH 40 HADITS SUFISTIK

(Diterjemahkan dari: Syarḥ-ul-Arba‘īna Ḥadītsan)
Oleh: SHADR-UD-DĪN Al-QUNĀWĪ

Penerjemah: Irwan Kurniawan
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

HADITS KETUJUH BELAS

(Asmā’-ul-Ḥusnā dan Al-Ism-ul-A‘zham)

 

Dari Asmā’ binti Yazīd (11) bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Nama Allah yang teragung terdapat di dalam dua ayat berikut: Pertama, wa ilāhukum ilāhun wāḥidun lā ilāha illā huwa-ar-Raḥmān-ur-Raḥīm (dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada tuhan [yang berhak disembah] melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)(QS. al-Baqarah: 163). Kedua, pembuka surah Āli ‘Imrān: Alif lām mīm. Allāhu lā ilāha illā huw-al-ḥayy-ul-qayyūm (Alif lam mim. Allah, tidak tuhan [yang berhak disembah] melainkan Dia. Yang Hidup, Kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-makhlukNya.) (QS. Āli ‘Imrān: 1-2).

Di dalam riwayat lain disebutkan: “Nama Allah yang teragung adalah di awal surah Āli ‘Imrān dan awal surah al-Ḥadīd.” (22).

Dari Buraydah (33) bahwa Rasūlullāh s.a.w. mendengar seseorang mengucapkan: Allāhumma innī as’aluka bi annī asyhadu annaka anta Allāh. Lā ilāha illā anta. Al-Aḥad-ush-Shamad-ul-ladzī lam yalid wa lam yūlad wa lam yakun lahu kufuwan aḥad. (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar dapat bersaksi bahwa Engkau adalah Allah. Tiada tuhan selain Engkau, Yang Maha Esa dan tempat bergantung, Yang tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tiada seorang pun yang setara dengan-Nya). Maka beliau bersabda: “Demi yang diriku dalam kekuasaan-Nya, dia telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang teragung (al-ism-ul-a‘zham) yang apabila Dia dimohon dengannya, niscaya Dia mengabulkan; dan jika Dia diminta dengannya, niscaya Dia memberi.

Di dalam hadits dari Anas disebutkan bahwa seseorang sedang menunaikan shalat di dalam masjid. Lalu dia berdoa dengan mengucapkaan: Allāhumma innī as’aluka bi anna lak-al-ḥamd. Lā ilāha illā ant-al-mannānu, badī‘-us-samāwāti wal-ardhi dzul-jalāli wal-ikrām. Yā ḥayyu, yā qayyūm (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwa segala pujian adalah milik-Mu. Tiada Tuhan selain Engkau Yang Maha Pemurah, Pencipta langit dan bumi, Pemilik keagungan dan kemuliaan. Wahai Yang hidup kekal dan terus-menerus mengurus makhluk-makhlukNya). Maka Rasūlullāh s.a.w. bersabda seperti pada hadits di atas. (44).

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya.

Ketahuilah, sebelum memulai penjelasan hadits ini dan mengungkap rahasia-rahasia yang dikandungnya, haruslah didahului dengan muqaddimah universal yang menjadi asas dan kunci untuk memahami apa yang akan disebutkan kemudian. Muqaddimah itu pun perlu untuk membantu mengungkap tingkatan nama-nama Ilahi dan perbedaan derajat-derajatnya berdasarkan tindakan (af‘āl), sifat, hubungan, dan keterkaitannya. Maka saya katakan: Yang dipahami dari kesaksian sempurna dan paling tinggi serta makrifat yang pasti terhadap ihwal al-Ḥaqq dari semata-mata dzāt-Nya adalah, dengan kemutlakannya, dzāt-Nya tidak tertentu dengan penafian, peneguhan, gabungan antara penafian dan peneguhan, atau terbatas pada gabungan itu saja, serta sifat-sifat lainnya seperti terpikirnya (terpahaminya) tuntutan penciptaan atau lainnya. Sebab, ihwal dzāt-Nya tidak terbatas pada sesuatu dari itu semua dan juga dari yang lainnya. Melainkan hal itu memiliki realisasi (taḥaqquq) dan penerimaan adz-Dzāt terhadap semua itu dan juga kebalikannya berupa hukum-hukum dan sifat-sifat.

Semua itu satu makna dan dari sudut penampakan yang mencukup seluru entitas, nama, sifat, hubungan, ketekaitan, dan berbagai sisi. Hubungan kesatuan dan kemajemukan kepada penampakan itu adalah sama. Sebab, kesatuan dan kemajemukan adalah cabang darinya. Tidak ada batasan, kepastian, dan juga penyucian terhadap masa, dari satu sisi. Yang pasti, kesemuanya itu adalah utuh, tidak berbagi. Allah s.w.t. telah mengingatkan prinsip ini di berbagai tempat di dalam Kitāb-Nya. Misalnya, firman-Nya: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Ḥadīd: 4) Juga firman-Nya: “Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.” (QS. Fushshilat: 54).

Allah mengingatkan bahwa Dia meliputi dzāt-dzāt lahir seluruh atom. Tidak ada yang lebih kecil dari itu. Demikian pula batinnya, karena segala sesuatu adalah dalam perhitungan-Nya. Tidak ada keraguan terhadap yang disertai-Nya ketika terikat dengan adz-Dzāt. Sebab, yang disertai itu menyertai-Nya melalui ikatan. Karena itu, Dia berfirman: “…. di mana saja kamu berada.” Hanya saja, dia tidak terbatas padanya dan tidak pula pada selainnya. Karena itu saya katakan: “Al-Ḥaqq di dalam setiap yang tertentu adalah tertentu dan mutlak tanpa tertentu.” Berkenaan dengan ini, Allah s.w.t. berfirman: “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada [pembicaraan antara] lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya.” (QS. al-Mujādilah: 7).

“Yang keenam” adalah tertentukan tanpa batas, dan tiada batasan dalam menyertai “yang lima” dengan hitungan mereka, sebagaimana telah dijelaskan. Dari aspek ini, benar-benar tidak mungkin mengetahui esensi-Nya. Allah s.w.t. berfirman: “…. sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (QS. Thāhā: 110). Allah tidak menafikan pengetahuan terhadap-Nya. Sebab, Dia diketahui dan disaksikan di dalam hal entitas-Nya. Allah hanya menafikan pengetahuan yang komprehensif. Hal itu adalah dari segi kemutlakan-Nya dan ketiadaan batasan-Nya. Di mana ketika Dia diketahui, dari sisi ini, maka Dia seolah-olah diketahui dengan pengetahuan yang sempurna. Inilah yang tidak mungkin. Terhadap hal ini, Nabi kita s.a.w., yang merupakan makhluk paling sempurna, mengisyaratkan makrifat kepada Allah di dalam doa dan munajatnya. Pada akhir doa dan pujiannya, beliau berkata: “Aku tidak dapat membilang pujian pada-Mu dan aku tidak dapat melampaui setiap yang ada pada-Mu.” (55) Maka beliau menafikan pengetahuan yang komprehensif, tetapi beliau tidak menafikan ma‘rifat. Orang yang berpikir mengetahui bahwa di dalam hal ini tidak mungkin meletakkan nama, di mana nama tersebut menunjukkan inti hakikatnya secara sempurna, sehingga tidak dipahami dari nama ini selain inti dzāt-Nya tanpa mengandung makna tambahan berupa penyifatan dan hukum, atau martabat dan pandangan. Ini adalah mustahil. Maka hendaklah engkau ketahui bahwa makna-makna yang dikandung oleh ungkapan-ungkapan itu, walaupun cakupannya lebih luas dari ungkapannya, tetapi dalam hal kaitannya dengan bentuk-bentuk, ungkapan itu terikat dengan ikatan tambahan dengan batasannya, yang membedakan sebagian makna dari sebagian yang lain. Tidak ada ungkapan selain memberi ketentuan (batasan). Padahal, kemutlakan al-Ḥaqq adalah dalam hal tak tertentu, sehingga tidak ada nama, sifat, hukum, dan sebagainya.

Kemudian, ketahuilah bahwa pengertian komprehensif dari konsep seluruh makna seluruhnya memiliki hubungan dengan makna seperti hubungan genus pada spesies dan person. Di sini terdapat rahasia lain yang mulia. Yaitu, bahwa makna segala sesuatu dalam hubungannya dengan setiap orang yang mengetahuinya adalah terhenti pada apa yang diketahuinya tentang sesuatu itu. Hal itu bisa terjadi baik karena ketakberdayaan yang dirasakannya maupun karena dugaannya bahwa dia telah sampai pada puncak dari pemahaman (pengenalan) tentang sesuatu tersebut. Jadi, makna-makna tidak terlepas dari keterikatan, dan juga tidak melampaui bentuk-bentuk batasan, sebagaimana telah dijelaskan. Maka orang yang mengetahui ungkapan itu adalah melalui cara pertama karena lingkupnya yang lebih sempit dan lebih terbatas.

Bagaimana mungkin seorang berakal mengetahui bahwa Allah s.w.t. memiliki nama teragung, dalam arti, keagungannya berlaku disebabkan menunjukkan dzāt-Nya dengan penunjukkan yang sesuai berdasarkan sisi yang telah disebutkan? Hanya saja, engkau harus tahu – walaupun sulit – bahwa Dia memiliki nama-nama teragung di dalam martabat tindakan, sifat, hubungan, keterkaitan, dan hukum-hukum Ilahi yang diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan itu. Inilah yang dimaksud dalam hadits-hadits Nabi menurut rahasia-rahasianya yang saya akan jelaskan kepadamu, in syā’ Allāh.

Nama-nama Ilahi, dari satu sisi pembagiannya, terbagi ke dalam lima bagian. Satu bagian di antaranya tidak masuk dalam pelafalan dan tulisan. Saya akan menyebutkannya setelah menyebutkan empat bagian yang lain. Yang empat bagian itu adalah: Pertama, pintu-pintu keghaiban yang ditunjukkan di dalam al-Qur’ān. Allah s.w.t berfirman: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia.” (QS. al-An‘ām: 59). Ini pun memiliki lima martabat. Yaitu, kehadiran yang ghaib yang meliputi makna-makna yang lepas dari objek dan hakikat, dan bentuk segala sesuatu di dalam ilmu al-Ḥaqq. Kebalikannya adalah kehadiran yang nyata. Di antara keduanya ada alam pra-eksistensi (‘alam-ul-mitsāl) yang mutlak. Ia memiliki pertengahan (al-wasth). Sementara roh-roh berada di natara pertengahan dan yang ghaib. Karena hubungannya dengan yang ghaib adalah lebih kuat. Sedangkan alam pra-eksistensi yang terikat berada di antara pertengahan dan alam nyata, karena hubungannya dengan alam nyata lebih kuat. Maka setiap martabat selain ini merupakan ikutan dan cabang dari cabang-cabang universal yang lima ini. Maka pahamilah.

Adapun firman-Nya: “…. tidak ada yang mengetahuinya selain Dia,” ditafsirkan bahwa tidak seorang pun mengetahui dzāt-Nya kecuali Dia. Namun kadang-kadang hal itu diketahui dengan pemberitahuan dari Allah. Hal itu diketahui oleh hamba-hamba Allah yang kepadanya hal itu Allah tampakkan. Hal itu saya temukan lebih dari satu orang dari ahli Allah, seperti saya lihat sekumpulan orang yang mengetahui kapan dan di mana mereka akan mati. Mereka mengetahui apa yang terdapat di dalam rahim ketika seorang perempuan hamil. Bahkan, demi Allah, mereka pun mengetahuinya sebelum kehamilan. Padahal, Rasūlullāh s.a.w. bersabda di dalam hadits mengenai hari kiamat ketika ditanya tentang hal itu: “Itu salah satu dari lima keghaiban yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.” Kemudian beliau membaca ayat: (66)

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat, dan Dia-lah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui [dengan pasti] apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqmān: 34).

Ketika dapat diperoleh ilmu mengenai sebagian hal itu, atau sebagian besarnya, maka diketahui bahwa ayat ini dan yang telah disebutkan sebelumnya: …. di sisi-Nya kunci-kunci semua yang ghaib merupakan dua penafsiran terhadap apa yang telah kami sebutkan. Sebab, kalau yang dimaksud adalah bukan seperti yang sayat tunjukkan, maka tidak mungkin menggabungkan, setelah diperoleh ilmu, antara ilmu dan pemahaman dari dua ayat dan hadits ini. Karena, seseorang tidak mungkin menolak dari dirinya apa yang ditampakkan oleh al-Ḥaqq dan diwujudkan dengan ma‘rifat-Nya. Tidak mungkin diingkari hadits dan dua ayat itu. Maka dipastikanlah bahwa yang dimaksud adalah yang kami telah sebutkan. Maka pahamilah.

Hakikat kunci-kunci itu dibedakan dari pengunciannya yang dapat dipikirkan akal. Kadang-kadang tidak diketahui, bagaimana pembukaannya. Dan kadang-kadang hakikatnya diketahui tanpa memandang pada penguncian dan pembukaannya. Bagaimana tidak? Pembukaan pertama telah terjadi dan berlalu. Hal itu merupakan ungkapan dari awal penciptaan. Orang yang menyaksikan kini, jika al-Ḥaqq menampakkan padanya kunci dan pembukaan, maka dia hanya mengetahui dan menyaksikan suatu pembukaan seperti pembukaan pertama. Tetapi dia tidak menyaksikan pembukaan pertama itu. Itu telah terjadi dan berlalu. Apabila ini telah jelas, maka ketahuilah bahwa kunci-kunci yang ditunjukkan itu adalah nama-nama dzāt-Nya. Sesungguhnya nama-nama itu, sekalipun tidak menunjukkan dengan penunjukan yang sesuai dalam setiap aspek terhadap apa yang kami telah sebutkn sebelumnya, namun nama-nama itu memiliki petunjuk terhadap adz-Dzāt pada sebagian besar sisi dan menyempurnakannya dalam hubungannya dengan nama-nama lain selain bagian kelima yang telah kami janjikan untuk dijelaskan. Tidak ada yang mengetahui selain orang yang sempurna di antara hamba-hamba Allah. Dari sudut pandang nama-nama ini, muncul rahasia prinsip kebenaran dan prinsip pengaruh penciptaan. Dari dan dengannya, terbagi martabat, hubungan, dan keterkaitan.

Martabat adz-Dzāt pertama, dari sudut pandang nama-nama ini, adalah ulūhiyyah. Al-Ulūhiyyah adalah seperti naungan bagi adz-Dzāt. Induk nama-nama al-ulūhiyyah, yaitu al-ḥayy, al-‘ālim, al-muriīd, dan al-qādir adalah sebagai naungan nama-nama adz-Dzāt yang telah ditunjukkan. Nama hakikat al-ulūhiyyah yang teragung adalah nama Allāh. Sedangkan nama yang paling agung dari induk nama-nama adalah nama al-Ḥayy. Sebagaimana setiap nama yang ditetapkan al-Ḥaqq dalah agar dzāt-Nya diketahui melalui nama atau sifat tersebut, dan dengan nama itu pula Dia mengenalkan diri kepada orang yang memperoleh bagian dapat mengenal-Nya nama-nama adz-Dzāt itu mengikuti kunci-kunci keghaiban. Demikian pula nama-nama al-ulūhiyyah yang lain mengikuti empat nama yang telah disebutkan. Nama Allah yang diberikan untuk mengenalkan hakikat ulūhiyyah dalam hal kesatuan menghimpunkan semuanya. Setelah saya jelaskan kepadamu nama-nama Dzāt-Nya dan nama hakikat ulūhiyyah yang teragung dalam hubungannya dengan nama-nama yang akan disebutkan kemudian, saya beritahukan kepadamu induk nama-nama ulūhiyyah itu. Al-Ḥayy adalah yang paling agung dalam makna. Al-Ḥaqq s.w.t. menjadikannya tiga bagian di dalam Kitāb-Nya yang agung. Nama Allah didahulukan dalam mengenalkan martabat dzāt-Nya. Kemudian Dia menyucikan martabat itu dari kemusyrikan dan persekutuan.

Allah s.w.t. berfirman: “Dia-lah Allah Yang tiada tuhan selain Dia, Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Ḥasyr: 22). Ini adalah nama-nama yang ditambahkan pada dzāt al-Ḥaqq karena kepasitasnya sebagai Tuhan yang maujūd dan pencipta. Kemudian nama-nama ini diikuti sejumlah nama sifat ulūhiyyah. Maka Allah s.w.t. berfirman: “Dia-lah Allah Yang tiada tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakn keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. al-Ḥasyr: 23) Ayat ini menggabungkan sifat-sifat positif dan sifat-sifat negatif. Kemudian ditambahkan sejumlah nama perbuatan (af‘āl).

Setelah itu, saya beritahukan kepadamu nama-nama yang agung dalam martabat ulūhiyyah, nama-nama dzāt, dan nama-nama sifat, ketahuilah, nama teragung dalam martabat af‘āl adalah nama al-qādir dan al-qadīr. Karena, al-khāliq, al-bārī, al-mushawwir, al-qābidh, al-bāsith, dan sebagainya adalah seperti bersandar pada nama al-qādir. Karena itu saya katakan: Empat nama, yakni al-ḥayy, al-‘ālim, al-murīd, dan al-qādir merupakan induk nama dan sifat yang dinisbatkan kepada al-Ḥaqq dalam hal ulūhiyyah-Nya agar dirujukkan dan diikutkan nama-nama lainnya pada nama-nama tersebut. Sebagaimana saya telah kabarkan tentang mengikutkan nama-nama af‘āl pada nama al-qādir. Al-Qādir merupakan yang teragung di antara nama-nama af‘āl.

Itu juga masalahnya pada tiga bagian yang lain. Maka nama ar-ra’ūf, al-wadūd, al-‘athūf, dan sebagainya adalah mengitkuti nama al-murīd. Sementara al-ḥasīb, ar-raqīb, asy-syahīd, dan sebagainya mengikuti nama al-‘alīm. Pada nama al-ḥayy terhimpun ketentuan-ketentuan ini. Bahkan dari situlah ketentuan-ketentuan itu bercabang. Hal itu disebabkan sifat kolektifnya.

Al-Ḥayy melahirkan perbuatan-perbuatan tersebut, dan juga karena keberadaannya sebagai syarat dalam penegasan seluruh nama-nama, serta shaḥīḥ penisbahannya kepada al-Ḥaqq. Guru kami, al-Imām al-Akmal (77) r.a. menyebutkan bahwa al-ḥayy-ul-qayyūm pada kenyataannya adalah satu nama yang tersusun dari dua nama. Itu termasuk bagian nama teragung yang umum. Demikian pula huruf-huruf alif, dāl, dzāl, rā’, zā’, dan wāw adalah termasuk bagian nama itu.

Hendaklah engkau mengetahui bahwa huruf-huruf ini bersama ḥayy-ul-qayyūm dan bagian-bagian nama lainnya adalah seperti cerminan sempurna dari makna al-qudrah dan seperti nama yang menunjukkan sesuatu secara sesuai. Sebab, ini mempengaruhi setiap sesuatu untuk menuju padanya. Karena itu, dalam hal itu dikatakan: “Itu merupakan nama yang teragung dari nama-nama yang memberi pengaruh walaupun semuanya merupakan nama-nama yang memiliki pengaruh.”

Nama-nama itu hanya berpengaruh terhadap sebagian benda seperti jenis khusus dari maujud seperti burung, binatang liar, atau binatang laut. Atau, berpengaruh terhadap air, tidak terhadap udara, pada api, jinn dan sebagainya. Hal itu berbeda dengan nama yang ditunjukkan ini. Nama ini memiliki pengaruh umum pada seluruh species dan person. Rahasianya adalah karena nama-nama yang lainnyahanya berpengaruh pada species yang disandarkan kepada al-Ḥaqq dalam hal pengertian nama tersebut. Karena itu, al-Ḥaqq tidak dikenal kecuali dari sisi itu. Tidaklah engkau perhatikan burung hudhud ketika sifat-sifatnya sempurna, ia mengetahui tempat-tempat air yang dalam dan serangga yang merayap di bawah tanah. Tetapi ia tidak mengetahui al-Ḥaqq dan tidak mengagungkan-Nya kecuali dari sisi itu.

Karena itu, hudhud berkata kepada Sulaimān: “…. agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.” (QS. an-Naml: 25). Begitu pula, dengannya para malaikat diperintah untuk bersujud kepada Ādam. Mereka tidak menyebutkan al-Ḥaqq kecuali dengan perkataan mereka: “…. padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan-Mu.” (QS. al-Baqarah: 30). Ādam dikhususkan dengan kumpulan yang ditunjukkan dengan firman-Nya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya.” (QS. al-Baqarah: 31).

Karena itu, ketika al-Ḥaqq memerintahkannya untuk bertawaf di Ka‘bah dan mengabarkan kepadanya bahwa sebelumnya ribuan malaikat telah bertawaf di Ka‘bah itu dengan cara begini dan begitu, maka Dia bertanya kepada para malaikat: “Apa yang kalian ucapkan ketika bertawaf di al-Bayt ini?” Mereka menjawab: “Kami membaca: subḥānā Allāhu wal-ḥamdu lillāhi wa lā ilāha illā Allāhu wa Allāhu akbar (Maha Suci Allah dan segala pujian bagi Allah dan tiada tuhan selain Allah. Dan Allah Maha Besar).” Lalu Allah berkata: “Aku tambahkan untuk kalian: Wa lā ḥaulā wa lā quwwata illā billāh (Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan [idzin] Allah).” Al-Ḥawqalah – yakni, ucapan Wa lā ḥaulā wa lā quwwata illā billāh – ini merupakan ungkapan khilāfah karena mengandung persekutuan bersama Allah. Hal itu tidak dibenarkan kecuali bagi wakil yang menggantikan. Ini adalah seperti Iyyāka nasta‘īn (Hanya kepada-Mu kami menohon pertolongan). (QS. al-Fātiḥah: 5).

Berkenaan dengan ini, Nabi s.a.w. mengabarkan kepada kita: “Ketika hamba mengatakan: “iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn”, al-Ḥaqq s.w.t. berfirman: “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku.” (88) Beliau menjelaskan ketegasan persekutuan seperti halnya di dalam al-ḥawqalah di atas. Maka pahami dan kajilah pasal ini. Sebab, jika engkau mengkaji dan memahaminya, niscaya engkau tahu lebih banyak lagi rahasia nama-nama yang agung ini dan yang lainnya. Engkau tahu bahwa nama teragung dalam hubungannya dengan setiap maujūd merupakan bentuk nama yang diterjemahkan dari makna kedudukan itu. Dari situlah maujūd tersebut bersandar kepada al-Ḥaqq. Itu merupakan puncak ma‘rifatnya kepada Allah s.w.t., baik maujūd itu dari golongan manusia, jinn, malaikat, maupun golongan lain. Kita tahu bahwa mereka yang didengar Nabi s.a.w. mengingat Allah dan memohon kepada-Nya. Beliau mengabarkan bahwa mereka memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang teragung. Apabila Allah diseru dengan nama itu, niscaya Dia menjawab. Dan apabila Dia diminta dengannya, niscaya Dia memberi. Perbedaannya adalah pada nama-nama yang mereka gunakan untuk mengingat Allah dalam doa mereka. Ini adalah setelah tertanam di dalam pemahaman manusia.

Nama teragung itu adalah satu nama. Maka bagaimana menggabungkan antara pemahaman yang berbeda-beda ini dan hadits-hadits mengenai sebutan masing-masing dari mereka bahwa itu adalah nama teragung. Ini menunjukkan rahasia sabda dan pengajaran Rasūlullāh s.a.w. Hal itu hanyalah karena kesempurnaan ilmunya terhadap puncak pengenalan mereka kepada Allah, dan juga penunjukkan yang mereka gunakan untuk menyifati al-Ḥaqq. Kalaulah maksud hadits-hadits dan pengajaran itu bukan yang kami sebutkan, niscaya akan mengesankan adanya suatu kontradiksi, karena tidak dapatnya menggabungkan antara hal-hal yang mereka sebutkan dan pemahaman dari sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Nama teragung itu adalah satu.

Kemudian, ketahuilah bahwa keagungan nama-nama itu memiliki martabat yang lain, yang dikhususkan dengan pemahaman. Karena, kata al-ism (nama) itu terbentuk dari kata as-simah yang berarti tanda. Maka al-ism menjadi pengenal terhadap yang diberi nama, seperti dalil yang menunjukkan pada al-madlūl. Maka suatu nama yang mengandung pengenalan yang lebih sempurna dibandingkan pengenalan dari nama-nama lainnya, maka nama itulah yang teragung dibandingkan dengan pengenalan yang tidak sempurna. Maka datangkanlah prinsip ini, niscaya engkau mengetahui rahasia sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Nama teragung itu adalah di dalam firman Allah: Wa ilāhukum ilāhun wāḥidun lā ilāha illā huw-ar-Raḥmān-ur-Raḥīm, serta di dalam surah Āli ‘Imrān dan pada awal surah al-Ḥadīd.” Keagungan di dalam ayat-ayat ini berlaku dari segi pengenalan, bukan dari sisi pengaruhnya terhadap hal-hal yang dipahami orang-orang yang terhijabi. Keagungan di dalam pengaruh itu adalah yang telah ditunjukkan di atas. Abū Yazīd (99) r.a. ditanya mengenai nama teragung itu. Maka dia menjawab: “Perlihatkanlah kepadaku yang paling kecil, niscaya saya perlihatkan kepadamu yang paling agung. Nama-nama Allah semuanya adalah keagungan. Percayalah dan ambillah nama mana saja yang engkau suka. Maka ia berpengaruh terhadapmu.”

Maka nama yang tujuannya adalah pengenalan kepada al-Ḥaqq itulah yang teragung dalam kaitan dengan-Nya dan dalam hal pengaruh dari al-Ḥaqq. Maka pahamilah. Hendaklah engkau tahu bahwa keagungan yang dikhususkan dengan pengenalan dan penunjukan itu terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, bagian yang masuk ke dalam martabat pelafalan dan tulisan, yakni yang ditunjukkan di dalam ayat-ayat yang telah dijelaskan: Wa ilāhukum ilāhun wāḥid, serta awal surah Āli ‘Imrān dan awal surah al-Ḥadīd. Kedua, bagian yang berada di luar martabat pelafalan dan tulisan, yakni bagian kelima yang dikhususkan bagi manusia sempurna. Sebab, dalam hal penunjukannya, cakupan, kesatuan, dan pemisahannya adalah penunjukan yang sempurna terhdap kehadiran al-Ḥaqq baik di dalam dzāt, sifat, perbuatan, maupun martabat. Hanya saja penunjukan ini tidak termasuk ke dalam lingkup pelafalan dan tulisan. Maka ketahuilah hal itu. Kajilah apa yang mendatangkan pemahamanmu dari apa yang telah disebutkan kepadamu. Niscaya engkau tahu rahasia dan makna hadits-hadits ini, martabat nama teragung, dan rahasia-rahasia lainnya yang hampir tidak terhitung banyaknya.

Semoga Allah memberi petunjuk.

Catatan:

  1. 1). Asmā’ binti Yazīd bin as-Sakn al-Asyhaliyyah, anak perempuan bibi Mu‘ādz bin Jabal. Dia masuk Islam dan berbai‘at kepada Rasūlullāh s.a.w. Dia meriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w. beberapa hadits dan mengikuti beberapa peperangan. Dia hidup hingga masa pemerintahan Yazīd bin Mu‘āwiyah. Lihat biografinya di dalam kitab Siyar A‘lām-in-Nubalā’ karya adz-Dzahabī, jilid II, hal. 296-297.
  2. 2). Diriwayatkan oleh Abū Dāūd di dalam bab al-Witr, hal. 23; Ibn Mājah di dalam bab ad-Du‘ā’, hal. 9; ad-Dārimī di dalam bab Fadhā’il-ul-Qur’ān, hal. 14-15; dan Ibn Ḥanbal, VI/461.
  3. 3). Buraydah bin Khashīb bin ‘Abdullāh bin al-Ḥārits. Abū ‘Abdillāh dan Abū Sahl al-Aslamī. Dia adalah seorang sahabat. Dia masuk Islam pada masa hijrah. Dia hidup mengembara, lalu tinggal di Bashrah selama beberapa waktu, selanjutnya pergi ke Khurasan pada masa kekhalifahan ‘Utsmān. Dia wafat pada tahun 66 H. Lihat Siyar A‘lām-in-Nubalā’ karya adz-Dzahabī, jilid II, hal. 469-470.
  4. 4). Diriwayatkan oleh Abū Dāūd di dalam bab al-Witr, hal. 23.
  5. 5). Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab ash-Shalāh, hal. 222; Abū Dāūd di dalam bab ash-Shalāh, hal. 148; dan yang lainnya.
  6. 6). Diriwayatkan oleh al-Bukhārī di dalam bab al-Īmān, hal. 37.
  7. 7), dia adalah Syaikh Muḥy-id-Dīn bin al-‘Arabī guru penulis buku ini.
  8. 8). Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab ash-Shalāh, hal. 31.
  9. 9). Abū Yazīd al-Bisthāmī. Thayfūr bin ‘Īsā bin Syarūsān. Dia adalah seorang zāhid yang wafat pada tahun 161 H. Lihat Siyar A‘lām-in-Nubalā’, XIII/86-89.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *