Sanad Talqin Dzikir – Tarekat dalam Timbangan Syariat

TAREKAT dalam Timbangan SYARIAT
Jawaban atas Kritik Salafi Wahabi

Penulis: Nur Hidayat Muhammad
 
Penerbit: Muara Progresif

SANAD TALQĪN DZIKIR

 

Tashawwuf yang menyelenggarakan tarekat dianggap sesuatu yang keluar dari tashawwuf yang bersih. Mereka mengklaim jika munculnya tarekat adalah karena paham-paham shūfī yang sudah terkontaminasi ajaran-ajaran Hindu, Budha, dan Kristen. Klaim ini tentu salah besar, karena talqīn dzikir atau bai‘at dalam tarekat terdapat dasar dan sanadnya.

Sebelumnya patut kita ketahui, tarekat dilihat dari sudut tarbiyyah, baik talqīn dzikir atau lubs-ul-khirqah sudah ada di zaman sahabat, sebagaimana pembahasan kali ini. Tetapi dilihat dari sisi jamā‘ah, atau madrasah, atau organisasi sulūk kepada Allah di mana ada mursyid yang bertindak sebagai pembimbing dan para murid sebagai orang yang dibimbing memang baru, muncul sekitar abda ke-3 Hijriyyah. Dan yang terakhir ini telah kami bahas dalam bab Tuduhan Tarekat Shūfī Bid‘ah.

Sanad hadits tentang bai‘at tarekat adalah hadits riwayat dari Ḥasan al-Bashrī yang berbai‘at dzikir dari Sayyidinā ‘Alī dari Rasūlullāh s.a.w. (801) (dalam ilmu tashawwuf disebut talqīn dzikir) dan sanad hadits tentang lubs-ul-khirqah (berperilaku sebagai shūfī yang bersimbol dengan pakaian sederhana) juga diriwayatkan dari Ḥasan al-Bashrī dari ‘Alī. Hanya saja kedua hadits tersebut tidak pernah disebutkan dalam kitab-kitab hadits manapun, sehingga banyak para ahli hadits yang inkar dan menilainya bathil. Penilaian para ahli hadits tersebut terletak pada masalah apakah Ḥasan al-Bashrī pernah bertemu dengan Sayyidinā ‘Alī atau tidak. Dan menurut sebagian ahli hadits, keduanya tidak pernah bertemu.

Namun, sebenarnya hadits tentang dua masalah tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Ḥajar al-Asqalānī dan muridnya, Jalāl-ud-Dīn as-Suyūthī (812) adalah hadits yang shaḥīḥ (muttashi) dan perawinya tsiqah. (823) Artinya, bahwa memang Ḥasan al-Bashrī pernah bertemu dengan Sayyidinā ‘Alī dan itu adalah pendapat yang shaḥīḥ.

Sanad talqin dzikir dari Ḥasan al-Bashrī tersebut adalah talqin dzikir oleh Rasūlullāh s.a.w. kepada Sayyidinā ‘Alī secara sendirian. Sedangkan sanad talqīn dzikir secara bersama-sama atau berjamā‘ah adalah sebagaimana riwayat dengan sanad ḥasan dari Syaddād bin Aus berikut:

كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ (ص) فَقَالَ: هَلْ فِيْكُمْ غَرِيْبٌ يَعْنِيْ أَهْلَ الْكِتَابِ فَقُلْنَا: لَا يَا رَسُوْلَ اللهِ فَأَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ وَ قَالَ: ارْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ وَ قُوْلُوْا: لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ فَرَفَعْنَا أَيْدِيَنَا سَاعَةً ثُمَّ وَضَعَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) يَدَهُ ثُمَّ قَالَ: الْحَمْدُ للهِ اللهُمَّ بَعَثْتَنِيْ بِهذِهِ الْكَلِمَةِ وَ أَمَرْتَنِيْ بِهَا وَ وَعَدْتَنِيْ عَلَيْهَا الْجَنَّةَ وَ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ ثُمَّ قَالَ: أَبْشِرُوْا فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ قَدْ غَفَرَ لَكُمْ.

Kami di samping Nabi. Kemudian beliau bertanya: “Adakah di antara kalian ada orang asing?” maksudnya adalah ahli kitab. Kami menjawab: “Tidak ada, wahai Rasūlullāh”. Maka kemudian beliau menitahkan menutup pintu dan bersabda: “Angkat tangan kalian semuanya, dan ucapkan: LĀ ILĀHA ILLALLĀH!”. Maka kami pun mengangkat tangan kami sesaat. Lalu Rasūlullāh s.a.w. meletakkan tangannya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah. Wahai Allah, Engkau telah mengutusku dengan kalimat ini, memerintahkan dengannya, dan menjanji surga dengannya. Dan sungguh Engkau tidak akan menyalahi janji.” Kemudian beliau bersabda: “Bergembiralah, sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian semuanya.” (HR. Aḥmad).

Sebagian pengikut Salafī Wahhābī, Muḥammad Riyādh dalam taḥqīq-nya atas kitab Tanwīr-Qulūb, mengatakan, bahwa orang-orang tarekat sering mengatakan sanad tarekat mereka muttashil sampai Rasūlullāh s.a.w., padahal sanad-sanad atau perawi tersebut tidak pernah ada dalam kitab-kitab perawi hadits, seperti: Taqrīb-ut-Tahdzīb, Tahdzīb-ut-Tahdzīb dan lain-lain. Menurut kami, pernyataan ini adalah jāhil atau pura-pura jāhil. Karena silsilah tarekat shūfī bukan silsilah perawi hadits yang harus di-jarḥ (dinilai cacat) dan di-ta‘dīl (dinilai adil) serta harus tercatat dalam Kutub-ur-Rijāl (kitab-kitab yang memuat biodata perawi hadits). Sebab, hadits berkaitan dengan khabar yang akan dijadikan pijakan hukum, yang sebelum khabar tersebut diterima harus diteliti terlebih dahulu para pembawanya. Sementara silsilah tarekat merupakan silsilah dalam hal bimbingan seorang guru yang mentalqin dzikir seorang murid dan guru tersebut menerima talqīn dzikir dari gurunya hingga sampai kepada Rasūlullāh s.a.w. (muttashil).

Jika silsilah tarekat harus seperti sanad perawi hadits, apakah nama-nama ‘ulamā’ terekat seperti ‘Abd-ul-Qādir al-Jīlānī, Abul-Ḥasan asy-Syādzilī, al-Junaid al-Baghdādī, Dzun-Nūn al-Mishrī, Ibrāhīm bin Adham, Ḥātim al-Ashamm, Ma‘rūf al-Karkhī, Aḥmad al-Badawī, al-Ghazālī dan lain-lain, yang semua diakui sebagai ‘ulamā’ dan waliyyullāh (kecuali menurut orang-orang yang mungkin mata hatinya dibutakan oleh Allah), harus tercatat dalam kutub-ur-rijāl di atas? Tentu tidak, karena mereka bukanlah ‘ulamā’-‘ulamā’ hadits (muḥadditsīn). Lalu apakah dengan tidak dicantumkannya nama mereka dalam Kutub-ur-Rijāl berarti mereka adalah orang yang tidak adil dan khabar mereka tidak dapat diterima? Hanya orang-orang yang mungkin hatinya dipenuhi “lumpur” kebodohan dan fanatik buta yang menjawab “ya”. Bagaimana mungkin standar orang adil atau tidaknya harus tercatat dalam kitāb rijāl.

Lagi pula, menganggap tarekat shūfī bid‘ah sesat dan jalan neraka adalah sama dengan menganggap Syaikh Abd-ul-Qādir al-Jīlānī (pendiri tarekat Qadiriyyah), Syaikh Abul-Ḥasan asy-Syādzilī (pendiri tarekat Syādziliyyah), Ḥujjat-ul-Islām al-Ghazālī (pendiri tarekat Ghazāliyyah), Imām Junaid al-Baghdādī (pendiri tarekat Junaidiyyah), Muḥammad al-Ḥākim at-Tirmidzī (pendiri tarekat al-Ḥākimiyyah), Abul-‘Abbās Aḥmad at-Tijānī (pendiri tarekat Tijāniyyah), al-Ḥārits al-Muḥāsibī (pendiri tarekat Muḥāsibiyyah), ‘Abdullāh ‘Alawī al-Ḥaddād (pendiri tarekat Ḥaddādiyyah), Syaikh Bahā’-ud-Dīn Muḥammad al-Bukhārī (pendiri tarekat Naqsyābandiyyah), Sahl at-Tustarī (pendiri tarekat Sahliyyah) dan lain-lain serta pengikut-pengikutnya adalah orang-orang sesat dan bodoh. Lalu beranikah orang-orang yang anti pati terhadap tareka shūfī mengatakan mereka semua sesat, pelaku dosa dan pasti masuk neraka?!

Bukankah pula, di antara shūfī yang kami sebutkan di atas, merupakan shūfī yang dikagumi oleh Ibnu Taimiyyah, imam mereka?!

Catatan:

  1. 80). Hadits talqīn tersebut sebagaimana dikatakan asy-Sya‘rānī dalam Lawāqiḥ-ul-Anwār-il-Qudsiyyah adalah diriwayatkan oleh Syaikh Yūsuf al-‘Ajamī, seorang syaikh tarekat, dalam salah satu risalahnya yang disebutkan dengan sanad yang muttashil sampai Sayyidinā ‘Alī bin Abī Thālib.
  2. 81). Lihat hujjah-hujjah Jalāl-ud-Dīn as-Suyūthī dalam membela pendapat bahwa Ḥasan al-Bashrī pernah bertemu dengan Sayyidinā ‘Alī, dalam al-Ḥāwī lil-Fatāwā juz II, hal. 96-98.
  3. 82). ‘Abd-ul-Wahhāb asy-Sya‘rānī, Lawāqiḥ-ul-Anwār-il-Qudsiyyah (Beirut: Darul Fikr, cet.-2), hal. 12 dan 14.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *