Taj-ul-‘Arus: Pertolongan Allah Kepada Hamba

Dari Buku: Tāj-ul-‘Arūs
(Pelatihan Lengkap Mendidik Jiwa)
Oleh: Ibnu ‘Atha’illah (Penulis al-Hikam)

Penerjemah: Fauzi Faisal Bahreisy
(Disertai Ulasan oleh: Dr. Muhammad Najdat)
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Taj-ul-‘Arus - Bab Tentang Ilmu | Ibnu ‘Atha’illah

❀ Diketik oleh: al-Marhumah: Ibu Rini ❀

 

ILMU YANG BERMANFAAT

Pertolongan Allah Kepada Hamba

Ibnu Athaillah berkata, “Jika kau mendapat pertolongan-Nya maka yang sedikit akan memberikan manfaat. Namun, jika tidak mendapat pertolongan-Nya, yang banyak tidak akan memberi manfaat.

Dalam kerangka pengertian ini, dapat dikatakan bahwa sesuatu yang sedikit tetapi sesuai dengan sunnah adalah lebih baik daripada sesuatu yang banyak tetapi bid’ah. Tidak ada bid’ahyang lebih hebat daripada mencitai dunia dan mencurahkan perhatian kepadanya sepenuh hati dan raga. Ketika seorang hamba mencintai dunia, sebanyak dan sebesar apa pun amal yang dilakukannya akan bernilai kecil di sisi Allah. Adapun orang yang hatinya terpaut dengan Tuhan dan zuhud kepada dunia maka amal yang sedikit akan memberinya manfaat yang besar. Ia mendapatkan manfaat yang besar karena amal yang sedikit itu bernilai besar di sisi Allah. Tak salah jika dalam salah satu hikmahnya Ibnu Athaillah berkata, “Tidak disebut sedikit amal yang bersumber dari hati yang zuhud. Sebaliknya, tidak disebut banyak amal yang bersumber dari hati yang tamak.” Maksudnya, tamak dalam mencintai dunia dan pemenuhan syahwatnya.

Ibadah orang zuhud yang tampak sedikit sesungguhnya bernilai besar dan ibadah orang tamak yang terlihat banyak sesungguhnya bernilai sedikit. Keadaan mereka sama seperti dua orang yang mempersembahkan hadiah kepada raja. Orang pertama memberi hadiah permata yang murni dan kecil senilai jutaan rupiah, sementara orang kedua memberikan hadiah berupa enam puluh kotak tanpa isi. Tentu saja sang raja menerima hadiah permata seraya memuliakan pemiliknua dan menolak puluhan kotak itu disertai perasaan marah kepada orang yang memberikannya karena di anggap telah mengolok-olok raja.

Ibnu Athaillah dalam salah satu hikmahnya berkata, “Bisa jadi ada dua usia yang panjang masanya, tetapi sedikit manfaatnya. Bisa jadi pula ada usia yang pendek masanya tetapi banyak manfaatnya.”

Di antara bentuk karunia Ilahi yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang beriman adalah tambahan keimanan. Panjang atau pendeknya usia tidak berpengaruh. Tambahan keimanan itu diberikan kepada mereka dari karunia dan kemurahan-Nya sesuai dengan kesiapan dan kesempurnaan penerimanya. Berkat karunia itulah umat ini dimuliakan atas seluruh umat lain meskipun rata-rata usianya lebih pendek dibanding umat-umat lain.

Dalam ungkapa hikmah yang lain, Ibnu Athaillah berkata, “Siapa yang usianya diberkahi, dalam waktu singkat ia mendapat anugerah Allah yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata dan tidak bisa dijangkau dengan isyarat.”

Keberkahan usia berupa pemberian kecerdasan yang mengantar manusia untuk mengoptimalkan waktu serta pelimpahan cahaya rabbani yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Semua itu terjadai dalam usia yang pendek dan waktu yang singkat. (8181)

Perhatikan Agama, Bukan Badan

Ibnu Athaillah berkata, “Betapa kau sangat lalai terhadap agama dan betapa agama sangat tidak berharga bagimu! Seandainya seseorang berkata kepadamu, ‘Makanan ini beracun,’ tentu kau tidak akan memakannya. Bahkan jika ada seseorang bersumpah talak bahwa makanan itu tidak beracun, kau tetap tidak akan memakannya. Dan meskipun kau membasuh tempatnya berkali-kali, kau tetap enggan. Jadi, mengapa kau tidak melakukan hal serupa terhadap urusan agamamu?”

Sesuai tabiatnya, manusia sangat memperhatikan kepentingan jasmaninya. Karena takut, ia tidak akan makan makanan yang diduga beracun, meskipun seseorang memberitahukannya bahwa makanan itu tidak beracun. Namun, dalam urusan agama, ia berani menanggung resiko dan menantang bahaya sehingga ia tenggelam dalam berbagai kenikmatan serta terjun dalam medan syubhat, haram, dan riba.

Jika kau begitu memperhatikan kepentingan badanmu, semestinya kau juga memperhatikan urusan agamamu. Memperhatikan agama dilakukan dengan cara jujur beribadah kepada Allah tanpa mengharap selain-Nya. Sebab, segala sesuatu selain Allah hanya mendatangkan bahaya terhadap agama sebagaimana racun yang membahayakan tubuh.

Kemudian, jauhilah perbuatan dosa dan maksiat karena keduanya adalah racun bagi dirimu. Racun itu hanya bisa dibersihkan dengan dibakar di neraka kelak di hari kiamat. Allah berfirman, “Pada hari mereka dibakar di neraka.” (8192)

Taufik Allah

Ibnu Athaillah berkata, “Jangan beranggapan bahwa manusia tidak mendapat ilmu, tetapi sesunggunya mereka tidak mendapat taufik.”

Seringkali ilmu menyebabkan kebinasaan bagi pemiliknya dan mendatangkan siksa di hari kiamat jika ilmu digunakan untuk menunjukkan keunggulan dibanding yang lain, untuk berdebat, atau untuk mendapat pujian dan sanjungan, atau untuk mendapatkan harta. Ini termasuk salah satu bahaya ilmu.

Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi saw., “Siapa yang menuntut ilmu untuk membanggakan diri di tengah-tengah ulama, untuk mendebat orang bodoh, serta untuk menarik perhatian manusia, maka tempatnya adalah neraka.” (8203)

Jadi, manusia bukannya tidak berilmu, melainkan mereka tidak mendapat taufik untuk menjadikan ilmunya tulus karena Allah tanpa dinodai berbagai fitnah dunia. Allah berfirman, “Bertakwalah kepada Allah, pasti Allah akan mengajarimu.” (8214)

Artinya, Allah akan mengajarimu ilmu yang membuatmu bisa merasakan nikmat ibadah; bukan ilmu yang kering yang membuat kalian bersandar kepada diri sendiri dan upaya rasional semata.

Catatan:


  1. (818): Ghayts al-Mawahih al-Aliyyah, al-Randi, 2/194
  2. (818): Q.S. al-Dzariyat (51): 13
  3. (819): HR Ibn Majah
  4. (820): Q.S. al-Baqarah (2): 283