016 Rahasia Pengharaman Riba – Pancaran Spiritual – al-Qunawi

PANCARAN SPIRITUAL
TELAAH 40 HADITS SUFISTIK

(Diterjemahkan dari: Syarḥ-ul-Arba‘īna Ḥadītsan)
Oleh: SHADR-UD-DĪN Al-QUNĀWĪ

Penerjemah: Irwan Kurniawan
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

HADITS KEENAM BELAS

(Rahasia Pengharaman Riba)

 

Muslim dari Abū Sa‘īd (11) berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam secara setimbang dan tunai. Barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka dia telah memperbuat riba. Yang mengambil dan yang memberi di dalam hal itu sama saja.” (22).

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya.

Ketahuilah, bahwa tema riba berkisar pada dua pokok, yaitu sifat dan waktu. Saya akan jelaskan rahasia keduanya, dengan pertolongan Allah s.w.t. Diawali dengan menyebutkan rahasia sifat-sifat itu, lalu akan dijelaskan rahasia waktu tersebut. Maka saya katakan: Tidak diragukan bahwa pemeliharaan kesamaan dalam timbangan dan takaran, tanpa ada penambahan, adalah jisim-jisim yang terbentuk dari jawhar yang diikuti ‘aradh. Juga tanpa diragukan mengenai ketinggian martabat jawhar atas martabat ‘aradh. Karena di dalam eksistensi, ‘aradh mengikuti jawhar.

Benda-benda yang bersifat riba ini dalam esensinya adalah sama, tetapi dalam sifatnya berbeda. Apabila tidak disyaratkan kesamaan di antara keduanya di dalam jual beli, maka penambahan esensial adalah untuk membayar sifat aksidental. Contohnya, seseorang memberi satu mudd gandum putih atau yang besar butirannya dengan dua mudd gandum coklat atau yang kecil butirannya. Maka tambahan satu mudd jenis kedua adalah sebagai pembayaran terhadap sifat putih. Hal itu benar-benar merupakan kezhaliman. Karena, dia menyamakan antara jawhar dan ‘aradh di dalam keutamaan dan hukum. Itu tidak dibenarkan. Maka pahamilah.

Kiaskan pada hal itu benda-benda bersifat riba lainnya, seperti kurma dan garam. Karena, benda-benda itu tidak mengungguli benda lain yang semisalnya kecuali karena keutamaan, rasa, dan warna. Semua itu merupakan ‘aradh. Menyamakan antara jawhar dan ‘aradh tidaklah dibenarkan. Karena itu, riba menjadi haram. Demikian halnya di dalam emas dan perak. Penambahan dan pengutamaan tidak terjadi kecuali karena bentuk dan macamnya. Itu pun merupakan ‘aradh. Pahamilah hal itu.

Adapun rahasia pengharaman riba dalam hal waktu, karena pinjaman seratus dinar, misalnya, setelah satu tahun harus dibayar 120 dinar, sehingga dua puluh dinar itu hanya untuk membayar jangka waktu saatu tahun. Maka seakan-akan dia menjual waktu satu tahun degnan harga dua puluh dinar. Padahal waktu tertentu itu tidak diadakan (diciptakan) dan tidak dimiliki oleh kreditur sehingga dia boleh menjualnya. Karena, waktu adalah milik Allah dan dengan hukum Allah, bukan dengan hukum selain-Nya. Untuk menghindari hal tersebut, maka disyaratkan di dalam jual-beli agar dilakukan secara tunai. Hal itu dimaksudkan untuk menyempurnakan kesamaan. Agar diperoleh kesamaan dalam hal waktu seperti halnya pada kuantitas barang yang dijual. Karena, kalau tidak begitu, maka penambahan di dalam penjualan kredit dibolehkan sebagai kompensasi terhadap penangguhan waktu pembayaran.

Apa yang telah disebutkan itu berkenaan dengan pinjaman dan laba tertentu atau pembayaran waktu. Maka ketahuilah hal itu, dan kajilah. Jika engkau mengkajinya dengan benar, dan terutama jika ditambahkan dengan apa yang telah saya jelaskan di dalam hadits pertama yang mengandung penjelasan hukum-hukum kesucian dan najis, niscaya engkau tahu sebagian besar rahasia pengharaman dan penghalalan. Selain itu, engkau perhatikan bahwa hukum-hukum yang disyaratkan berlaku berdasarkan prinsip-prinsip eksistensi, hukum-hukum Ilahi, dan hukum-hukum alam.

Catatan:

  1. 1). Abū Sa‘īd di sini maksudnya adalah Abū Sa‘īd al-Khudrī Sa‘ad bin Mālik bin Sannān, seorang sahabat. Dia banyak meriwayatkan hadits dari Rasūlullāh s.a.w. Dia wafat pada tahun 63 H. Lihat biografinya dalam kitab Siyaru A‘lam-in-Nubalā’ karya adz-Dzahabī, jilid III, hal. 168-172.
  2. 2). Diriwayatkan oleh al-Bukhārī di dalam bab al-Buyū‘, hal. 78; Muslim di dalam bab al-Musāqāh, hal. 81-83 dan 90; Abū Dāūd di dalam bab al-Buyū‘, hal. 12; an-Nasā’ī di dalam bab al-Buyū‘, hal. 50; Ibn Mājah di dalam bab at-Tijārah, hal. 48; ad-Dārimī di dalam bab al-Buyū‘; dan Ibn Ḥanbal, II/262 dan 427.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *