013 Beberapa Rahasia Ibadah dan Mengikuti Ajaran Al-Qur’an – Pancaran Spiritual – al-Qunawi

PANCARAN SPIRITUAL
TELAAH 40 HADITS SUFISTIK

(Diterjemahkan dari: Syarḥ-ul-Arba‘īna Ḥadītsan)
Oleh: SHADR-UD-DĪN Al-QUNĀWĪ

Penerjemah: Irwan Kurniawan
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

HADITS KETIGA BELAS

(Beberapa Rahasia Shalat, Wudhu’, Sabar, Sedekah, dan Mengikuti Ajaran al-Qur’ān)

 

Dari Abū Mālik al-Asy‘arī, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Bersuci adalah sebagian dari iman.

Di dalam riwayat lain disebutkan: “Wudhū’ adalah sebagian dari iman. Ucapan al-ḥamdu lillāh memenuhi timbangan. Ucapan subḥānallāhi wal-ḥamdu lillāh memenuhi apa yang ada di antara langit dan bumi. Shalat, adalah nur, sedekah adalah penjelasan, sabar adalah cahaya, dan al-Qur’ān adalah hujjah baik dan buruk bagimu. Setiap manusia pergi di waktu pagi, lalu menggadaikan dirinya. Maka ada yang membebaskannya dan pula yang membinasakannya.” (11)

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya.

Ketahuilah, iman itu memiliki bentuk dan roh. Masing-masing dari keduanya memiliki dua sifat. Masing-masing sifat itu memiliki dua hukum. Dua sifat dari bentuk iman itu dijelaskan di dalam perkataan para ulama: “Iman itu adalah pernyataan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota tubuh.” Iman memiliki dua syarat maknawi. Pada dua syarat inilah bergantung kebenaran pernyataan dan pengamalan. Dua syarat itu adalah niat dan keikhlasan karena Allah s.w.t. Dengan niat, ditegaskan ketundukan yang sebenarnya, dan dibedakan antara orang mu’min dan orang munafik. Kedua syarat ini memiliki hukum, yang satu berkenaan dengan waktu dan yang lain berkenaan dengan tempat.

Syarat yang berkenaan dengan waktu adalah seperti waktu-waktu shalat, puasa, musim haji, dan sebagainya. Sementara syarat yang berkenaan dengan tempat adalah seperti menghadap qiblat, kewajiban menghindari shalat di tempat-tempat peribadatan orang Kristen atau Yahudi yang bergambar, tempat-tempat bernajis, dan sebagainya. Di dalam haji tergabung hukum-hukum waktu dan tempat ini. Maka pahamilah.

Kemudian kita kembali pada perincian hukum-hukum pembenaran lain yang merupakan roh keimanan dan aspek-aspeknya.

Maka saya katakan: Pembenaran keimanan terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, pembenaran dari pemberi kabar yang benar secara universal, baik hal itu melalui sesuatu yang didapat pada dirinya tanpa ada sebab dari luar maupun melalui ayat atau mukjizat. Kedua, pembenaran terperinci yang menarik hukum terhadap bagian-bagian pengabaran dari pemberi kabar yang benar, serta yang terkandung di dalam hal-hal yang telah diputuskan pemberlakuannya. Hal itu mengikuti raghbah dan rahbah sebagai dua motif yang menghadirkan sesuatu yang berkaitan dengan pemberi kabar yang benar melalui pengabaran-pengabarannya berupa perincian janji dan ancaman.

Penghadiran ini memiliki beberapa derajat. Yang paling tinggi adalah maqām keimanan al-ḥijābī (ketertabiran), seperti kisah Ḥāritsah (22) bersama Nabi s.a.w. yang dimuat di dalam sebuah hadits. Itu adalah maqām hakikat keimanan yang di belakang dan di atasnya terdapat maqām al-‘iyān (visi berhadap-hadapan) yang berbeda tingkatan dan derajatnya. Terdapat raghbah dan rahbah yang motifnya adalah ilmu yang teguh dan persekutuan dengan pemberi kabar yang benar dalam mengawasi apa yang dikabarkannya dan tata cara menghasilkan motif-motif raghbah dan rahbah itu. Di dalam hal ini, raghbah bukan lagi menjadi raghbah pengharapan. Semata-mata ia merupakan usaha dalam memperoleh kemenangan melalui perintah yang teguh yang wajib diraih. Rahbah-nya menjadi khasyyah, bukan khawf. Sebab, khawf merupakan sifat orang yang disebutkan, seperti keadaan orang sakit yang tidak mengenal pengobatan, terhadap dokter yang diyakini kompetensi dan pengalamannya dalam pengobatan. Sementara khasyyah merupakan sifat dokter yang mengetahui bahaya makanan dan minumna, mengetahui manfaatnya, dan sebagainya. Hal ini ditunjukkan dengan firman Allah s.w.t.: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama.” (QS. Fāthir: 28).

Apabila engkau perhatikan dengan saksama apa yang telah saya jelaskan, niscaya engkau tahu bahwa al-khawf dan at-taqwā mempunyai derajat yang berbeda-beda pada orang yang memilikinya berdasarkan kekuatan menghadirkan rincian-rincian pengabaran dari Nabi dan yang berhubungan dengan itu berupa janji dan ancaman. Orang yang berani melakukan penyimpangan berarti hanya memiliki pembenaran secara garis besar, bukan pembenaran yang terperinci. Hal itu ditunjukkan dengan sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Pezina, ketika dia berzina, tidak mungkin ia orang yang beriman.” (33). Yakni, iman yang sempurna. Maksudnya, sempurnanya pembenaran bergantung pada gabungan antara pembenaran secara garis besar dan pembenaran yang terperinci. Kalau orang yang hendak menyimpang menghadirkan hukuman yang berhubungan dengan setiap perbuatan dan meyakini berlakunya hukuman itu, maka dia tidak akan melakukan penyimpangan itu; seperti dokter yang berpengalaman yang tidak akan berani memakan racun serta makanan dan minuman yang sangat berbahaya. Orang yang menyimpang hanya melakukan penyimpangan karena cacat yang ada pada kesempurnaan pembenaran atau penghadiran harapan pada ampunan, tobat, dan perbaikan diri.

Adapun isyarat pada bagian lain yang khusus berkenaan dengan roh keimanan adalah yang disebutkan Ḥāritsah (44) ketika ditanya oleh Rasūlullāh s.a.w.: “Bagaimana engkau memasuki waktu pagi, waktu Ḥāritsah?” Dia menjawab: “Saya memasuki waktu pagi dalam keadaan sebagai orang mu’min yang sebenarnya.” Maka Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya setiap kebenaran memiliki hakikat. Lalu apa hakikat keimananmu?” Makna iman, yang merupakan rohnya, terbagi ke dalam hak dan hakikat. Ketika itu Ḥāritsah berkata: “Diriku mengetahui dunia, maka sama saja bagiku emas, batu, dan lumpurnya. Seakan-akan aku memandang ‘Arsy Tuhanku yang muncul, melihat ahli surga di dalam surga yang mendapat siksaan.” Maka Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya: “Engkau telah mengetahui, maka lazimkanlah hal itu.” (55) Yakni, engkau tahu bahwa syarat sempurnanya kepercayaan itu adalah menghadirkan apa yang dikabarkan oleh Tuhan dan oleh Nabi secara khusus.

Jika engkau telah memahami apa yang saya ingatkan dalam hadits ini dan penjelasannya, niscaya engkau tahu bahwa sesudah “…. seakan-akan aku melihat ‘Arsy Tuhanku….” hanyalah sesuatu yang berada di atas tingkatan keimanan. Karena, itu merupakan ilmu yang sempurna dan kesaksian yang nyata. Hal itu ditunjukkan Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī r.a. dengan ucapannya: “Kalau tersingkap tabir, maka bertambahlah keyakinanku.” Yakni, kalau terangkat hijab yang menutupi mata dan nurani kebanyakan orang, maka bertambahkah keyakinan, karena hijab tersebut kini telah terangkat dariku. Maka maqām “…seakan-akan aku” adalah barzakh (pemisah) antara kepercayaan secara garis besar dengan penyingkapan ‘iyānī, dan ilmu syuhūdī. Karena, hal itu, seperti yang telah kami katakan, merupakan ungkapan menghadirkan rincian-rincian pengabaran yang membenarkan perkataan pemberi kabar yang dipercayai dan perumpamaan segala yang berhubungan dengannya berupa janji dan ancaman serta bagian-bagian dari keduanya yang telah disebutkan di atas. Maka pahamilah.

Jika hal ini telah jelas, maka saya katakan bahwa pada sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Wudhū’ adalah bagian dari keimanan,” maka maksud bagian dari iman adalah dalam hal bentuknya yang telah sayat tunjukkan. Karena, hal itu dari satu sisi merupakan amalan, dan dari sisi lain merupakan syarat hukum. Dan pada sabdanya: “al-Ḥamdu lillāh memenuhi timbangan”, yang dimaksud dengan timbangan (al-mīzān) adalah keseimbangan pengawasan. Sebab, jenis-jenis pujian kepada al-Ḥaqq terbatas pada dua pokok, yaitu as-salb (negatif) dan al-istbāt (positif). Penyucian hanya menghasilkan penafian, karen hal itu bukan merupakan hal-hal yang bersifat eksistensial. Maka penyucian memenuhi sesuatu, berbeda dengan sifat-sifat substantif. Al-Ḥamd, pujian dengan sifat substantif, memenuhi timbangan akal, serta dengannya sempurna burhān (bukti) dan ta‘rīf (pemberian pengetahuan). Sabdanya “Subḥānallāhi wal-ḥamdu lillāh memenuhi apa yang ada di antara langit dan bumi”, karena kedua kalimat ini mencakup kesempurnaan pujian dan pengenalan terhadap sifat-sifat dzātiyyah dan ‘aqliyyah yang pengaruh-pengaruhnya tampak di langit dan bumi, serta di antara keduanya.

Rahasia dalam sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Shalat adalah nur”, adalah bahwa orang yang menegakkan shalat menghadap dan bermunajat kepada Tuhannya. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Apabila hamba menegakkan shalat, maka Allah menghadapkan wajah-Nya kepadanya.” Allah adalah nur dan hakikat hamba adalah kegelapan. Maka jika dzat gelap dihadapkan pada dzat yang bercahaya dengan arah yang benar, maka ia memperoleh cahaya dzat yang bercahaya itu. Tidakkah engkau lihat bulan yang dzatnya merupakan benda hitam yang gelap dan licin, bagaimana ia memperoleh cahaya dari matahari dengan menghadap padanya? Bagaimana ia berbeda-beda dalam memperoleh cahaya matahari itu, berdasarkan perbedaan dalam menghadapnya. Apabila menghadapnya itu sempurna dan benar, sempurnalah pertolehan cahayanya.

Apabila engkau memikirkan apa yang saya ingatkan, niscaya engkau tahu perbedaan langkah-langkah orang-orang yang menegakkan shalat di dalam shalat mereka. Selain itu, engkau akan tahu satu sisi dari rahasia sabda Nabi s.a.w.: “Dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.” (66) Engkau pun akan tahu rahasia yang terkandung di dalam sabdanya ketika beliau memerintahkan sahabatnya untuk meluruskan barisan (shalat berjamaah): “Saya melihatmu dari belakang punggungku seperti saya melihat di hadapanku.” (77) Hal ini khusus di dalam shalat.

Tidak disebutkan bahwa hal ini terjadi di dalam segala keadaan. Melainkan hal itu hanya disebutkan ketika shalat. Maka perhatikanlah.

Hal itu merupakan berkah dari ke-shaḥīḥ-an penghadapan yang sempurna yang diperoleh karena cahaya al-Ḥaqq meratai seluruh arahnya. Jika engkau dikarunia apa yang saya sebutkan itu dan diberikan pemahaman sebagai penyingkapan yang nyata, niscaya engkau tahu rahasia firman-Nya: “Allah adalah cahaya langit dan bumi.” (QS. an-Nūr: 35).

Dan bagi-Nyalah keagungan di langit dan di bumi. Dialah Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.” (QS. al-Jātsiyah: 37).

Maka pahamilah.

Sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Sedekah adalah burhān”, rahasianya adalah bahwa sedekah merupakan bukti atas keteguhan orang yang bersedekah terhadap keberadaan akhirat dan balasan-balasan yang dicakupnya. Karena, harta itu disukai oleh jiwa yang tercelup oleh kekhususan-kekhususan tabiat. Seseorang tidak akan mendermakan hartanya selama ia tidak percaya akan memperolah manfaatnya setelah itu berupa buah dari apa yang telah didermakannya dan memperoleh penggantian. Atau, dia mendapat keselamatan dari bahaya yang mengancamnya disebabkan perbuatan yang berhubungan dengan hukuman. Dikabarkan bahwa sedekah dapat menolak kejahatan perbuatan tersebut, karena sabdanya: “Sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dapat memadamkan murka Tuhan.” Di dalam hadits lain beliau bersabda: “Takutlah pada api neraka walaupun dengan [mensedekahkan] sebiji kurma.” (88) Dan hadits-hadits lainnya yang telah disebutkan berulang-ulang.

Sabdanya: “Kesabaran adalah pancaran cahaya,” rahasianya adalah bahwa kesabaran itu menahan diri dari keluhan. Tidak diragukan bahwa menahan diri dari keluhan adalah menyakitkan jiwa. Tidak ada keraguan bagi para muḥaqqiq, melalui pengalaman yang berulang-ulang dan ilmu yang teguh, bahwa penderitaan-penderitaan jiwa dapat memadamkan nyala kekuatan tabiat dan menghidupkan kekuatan rohani yang menyebabkan pencerahan batin. Karena itu, kesabaran dijadikan sesuatu yang menghasilkan pancaran yang merupakan campuran cahaya dengan kegelapan, sebagaimana telah saya jelaskan di dalam Tafsīr Sūrah al-Fātiḥah, an-Nafḥāt-ul-Ilāhiyyah, dan Fakk Khutūm-al-Fushūsh (karya penulis). Berbeda dengan shalat yang dikatakan Rasūlullāh s.a.w.: “Shalat adalah cahaya”, karena yang saya ingatkan kepadamu adalah tentang rahasia penghadapan, peresapan, serta memberikan perumpamaan dengan matahari, sehingga yang dihasilkan dari keduanya dinamakan pancaran. Karena itu, al-Ḥaqq menamai bulan sebagai cahaya; tidak demikian dengan matahari, karena matahari menyerupai lampu besar bagi segenap karena keberadaannya sebagai suatu pancaran dari pohon yang penuh berkah yang dinafikan. Sedangkan yang disebutkan dalam ihwal kesabaran adalah pencerahan yang dihasilkan dari percampuran antara kekuatan tabiat dengan kekuatan dan sifat rohani. Menang dan kalah terjadi di antara kedua campuran itu.

Adapun sabdanya: “Al-Qur’ān adalah hujjah baik dan buruk bagimu”, maka yang dimaksud hujjah adalah dalil dan bukti keabsahan dakwaan. Oleh karena itu, orang yang beriman meyakini bahwa al-Qur’ān adalah kalam Allah, diturunkan dari sisi-Nya, dan manifestasi ilmu-Nya yang mencakup berbagai penjelasan mengenai ihwal makhluk dalam hal kedudukan mereka di sisi-Nya, mengenai bentuk-bentuk hubungan-Nya terhadap mereka, dan mengenai ihwal sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Ia juga mengembalikan penakwilan rahasia-rahasia yang tidak diketahuinya kepada-Nya. Ia juga mematuhi perintah dan larangan yang ada dalam al-Qur’ān disertai beradab dengan adab-Nya dan berakhlak dengan akhlak-Nya tanpa syak dan keraguan. Barang siapa yang ihwalnya demikian, maka al-Qur’ān menjadi hujjah dan saksi yang baik baginya. Tetapi jika ihwalnya tidak demikian, maka al-Qur’ān menjadi hujjah yang buruk baginya.

Adapun sabdanya: “Setiap manusia pergi pagi, lalu mengadaikan dirinya. Maka dia membebaskan atau membinasakannya”, di dalamnya terdapat rahasia-rahasia yang mulia. Beliau mengingatkan suatu rahasia sebagai penafsiran terhadap firman Allah s.w.t.: “Dan bagi tiap-tiap umat ada qiblatnya.” (QS. al-Baqarah: 148). Karena itu, beliau bersabda: “Setiap manusia pergi pagi.” Beliau benar karena pengkajian yang teliti memahamkan kepada kita bahwa di dalam eksistensi seseorang tidak ada perhentian. Melainkan setiap orang berjalan menuju tingkatan yang ditakdirkan al-Ḥaqq sebagai tujuannya. Tingkatannya itu bisa berupa kekurangan dan penderitaan, bisa juga berupa kebahagiaan yang merupakan kesempurnaan relatif atau kesempurnaan hakiki, dan memperoleh pengungkapan-diri yang abadi yang tidak ada hijab sesudahnya. Tidak ada yang menetap bagi orang-orang yang sempurna selain-Nya. Itulah yang ditunjukkan Rasūlullāh s.a.w. dengan sabdanya: “Sekelompok ahli surga tidak tertabir dan tidak terhijab dari Tuhan.” (99) Beliau pun menyebutkan di dalam doanya: “Dan aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu yang mulia selalu dan selamanya tanpa ada kesengsaraan yang membahayakan dan tidak ada fitnah yang menyesatkan.” (1010).

Kesengsaraan yang membahayakan adalah memperoleh hijab setelah tampak, atau tampak dengan sifat yang menyebabkan terlepasnya hijab. Sementara fitnah yang menyesatkan adalah setiap keraguan yang menyebabkan cacat dan kekurangan dalam ilmu dan syuhūd (kesaksian). Sabdanya: “maka dia menggadaikan dirinya” adalah yang ditimbulkan di dalam perjalanannya ke tujuan yang merupakan hasil kekuatan roh dan akibat zamannya, serta ihwalnya, sifat-sifatnya, perbuatan-perbuatannya, dan perkembangan di dalam penciptaannya. Kalau diperoleh keutamaan dan sampai pada kesempurnaan relatif dalam beberapa derajat kebahagiaan atau sampai pada kesempurnaan hakiki tersebut, maka dia telah membebaskan dirinya dari jurang kebinasaan, dari penjara belenggu imkāniyyah, dan dari hijab kegelapan. Maka dia dicerahkan dengan ilmu yang teguh dan amal saleh yang menghasilkan kebaikan yang didamba. Kalau tercegah apa yang saya sebutkan, maka dia membinasakan dirinya. Dia menyia-nyiakan umur dan ilmunya. Maka dia gagal dan merugi. Kita memohon kepada Allah perlindungan dan kesehatan bagi kita dan bagi semua saudara kita. Amin.

Inilah makna hadits yang komprehensif ini. Maka kajilah dan teruslah memperhatikannya sehingga engkau dapat memandang selintas apa yang dikandungnya berupa ilmu, rahasia, dan nasihat. Niscaya engkau memperoleh ilmu yang lain, in syā’ Allāh.

Catatan:

  1. 1). Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab ath-Thahārah, hal. 1; at-Tirmidzī di dalam bab ad-Da‘wāt, hal. 86; ad-Dārimī di dalam bab al-Wudhū’, hal. 2; dan Ibn Ḥanbal, IV/260, V/342-344 dan 370.
  2. 2). Ḥāritsah bin Mālik al-Anshārī.
  3. 3). Diriwayatkan oleh Ibn Mājah di dalam bab al-Fitan, hal. 3.
  4. 4). Diriwayatkan oleh ath-Thabrānī dan Abū Na‘īm. Lihat Kanz-ul-‘Ummāl karya al-Hindī, jilid XII, hal. 351.
  5. 5). Diriwayatkan oleh at-Tirmidzī dengan berbagai redaksi di dalam bab al-Adab, hal. 78.
  6. 6). Diriwayatkan oleh an-Nasā’ī di dalam bab an-Nisā’, hal. 1 dan Ibn Ḥanbal, III/128, 199 dan 285.
  7. 7). Diriwayatkan oleh Ibn Ḥanbal, II/309 dan 505.
  8. 8). Diriwayatkan oleh al-Bukhārī di dalam bab az-Zakāh dan bab-babnya yang lain; Muslim di dalam bab az-Zakāh, hal. 68; an-Nasā’ī di dalam bab az-Zakāh, hal. 63; ad-Dārimī di dalam bab az-Zakāh, hal. 23; dan Ibn Ḥanbal, IV/256, 258 dan 259.
  9. 9). Saya tidak menemukannya di dalam sumber-sember rujukan.
  10. 10). Diriwayatkan oleh an-Nisā’ī di dalam bab as-Sahw, hal. 62 dan Ibn Ḥanbal, V/191.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *