Taj-ul-‘Arus: Singkirkan Ilmu Yang Disukai Nafsu

Dari Buku: Tāj-ul-‘Arūs
(Pelatihan Lengkap Mendidik Jiwa)
Oleh: Ibnu ‘Atha’illah (Penulis al-Hikam)

Penerjemah: Fauzi Faisal Bahreisy
(Disertai Ulasan oleh: Dr. Muhammad Najdat)
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Taj-ul-‘Arus - Bab Tentang Ilmu | Ibnu ‘Atha’illah

❀ Diketik oleh: al-Marhumah: Ibu Rini ❀

 

ILMU YANG BERMANFAAT

Singkirkan Ilmu yang Disukai Nafsu

Ibnu Athaillah berkata, “Singkirkan segala ilmu yang didahului lintasan, diikuti berbagai gambaran, disenangi nafsu, dan dinikmati jiwa meskipun ilmu tersebut mengandung kebenaran. Raihlah ilmu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Ikutilah beliau, para khulafa sesudah beliau, para sahabat, tabiin sesudah mereka, para pemberi petunjuk kepada Allah, serta para imam yang terbebas dari nafsu. Dengan begitu, kau akan selamat dari segala keraguan, prasangka, ilusi, bisikan, dan pengakuan dusta yang menyesatkan dari petunjuk dan hakikatnya.”

Nabi saw. bersabda, Ulama adalah pewaris para nabi. (8071) Mereka mewarisi ilmu Nabi saw. dan apa yang diikuti oleh para khulafa, sahabat, dan tabiin sesudah beliau. Ilmu yang wajib dimiliki setiap muslim adalah ilmu tauhid untuk mengetahui zat, sifat Allah, ilmu fikih untuk mengetahui perihal ibadah, halal dan haram, serta ilmu tentang kondisi dan kedudukan hamba di hadapan Allah. Semua itu bisa didapatkan lewat Al-Quran, sunnah, ijmak dan qiyas.

Ilmu yang menjadi fardhu kifayah adalah ilmu yang harus dimiliki untuk menegakkan urusan dunia, seperti kedokteran, matematika, teknik, dan seterusnya.

Adapun ilmu yang tercela adalah ilmu sihir, ramal, perbintangan, dan sejenisnya.

Kesimpulan, buanglah setiap ilmu duniawi yang bisa melalaikanmu dari akhirat. Jadikan niat dan tujuanmu pada setiap aktifitas berupa rida Allah. Hanya itulah yang seharusnya dituju dan diperjuangkan oleh setiap muslim. Kecenderungan kepada berbagai hal duniawi akan membahayakan agama dan menyebabkan berbagai keburukan di dunia dan akhirat.

Jenis-Jenis Ilmu Bermanfaat

Ibnu Athaillah berkata, “Cukuplah bagimu menuntut ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu tentang keesaan Allah, termasuk di dalamnya ilmu tentang kecintaan kepada Allah, kecintaan kepada Rasul-Nya, kecintaan kepada sahabat, dan keyakinan bahwa kebenaran ada bersama jamaah. Jika kau ingin mendapat bagian dari apa yang diberikan kepada para wali Allah, hendaklah kau hanya menemani orang yang menunjukkanmu kepada Allah, baik dengan petunjuk yang benar atau dengan amal yang kokoh yang sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. Arahkah perhatianmu kepada Tuhan dan sibukkanlah dirimu dengan Allah, bukan dengan yang lain.”

Dalam salah satu hikmahnya, Ibnu Athaillah berkata, “Ilmu yang bermanfaat adalah yang cahayanya terhampar di dada dan tirainya tersingkap dari hati.”

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu tentang Allah berikut sifat dan nama-Nya, serta ilmu tentang cara beribadah dan ilmu tentang adab kepada-Nya. Inilah ilmu yang cahayanya terhampar di dada sehingga menjadi lapang dan menerima Islam. Ilmu itu pun menyingkapkan tirai dari hati sehingga semua keraguan dan ilusi terangkat hilang. (8082)

Di antara ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menumbuhkan cinta kepada Allah dan Rasulullah saw. Ilmu jenis ini wajib dimiliki setiap muslim. Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’” (8093) Dan Dia juga berfirman, “Orang beriman lebih besar cintanya kepada Allah.” (8104)

Nabi saw. bersabda, Cintailah Allah karena Dia telah memberikan berbagai nikmat-Nya kepada kalian. Cintailah diriku lewat cinta Allah. Lalu, cintai keluargaku lewat cintaku (kepada mereka). (8115)

Seorang muslim wajib mengetahui keutamaan cinta itu berikut dampaknya. Nabi saw. telah memberikan kabar gembira kepada para pecinta bahwa mereka akan bersama orang yang dicinta. Anas r.a. meriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Nabi saw., Kapan kiamat tiba, wahai Rasulullah?”

“Apa yang telah kau persiapkan untuknya?” beliau balik bertanya.

Orang itu menjawab, “Aku tidak menyiapkan banyak shalat, puasa dan sedekah. Tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.”

Rasulullah berujar,”Kau akan bersama orang yang kau cinta.”

Anas berkomentar, “Kami juga demikian?”

“Ya,” jawab Rasulullah saw.

“Maka kami sangat bergembira,tutur Anas. (8126)

Kita juga mesti mencintai para sahabat karena mereka telah mencapai puncak kesempurnaan iman, akhlak, dan pengorbanan berkat cinta mereka kepada Allah dan Rasulullah. Nikmatnya cinta membuat mereka lupa kepada pahit dan beratnya ujian. Dorongan cinta membuat mereka mau mengorbankan jiwa, harta, waktu, dan segala yang berharga demi Dia yang cinta dengan harapan mereka akan mendapat rida dan cinta-Nya. Bagaimana mungkin kita tidak mencintai mereka sementara mereka telah mempersembahkan keutamaan dan kemenangan untuk Islam?!

Ilmu lainnya yang bermanfaat adalah keyakinan bahwa kebenaran bersama jamaah. Nabi saw. bersabda, Umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan. (8137) Kesepakatan atau ijmak merupakan sumber ketiga di antara sumber-sumber syariat.

Dengan penjelasan ini, berakhirlah pembahasan tentang hakikat ilmu yang bermanfaat bagi pemiliknya.

Tunaikanlah Amanah

Ibnu Athaillah berkata, “Orang yang menyimpan amanah bagaikan budak seorang raja. Ia tidak merasa memiliki apa-apa di hadapan majikannya. Ia juga tidak bersandar kepada apa yang di tangannya. Ia hanya memilih apa yang dipilihkan majikannya. Jika si budak tahu bahwa menyimpan sesuatu akan membuat majikannya senang maka ia akan menyimpannya untuk majikannya, bukan untuk dirinya. Kelak ia akan mengeluarkannya sesuai dengan perintah majikan. Jadi, ia pun mengeluarkannya bukan untuk dirinya, melainkan untuk majikannya. Seperti itulah keadaan orang yang mengenal Allah. Mereka mengeluarkan dan menyimpan harta karena Allah. Satu-satunya yang mereka cari dan mereka harapkan adalah rida Allah. Tindakan mereka dalam mengeluarkan dan menyimpan harta ditujukan untuk Allah. Mereka adalah para penyimpan yang amanah, hamba yang mulia, dan orang yang terhormat. Allah membebaskan mereka dari penghambaan kepada makhluk sehingga mereka tidak mau mencintai makhluk dan tidak mendekatinya dengan perasaan suka. Mereka bersikap seperti itu karena hati mereka telah dipenuhi cinta kepada Allah dan dada mereka dipenuhi keagungan-Nya. Karena itu segala sesuatu hanya berada di tangan mereka. Sebelum sampai kepada mereka, segala sesuatu berada dalam khazanah Allah. Mereka menyadari bahwa Allah yang memiliki mereka sekaligus memiliki apa yang diamanahkan kepada mereka.”

Ibn al-Qayyim berkata, “Jika kau melatih anjingmu, niscaya ia akan meninggalkan syahwatnya untuk makan hewan yang diburunya karena ia menghormatimu dan takut akan murkamu. Sama halnya, pengajar syariat juga telah mendidikmu, tetapi kau tidak mematuhinya. Dia mengharamkan buruan orang yang bodoh dan yang menggenggam untuk dirinya, apalagi orang yang beramal untuk hawa nafsunya.” (8148)

Harta yang kita miliki adalah milik Allah. Rezeki yang kita dapatkan juga merupakan rezeki Allah. Allah memerintahkan kita untuk mengeluarkan harta di jalan yang halal. Siapa yang memahami hal itu tidak akan mengeluarkan harta kecuali pada sesuatu yang diridai Allah. Dan ketika ia tidak mengeluarkannya, ia melakukannya karena takut kepada Allah. Mereka adalah penyimpan amanah. Nabi saw. bersabda, Siapa yang memberi karena Allah, menahan karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah maka telah sempurna imannya. (8159)

Makna “Bersihkan bajumu!”

Ibnu Athaillah berkata, “Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili r.a. berujar, ‘Seseorang berkata kepadaku, “Hai Ali, bersihkan bajumu dari kotoran, pasti pada setiap tarikan napas akan dijaga dengan pertolongan Allah.”

“Baju apakah?”

Ia menjawab, “Allah telah memberimu pakaian makrifat, kemudian pakaian tauhid, pakaian cinta, pakaian iman, dan pakaian islam. Barang siapa mengenal Allah, segala sesuatu menjadi kecil dalam pandangannya. Barang siapa mencintai Allah, segala sesuatu menjadi remeh baginya. Barang siapa mengesakan Allah, ia tidak akan menyekutukan-Nya dengan segala sesuatu. Barang siapa beriman kepada Allah, ia akan selamat dari segala sesuatu. Barang siapa yang patuh kepada Allah, ia akan sulit bermaksiat. Kalaupun bermaksiat, pasti ia segera memohon ampunan. Dan kalau meminta ampunan, niscaya diterima. “Dari sana aku memahami firman Allah yang berbunyi, “Bersihkan bajumu!” (81610)

Jika kita mencari tafsir ayat di atas dalam berbagai kitab tafsir, kita akan menemukan bahwa ayat itu memiliki tafsir lahiriah dan batiniah. Tafsir lahiriahnya adalah bahwa Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk membersihkan pakaiannya dari segala najis dan kotoran. Sebab, seorang mukmin harus tampil baik dan bersih, tidak pantas membawa kotoran.

Sementara, berkaitan dengan tafsir batiniahnya, Ibn Abbas berkata, “Baju adalah kiasan dari hati. Jadi, ayat itu maknanya bersihkan hatimu dari dosa dan maksiat.” Untuk menguatkan tafsiran tersebut, Ibn Abbas menutip ungkapan Ghaylan:

Alhamdulillah aku tak memakai pakaian pendosa. Dan aku pun tidak berhias dengan sikap khianat.

Menurut al-Razi, pakaian diibaratkan sesuatu yang melekat pada manusia. Karena itulah kata baju digunakan sebagai kiasan bagi apa pun yang melekati diri manusia, termasuk dosa dan kotoran. Ada ungkapan yang berbunyi, “Kemuliaan terletak pada pakaiannya dan pemahaman terletak pada sarungnya.” (81711) Makna kedua inilah yang dimaksud oleh ungkapan di atas.

Siapa yang membersihkan hatinya dari cinta kepada selain Allah lalu ia mengisinya dengan cinta kepada Allah maka segala sesuatu menjadi remeh dan kecil dalam pandangannya. Siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, ia akan sulit bermaksiat. Kalaupun melakukan maksiat, ia akan segera bertobat kepada Allah seraya memohon ampunan kepada-Nya sehingga permohonan maafnya diterima.

Catatan:


  1. (807) HR al-Tirmidzi, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad
  2. (808): Ghayts al-Mawahih al-Aliyyah, al-Randi, 2/125
  3. (809): Q.S. Alu-Imran (3): 31
  4. (810): Q.S. al-Baqarah (2): 165
  5. (811): HR al-Tirmidzi
  6. (812): HR al-Bukhari dan Muslim
  7. (813): HR al-Tirmidzi
  8. (814): al-Fawa’id, hal. 115
  9. (815): HR Abu Daud
  10. (816): Q.S. al-Muddatstsir (74): 4
  11. (817): Madarij al-Salikin, Ibn al-Qayyim, 2/22