2-2 Adab Pembaca Al-Qur’an – Adab Pemangku Al-Qur’an

ADAB PEMANGKU AL-QUR’ĀN
Oleh: Syaikh ‘Ali bin Muhammad ad-Diba‘i al-Mishri

Penerjemah: Drs. Rasyid Ridho
Penerbit: Gunung Jati Jarkata

Rangkaian Pos: Adab Pembaca al-Qur’ān | Syaikh ‘Ali bin Muhammad ad-Diba‘i al-Mishri

آدَابُ الْقَارِئِ

Adab Pembaca al-Qur’ān

(Bagian 2 dari 3)

 

وَ يُيسَنُّ أَنْ يَخْلُوَ بِقِرَاءَتِهِ حَتَّى لَا يَقْطَعَ عَلَيْهِ أَحَدٌ بِكَلَامٍ فَيَخْلِطَهُ بِجَوَابِهِ.

23. Disunnahkan menyendiri ketika membaca, dengan demikian seseorang tidak memutuskannya (mengganggu) dengan perkataan, sehingga terganggu lantaran menjawabnya.

وَ إِذَا مَرَّ بِأَحَدٍ وَ هُوَ يَقْرَأُ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ قَطْعُ الْقِرَاءَةِ لِيُسَلِّمَ عَلَيْهِ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهَا وَ لَوْ أَعَادَ التَّعَوُّذَ كَانَ حَسَنًا.

24. Apabila dia melewati orang lain padahal dia sedang membaca al-Qur’ān, maka disunnahkan memutuskan bacaan untuk memberi salam, kemudian membaca kembali, dan baik sekali jika dia mengulangi ta‘awwudz.

وَ يَقْطَعُهَا لِرَدِّ السَّلَامِ وُجُوْبًا، وَ لِلْحَمْدِ بَعْدَ الْعَطَاسِ، وَ لِلتَّشْمِيْتِ، وَ لِلْإِجَابَةِ الْمُؤَذِّنِ نَدْبًا.

25. Wajib memutuskan bacaan untuk menjawab salam, dan sunnah memutuskannya untuk mengucap “Alḥamdulillāh” setelah bersin (bangkis) mendoakan orang yang bersin dan menjawab adzan.

وَ إِذَا وَرَدَ عَلَيْهِ مَنْ فِيْهِ فَضِيْلَةٌ مِنْ عِلْمٍ أَوْ صَلَاحٍ أَوْ شَرَفٍ فَلَا بَأْسَ بِالْقِيَامِ لَهُ عَلَى سَبِيْلِ الْإِكْرَامِ، وَ لَا لِلرَّيَاءِ، بَلْ ذلِكَ مُسْتَحَبٌّ.

26. Apabila datang kepadanya seorang alim atau shaleh atau orang mulia, maka tidak mengapa untuk berdiri karena menghormatinya, bahkan dianjurkan, bukan berdiri karena riya’.

وَ يُسَنُّ أَنْ يَقْرَأَ عَلَى تَرْتِيْبِ الْمُصْحَفِ لِأَنَّ تَرْتِيْبَهُ لِحِكْمَةٍ فَلَا يَتْرُكُهَا إِلَّا فِيْمَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِاسْتِثْنَائِهِ فَلَوْ فَرَّقَ السُّوَرَ أَوْ عَكَسَهَا كَمَا فِيْ تَعْلِيْمِ الصِّغَارِ جَازَ وَ قَدْ تَرَكَ الْأَفْضَلَ. وَ أَمَّا قِرَاءَةُ السُّوْرَةِ مَنْكُوْسَةً فَمُتَّفَقٌّ عَلَى مَنْعِهِ.

27. Disunnahkan membaca berdasarkan tertib mushḥaf, karena tertib ini mengandung hikmah, hal ini jangan ditinggalkan kecuali ada nash (keterangan) syara‘ yang mengecualikannya (tidak tertib), boleh membaca dengan memisah-misahkan surat (1) atau membaliknya. Seperti mengajarkan anak kecil (2), tetapi cara ini meninggalkan yang lebih utama (tertib ayat), adapun membaca surat secara terbalik (menyungsang) dari ayat terakhir mundur ke ayat sebelumnya) dilarang berdasarkan kesepakatan ulama (3)

1). Berpindah-pindah secara acak dari satu surat ke surat lain.
2). Seperti memulai membaca surat an-Nās, lalu al-‘Alaq dan al-Ikhlāsh.
3). Memulai dari (الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ) lalu membaca (الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ)

وَ يُكْرَهُ خَلْطُ سُوْرَةٍ بِسُوْرَةٍ، وَ الْتِقَاطُ آيَةٍ أَوْ آيَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ كُلِّ سُوْرَةٍ مَعَ تَرْكِ قِرَاءَةِ بَاقِيْهَا.

28. Makruh mencampur-adukan satu surat dengan surat yang lain (1), dan mengambil satu ayat, dua, atau lebih dari setiap surat tanpa membaca sisa ayat yang masih tersisa.

1). Seperti mencampur surat adh-Dhuḥā dengan al-Insyiraḥ tanpa menuntaskan bacaan keduanya.

وَ إِذَا ابْتَدَأَ مِنْ وَسَطِ سُوْرَةٍ أَوْ وَقَفَ عَلَى غَيْرِ آخِرِهَا فَلْيَبْدَأْ مِنْ أَوَّلِ الْكَلَامِ الْمُرْتَبِطِ بَعْضُهُ بَعْضًا، وَ لْيَقِفْ عَلَى الْكَلَامِ الْمُرْتَبِطِ وَ لَا يَتَقَيَّدُ بِعُشْرٍ وَ لَا حِزْبٍ.

29. Apabila seseorang mulai dari pertengahan surat (umpama pertengahan surat al-Baqarah), atau berhenti bukan di akhir surat, maka hendaknya dia memulai dari awal bacaan yang masih terkait sebagian dengan yang lainnya (ayat sebelum dan sesudahnya), atau apabila berhenti bukan diakhir surat, hendaknya berhenti pada bacaan yang masih terkait dengan ayat sebelumnya (waqaf tamm) dan tidak membatasi bacaan tersebut hanya pada batas-batas dan bagian tertentu. (1)

1). Seperti hanya membaca dari tanda huruf (ع) ke huruf (ع) berikutnya.

وَ الْقِرَاءَةُ فِي الْمُصْحَفِ أَفْضَلُ مِنْهَا عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ، لِأَنَّهُ يَجْمَعُ الْقِرَاءَةَ وَ النَّظَرَ فِي الْمُصْحَفِ وَ هُوَ عِبَادَةٌ أُخْرَى نَعَمْ إِنْ زَادَ خُشُوْعُهُ وَ حُضُوْرُ قَلْبِهِ فِيْ قِرَاءَتِهِ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ فَهِيَ أَفْضَلُ فِيْ حَقِّهِ، قَالَهُ الْإِمَامُ النَّوَوِيُّ تَفَقُّهَا وَ هُوَ حَسَنٌ.

30. Membaca al-Qur’ān dengan mushḥaf lebih utama daripada membaca dengan hafalan, karena membaca melalui mushhaf mencakup bacaan itu sendiri dan sekaligus melihat mushḥaf, yang merupakan bentuk ibadah tersendiri, tetapi apabila kekusyu‘an dan penghayatan hati bertambah dengan cara membaca melalui hafalan, itu lebih utama untuknya. Hal ini berdasarkan pemahaman Imām Nawawī, dan menurut beliau cara ini baik.

وَ لَا تَحْتَاجُ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ إِلَى نِيَّةٍ كَسَائِرِ الْأَذْكَارِ إِلَّا إِذَا نَذَرَهَا فَلَا بُدَّ مِنْ نِيَّةِ النَّذْرِ وَ تُسْتَحَبُّ قِرَاءَةُ الْجَمَاعَةِ مُجْتَمِعِيْنَ سَوَاءٌ كَانَتْ مُدَارَسَةً أَوْ إِرَادَةً.

31. Membaca al-Qur’ān tidak perlu niat, seperti halnya bentuk dzikir-dzikir yang lain, kecuali kalau dinadzarkan, maka wajib niat nadzar, disunnahkan membaca al-Qur’ān berkelompok, baik ketika belajar atau bergiliran.

وَ تَجُوْزُ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالْقِرَاءَاتِ الْمُجْمَعِ عَلَى تَوَاتُرِهَا دُوْنَ الرِّوَايَاتِ الشَّاذَّةِ وَ مَنْ قَرَأَ بِالشَّاذَّةِ يَجِبُ تَعْرِيْفُهُ بِتَحْرِيْمِهَا كَمَا عَلَيْهِ الْجُمْهُوْرُ إِنْ كَانَ جَاهِلًا وَ تَعْزِيْرُهُ وَ مَنْعُهُ مِنْهَا إِنْ كَانَ عَالِمًا.

32. Boleh membaca al-Qur’ān dengan qira’at mutawatir yang disepakati (1), tidak boleh dengan riwayat-riwayat yang syādzdz (yang tidak shaḥīḥ sanadnya) (2), menurut jumhur ulama (mayoritas) apabila seorang jāhil (awam) membaca qira’at syādzdz, wajib diberitahu keharamannya, bila seorang alim yang melakukannya, maka wajib di-ta‘zīr (3)

1). Yaitu bacaan: Abū ‘Amr, Nāfi‘, Hamzah, al-Kisā’i, Ibnu ‘Āmir, dan Ibnu Katsīr.
2). Contoh Qira’at Syādzdz (مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ)
3). Hukuman yang mendidik di bawah hukuman had.

إِذَا ابْتَدَأَ قَارِئٌ بِقِرَاءَةِ أَحَدِ الْقُرَّاءِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يَسْتَمِرَّ عَلَى الْقِرَاءَةِ بِهَا مَا دَامَ الْكَلَامُ مُرْتَبِطًا. فَإِذَا انْقَضَى اِرْتِبَاطُهُ فَلَهُ أَنْ يَقْرَأَ بِغَيْرِهَا وَ الْأَوْلَى دَوَامُهُ عَلَى الْأُوْلَى فِيْ هذَا الْمَجْلِسِ.

33. Apabila Qārī memulai dengan salah satu bacaan imam qira’at, maka seyogyanya qira’at itu dilanjutkan saja, selama masih ada keterkaitan ayat. Dan jika sudah tidak ada keterkaitan ayat, dibolehkan membaca dengan qira’at yang lain, dan yang lebih utama tetap membaca qira’at yang pertama pada majlis tersebut.

وَ لَا تَجُوْزُ الْقِرَاءَةُ بِالْعَجَمِيَّةِ مُطْلَقًا كَمَا لَا تَجُوْزُ بِجَمْعِ الْقِرَاءَاتِ فِيْ مَحَافِلِ الْعَامَّةِ دُوْنَ الْعَرْضِ عَلَى الشُّيُوْخِ مَعَا مَا فِيْهِ.

34. Tidak boleh membaca al-Qur’ān melalui tulisan selain ‘Arab (seperti tulisan latin) secara mutlak, sebagaimana tidak boleh menggabungkan beberapa qira’at pada tempat-tempat perkumpulan umum, tetapi boleh memperlihatkannya di depan guru.

وَ تُسْتَحَبُّ الْقِرَاءَةُ بِالتَّرْتِيْلِ وَ تَحْسِيْنِ الصَّوْتِ بِشَرْطِ أَنْ لَا تَخْرُجَ عَنْ حُدُوْدِ الْوَاجِبِ شَرْعًا مِنْ إِخْرَاجِ كُلِّ حَرْفٍ مِنْ مَخْرَجِهِ مُوَفَّ حَقُّهُ وَ مُسْتَحَقُّهُ وَ إِلَّا كُرِهَتْ.

35. Dianjurkan membaca dengan tartīl (perlahan-lahan) dan suara yang indah dengan syarat bacaan tersebut tidak keluar dari batasan yang wajib menurut syara‘ (tidak menyalahi aturan atau tajwid) yaitu mengeluarkan setiap huruf dari tempatnya di samping memenuhi hak dan kelayakan huruf (seperti huruf hams) jika tidak terpenuhi, maka makruh.

وَ تُكْرَهُ بِالْإِفْرَاطِ فِي الْإِسْرَاعِ مُطْلَقًا، وَ تُسْتَحَبُّ الْقِرَاءَةُ أَيْضًا بِالتَّدَبُّرِ وَ التَّفَهُّمِ بِأَنْ يُشْغِلَ الْقَارِئُ قَلْبَهُ بِالتَّفَكُّرِ فِيْ مَعْنًى مَا يَلْفِظُ بِهِ فَيَعْرِفُ مَعْنَى كُلِّ آيَةٍ، وَ يَتَأَمَّلُ الْأَوَامِرَ وَ النَّوَاهِيَ، وَ يَعْتَقِدُ قَبُوْلَ ذلِكَ.

36. Makruh secara mutlak membaca al-Qur’ān terlalu cepat, juga dianjurkan (sunnah) membaca sambil merenung dan mencari tahu dengan mengkonsentrasikan hatinya untuk memikirkan makna yang diucap, sehingga dapat diketahui makna tiap-tiap ayat, mengamati segala perintah dan larangan dan meyakini untuk menerima semua itu.

وَ إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيْهَا ذُكِرَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَلَّى عَلَيْهِ سَوَاءٌ الْقَارِئُ وَ الْمُسْتَمِعُ، وَ يَتَأَكَّدُ ذلِكَ عِنْدَ قَوْلَهِ تَعَالَى: إِنَّ اللهَ وَ مَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا (الأحزاب: 57)

37. Sunnah apabila melewati ayat yang disebut nama Muḥammad s.a.w., untuk bershalawat kepadanya, baik yang membaca atau yang mu’akkad bershalawat, dalam firman Allah: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi, hai orang-orang beriman, bershalawatlah dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.

وَ لَا بَأْسَ بِتَكْرِيْرِ الْآيَةِ وَ تَرْدِيْدِهَا حَتَّى يَتِمَّ لَهُ ذلَكَ. فَإِنْ كَانَ مِمَّا قَصَّرَ عَنْهُ مِمَّا مَضَى اِعْتَذَرَ وَ اسْتَغْفَرَ.

38. Tidak mengapa mengulang-ulang ayat, sehingga bacaan itu sempurna, bila dia teledor membacanya, hendaknya minta ampun.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *