019 Rahasia Pengharaman Zina dan Batasan-batasan Syariat – Pancaran Spiritual – al-Qunawi

PANCARAN SPIRITUAL
TELAAH 40 HADITS SUFISTIK

(Diterjemahkan dari: Syarḥ-ul-Arba‘īna Ḥadītsan)
Oleh: SHADR-UD-DĪN Al-QUNĀWĪ

Penerjemah: Irwan Kurniawan
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

HADITS KESEMBILANBELAS

(Rahasia Pengharaman Zina dan Batasan-batasan Syariat)

 

Dipastikan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah terhadap zina hamba-Nya yang laki-laki atau yang perempuan.” (11).

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya.

Tiba-tiba diceritakan kepadaku tentang rahasia hal itu bahwa sebab munculnya perasaan ghīrah (cemburu) dan penguasaannya bukanlah perbuatan yang diharamkan itu saja. Melainkan penyebabnya adalah karena ia bersekutu pada maqam rubūbiyyah. Hal itu disebabkan adanya pemutlakan dalam Tindakan (bertindak semaunya) dan pelaku ingin melakukan setiap yang dikehendaki tanpa cegahan, ikatan, dan larangan yang merupakan sifat-sifat rubūbiyyah. Sebab, Dia-lah (Allah) yang melakukan apa yang dikehendaki dan larangan adalah termasuk sifatnya yang khas. Ketika orang tersebut ingin keluar dari sifat-sifat larangan dan mencari pemutlakan Tindakan (ingin bertindak semaunya) menurut kehendaknya, maka berarti dia menginginkan persekutuan dengan al-Ḥaqq dalam sifat-sifat rubūbiyyah-Nya dan menentang kebesaran-Nya. Tidak diragukan, hal itu merupakan sebab munculnya ghīrah (cemburu) yang menyebabkan kemurkaan atau siksaan jika tidak mendapat pertolongan dan mendapat seratus cambukan yang berkaitan dengan perhitungan yang merupakan induk hukum-hukum rubūbiyyah. Ada pengurangan cambukan bagi anak gadis karena syafaat hukum esensi pertama.

Itu merupakan contoh perincian hukum-hukum hadirat Tuhan. Maka pahamilah. Ini merupakan kunci agung dari rahasia-rahasia syariat. Dari sini engkau tahu bahwa setiap tempat dan bilangan tertentu dalam syariat Kembali pada prinsip rabbāni dan urutan yang jelas sesuai dengan hakikatnya.

Catatan:

  1. 1). Diriwayatkan oleh al-Bukhārī di dalam bab al-Kusūf, hal. 2; Muslim di dalam bab at-Taubah, hal. 95; an-Nasā’ī di dalam bab al- Kusūf, hal. 11; ad-Dārimī di dalam bab an-Nikāḥ, hal. 37; dan Ibn Ḥanbal, I/281 dan 426.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *