HADITS PERTAMA
(Thaharah dan Rahasia-rahasianya)
Diriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Rasūlullāh s.a.w. bahwa beberapa sahabat mengadukan kepadanya ihwal kefakiran dan sedikitnya harta. Maka Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Biasakanlah selalu dalam keadaan suci (dari hadats), niscaya diluaskan rezeki bagimu.” (11)
Ketahuilah bahwa hadits ini, walaupun bentuknya pendek, merangkum berbagai pengertian. Di dalamnya terkandung berbagai masalah dan rahasia yang agung dan penting. Namun pemahamannya bergantung – setelah taufiq dari Allah s.w.t. – pada beberapa muqaddimah (pendahuluan) agar dapat terungkap maknanya. Dengan pendahuluan itu, akan tersingkap tujuan yang agung ini. Kemudian kami akan sebutkan hal-hal yang menjelaskan makna-makna lain dari hadits ini, in syā’ Allāh.
Muqaddimah Pertama
Ketahuilah, bahwa baik kesucian maupun kenajisan (kekotoran), dari satu sisi, terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
Pertama, ghayr maj‘ūl. Artinya, hal itu tidak didahului usaha dan kesungguhan. Tidak ada faedah pada perintah, wasiat, dan anjuran agar berhias dengannya, atau larangan dari mengotori atau bersuci, serta menjaga diri dari keterlibatan di dalamnya.
Kedua, wujūdiyyah maj‘ūlah. Yaitu, hal tersebut berkaitan dengan perintah dan larangan. Di dalam hal ini, wasiat dan anjuran mendatangkan faedah. Selain itu, hal tersebut dapat diperoleh dengan usaha dan kesungguhan. Maka pahamilah.
Selanjutnya saya akan ungkapkan hal itu secara terperinci, in syā’ Allāh.
Muqaddimah Kedua.
Ketahuilah bahwa al-Ḥaqq s.w.t. adalah Yang Maha Pemurah secara mutlak. Dia bermurah hati secara langgeng kepada binatang-binatang tanpa kebakhilan dan tanpa meminta ganti. Dia tidak mengkhususkan pemberian-Nya kepada suatu kelompok saja dengan pengkhususan yang menyiratkan pencegahan dan halangan terhadap yang lain. Dia pun bermurah hati kepada seluruh makhluk yang menerima pancaran dzat dan nama-Nya menurut kadar kesiapan mereka yang ghayr maj‘ūl. Dengannya, terlebih dahulu mereka menerima eksistensi dari-Nya ketika mereka menyelami ilmu-Nya. Mereka pun menerima karunia-karuniaNya menurut kesiapan mereka yang wujūdiyyah maj‘ūlah karena kesucian batin dan lahir mereka.
Yang saya maksudkan dengan wujūdiyyah adalah kesucian yang dikhususkan melalui kesiapan yang menyebabkan diterimanya eksistensi (wujūd) dari al-Ḥaqq secara sempurna. Hal itu merupakan hakikat penerima dalam sebagian besar kemampuan dan kekuatannya yang sesuai dengan hakikat tersebut untuk menghadirkan keesaan Ilahi. Keesaan Ilahi inilah yang menjadi sumber kemurahan kepada semua pihak yang dapat menerima wujūd-Nya. Itulah kesucian asli yang saya katakan sebagai ghayr maj‘ūl. Kebalikannya adalah kekotoran ghayr maj‘ūl, juga yang menuntut penerimaan kemurahan Ilahi, namun tidak secara sempurna. Ia berubah dari kesucian Ilahi yang semestinya disebabkan oleh berbagai aḥkām imkāniyyah (pengaruh-pengaruh yang bersifat mungkin) dan perantara-perantara khusus. Adapun tingkatan kekotoran yang merupakan lawan kesucian tersebut adalah salah satu dari dua aspek kemampuan yang diikuti ketiadaan (al-‘adam). Itulah asalnya. Kami katakan, sebab-sebab kekotoran adalah penguasaan pengaruh yang bersifat mungkin, banyaknya hal itu, dan karakteristik perantara-perantara yang bersifat mungkin yang ada antara al-Ḥaqq Pemberi Eksistensi s.w.t. dan penerima kemurahan-Nya, sebagaimana telah dijelaskan. Maka pahamilah.
Ini termasuk tingkatan kekotoran yang merupakan lawan dari kesucian tersebut. Kemudian, ketahuilah bahwa sedikitnya perantara dan pengaruh imkāniyyah dapat menyebabkan kesucian dan jalinan dengan kehadiran Tuhan. Maka hal itu menyebabkan limpahan karunia Ilahi secara sempurna, sebagaimana telah dijelaskan. Karena itu, banyak dan kuatnya pengaruh eksistensi yang bersifat mungkin serta perantara-perantara khususnya yang merupakan najis maknawi pada setiap makhluk menyebabkan berkurangnya penerimaan. Hal itu pun dapat mengubah limpahan suci yang telah diterima yang dapat mengeluarkannya dari kesucian aslinya. Kesucian dan kekotoran yang terdapat pada maujūd, masing-masing memiliki banyak pengaruh yang dihasilkan. Pertama, di dalam tingkatan-tingkatannya. Kedua, di dalam penampakan diri (mazhhar) eksistensi dalam bentuk dan rohnya. Itu merupakan percampuran-percampuran melalui berbagai cara. Darinya dihasilkan dominasi dan kelemahan yang menuntut penyifatan sesuatu yang disifati dengan salah satu dari keduanya. Demikian pula pengaruhnya di dalam syariat. Jika ini sudah jelas, maka kembali saya katakan: berlimpah dan berkurangnya bagian dari karunia-Nya s.w.t., dzātiyyah dan asmā’iyyah, kembali pada sempurna dan tidak sempurnanya kesiapan si penerima. Kesempurnaan dan ketidaksempurnaannya dinyatakan dengan kesucian dan kekotoran tersebut, tiada lain. Itu disepakati oleh para penegas kebenaran (muḥaqqiq).
Saya telah bentangkan penjelasan dan penetapannya pada banyak tempat dari karya-karya saya. Sejumlah pemuka sufi dan orang-orang pilihan Allah telah menjelaskannya pula di dalam buku-buku mereka. Hal itu ditunjukkan dalam riwayat yang disampaikan kepada kita oleh Rasūlullāh s.a.w. dari Tuhannya dengan sabdanya di akhir hadits: “Maka barang siapa yang mendapati bukan demikian, maka janganlah mencela selain dirinya.” (22) Dan, sabda Rasūlullāh yang ditujukan kepada Tuhannya: “Kebaikan itu semuanya adalah dengan kekuasaan-Mu.” (33) Semua itu dikuatkan dengan firman Allah s.w.t.: “Apa saja kenikmatan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu adalah dari [kesalahan] dirimu sendiri.” (Qs. an-Nisā’: 79). Juga penegasan lain yang berulang kali ditunjukkan di dalam al-Qur’ān dan Sunnah serta dipahami oleh akal yang tercerahkan, dzauq yang shaḥīḥ, dan roh yang memberikan eksistensi, bahwa di antara yang disepakati oleh akal, syara‘, dan kasyaf, adalah bahwa alam arwah lebih dahulu ada dibandingkan alam fisik. Alam fisik itu sendiri diciptakan oleh Allah s.w.t. dengan perantaraan dan mengikuti alam arwah dalam hal sifat dan hukum, seperti mengikutinya dalam menerima eksistensi dari keberadaan al-Ḥaqq. Alam fisik, dari satu sisi, adalah seperti naungan bagi alam arwah. Maka ketahuilah hal itu. Karena saya telah sebutkan muqaddimah-muqaddimah ini, maka saya kembali pada muqaddimah pertama.
Di atas telah disebutkan awal martabat kesucian dan kekotoran makanan serta hukum-hukumnya yang tidak didahului usaha dan kesungguhan. Di sini saya akan sebutkan martabat, derajat, dan penampakan kesucian dan kekotoran yang lain, yang lahir dan batin, yang disyariatkan, yang rasional, yang diberi kasyf, dan dipersaksikan oleh al-Ḥaqq. Selama kesucian dan kekotoran, penampakan dan derajatnya belum diketahui, maka belum dapat diketahui juga tatacara berhias dengan kesucian, serta melanggengkan dan menjaganya – setelah berhias dengannya – dari dikotori berbagai najis, baik lahir maupun batin. Tatacara menghilangkan najis yang ada secara lahir dan batin juga tidak dapat diketahui apabila manusia belum mengetahui apa yang saya sebutkan. Sehingga, dia tidak mungkin mendapat manfaat dari wasiat Nabi dan mengamalkannya. Secara garis besar, saya katakan: Semua dosa adalah najis batin, walaupun sebagiannya secara khusus melampaui batin menuju lahir, sebagaimana ditunjukkan Rasūlullāh s.a.w. dengan sabdanya: “Sesungguhnya seorang hamba mengharamkan rezeki dengan dosa yang dilakukannya.” (44).
Hadits ini pun memiliki rahasia lain. Yaitu, bahwa pengharaman kadang-kadang berkaitan dengan rezeki maknawi dan rohani, dan kadang-kadang pengharaman itu dari rezeki lahir yang terindera.
Kemudian saya katakan: Semua ketaatan adalah penyuci. Kadang-kadang hal itu terjadi dengan cara penghapusan, yang ditunjukkan dengan firman Allah s.w.t.: “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan [dosa] perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Qs. Hūd: 114) dan sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, karena [perbuatan baik] menghapus perbuatan buruk.” (55) Kadang-kadang penyucian itu dilakukan dengan cara penggantian, yang ditunjukkan dengan firman Allah s.w.t.: “Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh. Maka kejahatan mereka diganti dengan kebajikan.” (Qs. al-Furqān: 70). Penghapusan tersebut merupakan hakikat dari pemaafan, sementara penggantian merupakan hakikat dari pengampunan. Jika engkau perhatikan apa yang saya jelaskan, niscaya engkau tahu perbedaan antara pemaafan dan pengampunan.
Catatan: